Bab 6 – Saturday Brunch

1905 Kata
Wisnu mengambil botol parfum dari atas meja rias di kamar tidur Gisella lalu berbalik badan. “Kamu mau pakai parfum?” tanya Gisella setelah berhasil menyusul suaminya yang telah masuk ke dalam kamar tidurnya terlebih dulu. Wisnu pun menyadari kesalahannya. Diletakkannya lagi parfum itu di atas meja rias. Kini diambilnya ponsel. “Sayang, itu hp aku,” ujar Gisella. “Eh, iya, maaf,” balas Wisnu kemudian meletakkan kembali ponsel yang baru saja diambilnya ke atas meja rias. “Kamu kenapa sih, Mas?” tanya Gisella setelah mendapati suaminya bertingkah aneh. “Gak apa – apa. Emangnya aku kenapa?” “Kamu gugup.” “Ah, enggak kok.” Gisella menggenggam kedua tangan Wisnu dan mencoba menatap kedua bola mata Wisnu, tetapi pria itu mengalihkan pandangannya. “Kak Bella, ya?” Wisnu menghela napasnya dan memberanikan diri menatap Gisella. Ia menganggukkan kepalanya dan mencoba tersenyum untuk menghilangkan rasa bersalahnya. “Maaf, aku gak sengaja ngagetin Kakak kamu.” “Emang Kak Bella tadi lagi ngapain sih?” “Baru keluar kamar. Dia kan masih pakai baju tidur. Mungkin dia kaget aku lihat dia masih pakai baju tidurnya.” “Oh gitu. Lebay banget deh kak Bella. Ya udah, gapapa, sama – sama gak sengaja papasan di depan kamar mandi. Maaf ya, rumah aku kecil. Gak bisa ada kamar mandi di dalam kamar tidur.” “That’s why kita beli rumah yang memungkinkan untuk bisa punya kamar mandi di dalam kamar tidur, jadinya kalau ada tamu, kita gak akan kagetin mereka.” Gisella terkekeh dan menganggukkan kepalanya kemudian ia peluk suaminya itu dengan erat. Betapa bahagianya ia mendapatkan suami sang pengusaha tambang batu bara yang juga akan menjadi tambang kekayaannya.   ***   Bella mengunci pintu kamar mandi kemudian bersandar di balik pintu itu. Ia berusaha menormalkan detak jantungnya yang berdegup dengan kencang. Ia memejamkan mata dan kembali teringat saat Wisnu memandanginya tanpa berkedip sedikit pun. Bahkan, pria itu ternganga meneliti setiap inchi lekuk tubuhnya. Terutama saat pandangan mata pria itu tertuju pada bagian dadanya. Ia merasa tatapan Wisnu padanya saat itu seolah pria itu menganggap dirinya adalah mangsa yang harus segera diterkamnya. Ia pun berandai – andai jika ibu dan adiknya tidak datang menghampirinya saat itu, mungkin saja Wisnu sudah menyerangnya. Bayangan – bayangan buruk yang tidak diinginkannya itu menari – nari liar di pikirannya. Ia pun menggelengkan kepalanya agar bayangan – bayangan buruk itu lenyap dari pikirannya. Setelah menyelesaikan ritual mandi paginya, Bella kembali ke kamar tidurnya dan segera memakai pakaiannya. Sebuah atasan berbentuk sleeveless berwarna hijau muda dengan motif gambar burung hantu kecil yang dipadukan dengan celana jeans biru dongker. Setelah selesai berpakaian, ia segera duduk di meja riasnya. Ia memberikan riasan tipis pada wajahnya lalu memakai bando berwarna biru muda. Baru saja selesai merapikan tampilan wajahnya, terdengar suara ketukan pada pintu kamar tidurnya. Tok tok. “Masuk,” ujar Bella kemudian bangkit dari kursi meja rias. Gisella masuk ke dalam kamarnya. Dengan melihatnya saja, Bella merasa sia – sia berdandan. Tanpa riasan saja Gisella tampak sangat cantik, apalagi ditambah dengan riasan dari produk kosmetik dengan harga selangit, rasanya Bella ingin bersembunyi di balik karung beras saja. “Ada apa?” tanya Bella. “Tadi Wisnu gak sengaja lihat Kakak,” ujar Gisella dengan pose tubuh bersedekap. “Oh, gapapa.” “Kak Bella tenang aja. Mas Wisnu gak tertarik kok sama Kak Bella walau Kak Bella pakai pakaian terbuka sekali pun.” Bella tampak mendesis dan menatap Gisella dengan kesal. “Kenapa? Kamu takut Wisnu beralih dari kamu?” Gisella tampak menyeringai memandangi Bella dan menggelengkan kepalanya. “Mas Wisnu beralih ke Kak Bella? Ada – ada aja sih, Kak. Jangan kebanyakan berkhayal. Kasihan mama sama papa kalau Kak Bella hidup terus dalam khayalan Kak Bella. Sorry, you’re not princess. You won’t find prince who’s gonna marry you.” Bella tampak terpancing dengan ucapan Gisella. Kedua tangannya mengepal. Rahangnya mengeras. Gisella pun tampak menunjukkan senyum kemenangannya. “Cepat turun ke bawah. Mama sama papa udah kelamaan nungguin anaknya yang lamban,” ujar Gisella lagi sebelum pergi meninggalkan kamar tidur Bella. Bella menggebrak meja riasnya beberapa kali untuk melampiaskan kekesalannya. Ia bersumpah jika ia sudah menemukan pangeran impiannya, ia tidak akan lagi mengakui keluarganya yang selalu menghinanya. Bella menyambar tas dan ponselnya. Baru saja ia melangkahkan kaki untuk menuruni anak tangga, kedua matanya tertuju ke ruang keluarga yang berada tepat di bawah tangga rumahnya. Ia merasa ada seseorang yang tengah memperhatikannya. Benar saja. Ia mendapati Wisnu yang sedang menatapnya dari sofa di ruang keluarga tersebut. Buru – buru Bella berlari kembali masuk ke dalam kamarnya. Dibukanya lemari pakaiannya dan mengambil cardigan berwarna hitam dari dalam sana kemudian dipakainya cardigan hitam itu.   ***   “Welcome to our new house!” seru Gisella saat mereka tiba di halaman sebuah rumah mewah di kawasan Pejaten. Bella dan Rama ternganga melihat betapa luasnya rumah itu, sedangkan Meira tersenyum sumringah dengan mata bersinar memandangi betapa mewahnya rumah yang dihadiahkan oleh Wisnu untuk istrinya. “Ini gak salah?” tanya Meira. “Ya enggak dong, Ma. Wisnu beliin rumah ini untuk Gisel. Wisnu juga sengaja cari rumah yang dekat dengan rumah Mama biar Gisel gampang kalau main ke rumah Mama dan Mama, Papa juga Bella gampang kalau mau main ke sini,” jawab Wisnu. “Terima kasih ya, Wisnu,” ujar Meira dengan senyum paling bahagianya. “Sama – sama, Ma,” balas Wisnu yang juga merasa senang telah berhasil membuat ibu mertuanya bersuka cita. Sebuah mobil mini van tiba di halaman rumah itu dan keluarlah kedua orang tua dan adik Wisnu dari mobil yang dikendarai oleh sopir yang telah bekerja untuk keluarga itu selama puluhan tahun. “Eh, udah pada dateng,” ujar Lilis. “Kami juga baru aja sampai,” balas Meira seraya tersenyum. Mereka saling memberikan salam lalu masuk ke dalam bangunan rumah mewah itu. Sang tuan rumah membawa para tamu menuju halaman belakang rumah mereka yang sangat luas. Mereka telah menyewa jasa catering ternama untuk menyiapkan brunch pada pagi menjelang siang hari itu. “Rumah kalian ini bagus sekali lho dari segi bangunan, pencahayaan dan tata letak ruangan,” ujar Chandra. “Terima kasih ya, Pa. Ini idenya Gisel untuk bangun rumah seperti ini,” balas Wisnu. “Oh ya? Wah, Gisel, selera kamu bagus,” balas Chandra lagi seraya tersenyum. Gisella pun tersenyum bangga atas ucapan yang dilontarkan oleh ayah mertuanya itu. “Nanti ajak kita keliling rumah kamu ya setelah kita selesai makan,” ujar Lilis. “Iya, Ma,” balas Gisella seraya tersenyum. Ia sangat bersemangat untuk memamerkan keindahan dan kemegahan rumah yang dihadiahkan oleh Wisnu sebagai ucapan terima kasih karena telah sudi dipinang oleh lelaki itu. Pandangan matanya beralih pada Bella yang sedari tadi memotong – motong waffle-nya dengan ganas. Ia yakin kakaknya itu tidak senang karena ia yang menjadi putri dan menikahi seorang pangeran. “Ada buaya!” teriak seorang pria yang tiba – tiba hadir di belakang Bella dan mengguncang pundaknya. Bella tersedak saking terkejutnya. Ia terbatuk sampai air matanya mengalir. “Revano! Kamu tuh nakal banget sih?!” seru Lilis yang tidak enak hati pada keluarga besannya karena putri sulung mereka menjadi korban kejahilan keponakannya. Revano duduk di samping Bella dan mengambilkan segelas air mineral lalu membantu Bella meminum air mineral tersebut. Setelah Bella berhasil meredakan batuknya, ia memukul lengan Revano. Bukannya meminta maaf, Revano malah terkekeh mendapati Bella yang mengamuk. “B-bella, udah Nak,” ujar Meira yang berusaha menahan Bella agar tidak terus memukuli pemuda tampan itu. “Bukannya minta maaf, malah ketawa!” ujar Bella pada Revano. Revano mengacak – acak rambut Bella dengan tangannya yang membuat semua orang terkejut dengan perlakuan pria itu pada seseorang yang baru saja dikenalnya. “Wah, kalian sudah akrab, ya,” ujar Lilis dengan raut wajah yang terlihat senang. “Akrab banget dong. Revano sama Bella kan satu kantor,” balas Revano. “Lho? Kalian satu kantor?” tanya Andika. “Iya. Satu divisi pula. Ya kan, Bel?” ujar Revano kemudian mengedipkan matanya pada Bella yang membuat Bella ingin sekali meninju muka jelek itu. “Oh ya? Staf Accounting juga?” tanya Rama dengan ramah setelah mengetahui Revano adalah rekan kerja anaknya. “Dia menejer,” jawab Bella kemudian memajukan bibirnya untuk mengejek Revano. “Oh, maaf ya Revano. Bella merepotkan kamu ya di kantor?” tanya Meira. “Mama!” protes Bella. “Enggak, kok. Cuma sering dipukulin Bella aja,” jawab Revano santai. “Dipukulin?” tanya mereka histeris. Revano menganggukkan kepalanya yang membuat Bella ternganga tak percaya dengan apa yang dilakukan oleh pria jelek itu. “Heh! Siapa juga yang mukulin lo?!” protes Bella. “Jam istirahat beberapa hari lalu kan lo mukulin gue,” balas Revano. “Ya kan gara – gara lo ngagetin gue!” “Bella! Kamu gak boleh mukul orang sembarangan! Dia Manager kamu lho!” ujar Meira yang benar – benar khawatir keluarga Wisnu akan tersinggung dengan pelakuan Bella kepada Revano. “Bella, maafin keponakan Tante, ya,” ujar Lilis. “Enggak, Mbak Lilis, Bella yang harusnya minta maaf,” ujar Meira lagi. “Enggak begitu, Mbak. Si Revano emang jahil dari kecil. Ayo Van, minta maaf ke Bella,” “Kan Bella yang KDRT. Masa Revano yang harus minta maaf?” ujar Revano dengan wajah pura – pura memelasnya. “KDRT?” tanya Lilis. “Kekerasan Dalam Ruang Kantor,” jawab Revano dengan wajah yang masih pura – pura memelas, tetapi mengundang tawa itu. Bella yang melihat wajah Revano yang pura – pura menderita itu pun merasa muak. Diinjaknya kaki pria jelek itu hingga pria itu mengaduh. “Aduh!” “Kenapa, Van?” tanya Andika. “Kaki gue diinjek gajah,” jawab Revano. “Heh!” teriak Bella. “Bella!” ujar Meira dengan tegas. “Sudah sudah. Bella, maafkan Revano, ya. Revano emang jahil kok. Kalau Revano nakal lagi sama kamu, kamu ngadu aja ke Om, ya,” ujar Chandra. Bella yang menunjukkan wajah merengutnya pun menganggukkan kepalanya, sedangkan Revano hanya cekikikan saja. Ia tidak lagi mengganggu Bella melihat betapa Meira selalu memarahi Bella jika gadis itu berteriak padanya. Saturday brunch itu pun berjalan lancar setelah Revano berhenti mengganggu Bella. Mereka menikmati hidangan yang disajikan seraya berbincang ringan. Tanpa sengaja, Revano memergoki Wisnu terus memandangi Bella.   ***   Seperti yang telah dijanjikan, sang tuan rumah mengajak tamunya berkeliling rumah baru mereka. Tampak keceriaan di wajah Gisella saat menjelaskan setiap ruangan yang mereka kunjungi. “Ini kamar tamu. Nanti misal Kak Bella mau nginep di sini, Kak Bella bisa tidur di kamar ini,” ujar Gisella, saat mereka tiba di sebuah kamar tidur yang cukup luas dan mewah, seraya memberikan senyuman terbaiknya yang membuat semua orang berpikir nyonya rumah sangat menyayangi kakaknya. “Gak usah nginep. Dari sini ke rumah Mama kan deket. Kalau mampir, bisa pulang hari,” balas Bella. “Gapapa kok misal kamu mau nginep. Kita senang kok kalau kalian mau menginap di sini, jadi rumah kita ramai. Ya kan, Sayang?” ujar Wisnu. Gisella tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “Maaf semuanya,” ujar Revano yang membuat semua orang mengalihkan pandangan padanya, “saya dan Bella ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Kami pamit dulu, ya.” Bella memandangi Revano dan mengerutkan dahinya. Seingatnya tidak ada pekerjaan mendesak yang harus segera diselesaikan. “Oh ya sudah, hati – hati, ya,” balas Meira. “Mau Om antar?” tanya Rama. “Tidak perlu, Om. Saya bawa mobil kok,” jawab Revano dengan sangat ramah yang membuat Bella berdecih karena pria itu berpura - pura ramah pada ayahnya. “Oh ya sudah. Bella, nanti telepon Papa ya kalau mau pulang dari kantor. Nanti Papa jemput,” ujar Rama. “Gak usah, Om. Nanti Revano antar Bella pulang. Om tenang aja. Bella aman kok di tangan Revano,” balas Revano dengan sangat meyakinkan. Sementara itu, Bella merasa kesal karena terjebak di situasi yang sangat menyulitkan. Di satu sisi, ia merasa risih karena sedari tadi Wisnu terus saja memandanginya dan ia juga merasa tidak nyaman dengan ocehan Gisella mengenai kemegahan rumah baru hadiah dari sang suami. Di lain sisi, masa iya hari libur begini ia harus bekerja bersama bosnya yang bikin ia dongkol setengah mati itu. “Ayo, Bel, berangkat sekarang,” ajak Revano. “I-iya,” jawab Bella dengan pasrah. “Ma, Pa, Bella pergi dulu, ya.” “Iya, Bel,” balas Rama yang diiringi anggukkan kepala Meira. “Semuanya, saya pamit, ya,” lanjut Bella.   ***   Revano menunjukkan seringai penuh kemenangannya saat berhasil membawa Bella keluar dari dalam rumah mewah itu. Sementara itu, Bella beberapa kali meliriknya dengan sebal. “Kenapa sih lihatin gue mulu? Gue seganteng itu ya?” ujar Revano. “Ish! Kepedean!” balas Bella dengan sewot. “Gantengan gue atau Wisnu?” “Ya gantengan Wisnulah!” “Lo selingkuh ya sama Wisnu?” “Hah?!” “Kenapa kaget banget gitu? Gue kan cuma nanya.” “Pertanyaan lo yang enggak – enggak aja deh! Mana mungkin gue selingkuh sama adik ipar gue sendiri!” “Iya sih. Gak mungkin juga Wisnu mau sama cewek jelek kayak lo.” “Kayak lo ganteng aja!” Revano pun terkekeh. Baru sekali ini ada yang menganggap dirinya jelek. “Eh, kita ke mana?” tanya Bella saat menyadari mobil Revano berbelok memasuki sebuah parkiran gedung bertingkat. “Apartemen gue.” “Hah? Ngapain kita ke sini?” “Kerja.” “Kerja?”   ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN