Rahang Ivan mengetat ketika mendengar omongan ibunya. Begitu Yanti dan Priyo meninggalkan rumahnya, ia baru mendesahkan napas panjang lalu menoleh pada Mayang. Di sebelahnya Mayang masih tampak linglung hingga Ivan berdecak.
"Cepat naik, ngapain kamu di sini lama-lama? Mereka udah pulang," kata Ivan seraya berdiri.
Mayang mendengkus. Ia tak suka naik ke kamar karena artinya ia akan berduaan dengan Ivan. Barangkali, pria itu akan kumat mesumnya.
"Aku masih mau di sini," kata Mayang sambil bersedekap. "Ah, aku mau ambil tas aku di mobil. Boleh?"
"Terserah kamu!"
Mayang berdiri dan hampir melangkah ke luar, tetapi ia tiba-tiba ingat dengan motornya yang tadi terparkir di depan rumah Bayu. Ia pun mendekati Ivan lalu menarik lengannya kuat.
"Om! Motor aku gimana? Tadi ... tadi ada di rumah Bayu," kata Mayang. Ia menelan keras. Mengucap nama Bayu ternyata sangat menyesakkan. Hatinya seolah baru teriris karena ingat bagaimana Bayu berselingkuh dengan Sekar.
"Jangan khawatir, motor kamu udah ada yang urus. Lagian, motor itu terlalu jelek," kata Ivan dengan nada mencela.
Mayang meremas buku-buku jarinya. Ia begitu kesal dengan hari ini. Ia juga masih harus mendapatkan hinaan dari mertuanya lalu kini, Ivan mengejek motornya. Bagaimanapun itu adalah motor kesayangannya.
"Apa? Om bilang apa?" Mayang mendorong d**a Ivan dengan kesal. "Om nggak tahu berapa lama aku sama kakak aku nabung buat beli motor itu. Aku buang keringat dan waktu aku biar aku bisa beli motor itu. Jelek? Jangan sembarangan kalau ngomong! Bilang aja, di mana motor aku?"
Ivan menelengkan kepalanya karena ia juga kesal dengan ucapan Mayang. Bisa-bisanya Mayang bicara keras padanya. "Aku nggak peduli!"
"Om! Aku mau motor aku!" teriak Mayang.
Ivan mendesis karena Mayang berani berteriak padanya. "Kamu keluar sana! Kamu liat aja pasti barang rongsokan itu udah ada di depan."
Napas Mayang langsung naik-turun. Ia tak ingin bicara dengan Ivan lagi, jadi ia segera berlari ke luar. Ia mencari-cari di mana motornya karena tak mungkin motor itu ada di depan. Ivan tak akan membiarkan orang tuanya yang sombong itu melihat barang sejelek motornya. Bahkan, ranselnya saja tak boleh ia bawa ke dalam tadi.
Mayang mengusap pipinya ketika ia melihat Toni sedang memarkir motornya di dekat garasi lalu pria itu membuka rolling door itu.
"Om yang ambil motor aku?" tanya Mayang seraya mendekati Toni.
"Ya, tuan Ivan yang minta." Toni menjelaskan.
"Itu nggak bakal dibuang, 'kan?" tanya Mayang yang hampir menangis. Ia ingat bagaimana senangnya ia ketika Damar berkata tabungan mereka sudah cukup untuk membeli sebuah motor. Sebenarnya, Damar yang menabung lebih banyak karena ia hanya bekerja sambilan sementara Damar bekerja full time sejak lulus SMA.
"Jangan cemas. Walaupun jelek, tuan nggak nyuruh saya buat buang motor ini." Toni mendorong pelan motor butut Mayang lalu kembali keluar dari garasi. "Anda bisa meminta tuan membelikan motor baru untuk Anda. Kenapa harus pakai itu?"
Mayang menatap Toni dengan ekspresi mencela. Ia tak akan meminta apapun dari Ivan! Ia menyayangi motor itu lebih dari apapun. Dan mengingat perjuangannya membeli motor itu membuatnya rindu setengah mati pada Damar.
"Hidup Anda bisa berubah dalam setahun, Nona. Manfaatkan saja waktu setahun ini," kata Toni sambil tersenyum miring.
Mayang mendesis. "Aku bukan w************n! Kalian berdua salah paham sama aku. Aku ... aku nggak akan menjual tubuh aku demi harta benda!"
Toni melebarkan kedua matanya begitu mendengar ucapan Mayang yang terkesan sungguh-sungguh. Ia ingat bagaimana penampilan Mayang di kelab. Mayang begitu seksi dengan pakaian yang terbuka dan ia dijual oleh seorang pria. Ia menyimpulkan cepat bahwa Mayang adalah wanita penghibur.
"Apa aku udah salah menilai nona Mayang?" batin Toni gundah.
Toni menatap Mayang yang kini berlari ke mobil Ivan lalu mengambil sesuatu yang besar dari sana. Mayang memeluk tasnya erat-erat lalu masuk ke rumah.
"Gawat kalau aku salah kira," batin Ivan lagi. "Apa nona Mayang masih gadis? Ah, itu bukan urusan aku. Biar tuan aja yang ngurus."
***
Begitu Mayang masuk rumah, ia merasa ragu untuk naik ke kamarnya. Namun, ia juga tak akan bisa keluar dari rumah ini. Ia mau ke mana? Dengan langkah lambat, akhirnya Mayang pun menaiki anak tangga. Ia masuk ke kamarnya dengan hati-hati dan bersyukur, Ivan terlihat.
Mayang pun membuang napas panjang seraya duduk di atas ranjang dengan ransel di dekat kakinya. Mayang merogoh ponselnya. Ia berharap sia-sia sekarang. Tadinya, ia sempat mengharapkan permintaan maaf dari Sekar maupun Bayu. Namun, tak ada apapun di ponselnya. Tak ada pesan atau panggilan dari mereka. Barangkali, mereka justru bersenang-senang sekarang.
"Cepat mandi!"
Mayang menoleh cepat pada Ivan yang baru saja keluar dari kamar mandi. Kedua pipi Mayang memerah karena ia menatap d**a Ivan yang terbuka. Selembar handuk putih melingkar di pinggangnya. Ia tak bisa berdusta, Ivan terlihat menawan sekarang. Dengan tubuh tinggi, d**a lebar—terbuka—dan aroma yang sangat menyegarkan.
"Kamu liat apa? Kamu mau liat ini?" Ivan menunjuk ke handuknya hingga Mayang langsung menoleh ke arah pintu kamar.
"Sembarangan! Dasar m***m!" Mayang mengumpat keras. "Om buruan pakai baju. Aku mau gantian mandi."
"Aku mau kamu yang pakaikan aku baju," kata Ivan dengan nada menggoda.
"Ngawur! Aku bukan b***k!"
"Oh, nggak bisa gitu. Aku udah bayar kamu biar kamu nurut sama aku. Pakaikan baju aku sekarang juga!" perintah Ivan.
Mayang mengepalkan tangannya. Ia berjalan saja ke arah lemarinya lalu mengambil baju ganti. Ia akan mengabaikan eksistensi Ivan meskipun jantungnya sangat tidak aman sekarang.
"May ... aku kedinginan," ujar Ivan. Pria itu menyandarkan bahunya di lemari dan memakukan tatapan pada Mayang yang sibuk mengambil sesuatu dari lemari.
"Bukan urusan aku!" hardik Mayang. Ia menoleh pada Ivan yang sudah sangat dekat dengannya. "Minggir!"
Ivan menggeleng. Ia menyambar pinggang Mayang dengan cepat lalu menariknya. Mayang sontak memekik dan memukuli d**a Ivan. Itu sia-sia. d**a keras Ivan benar-benar seperti benteng yang tak bisa ia lawan.
"Om! Ini udah mau Maghrib. Jangan gini dong," kata Mayang kesal. Tubuhnya terkunci di dekapan Ivan hingga ia merasa sial.
"Kamu cantik. Kamu seksi."
"Minggir!" seru Mayang lagi.
"Cowok tadi nggak pantes buat kamu. Tenang aja." Ivan melonggarkan pelukannya. Ia menatap kedua mata Mayang yang basah saat ini. "Kamu bisa dapatkan cowok yang lebih daripada si berengsek tadi."
"Itu bukan urusan Om. Aku mau mandi sekarang," kata Mayang dengan suara bergetar. Ia hampir menangis lagi lantaran kata-kata Ivan berhasil mengingatkan ia akan apa yang ia lihat di rumah Bayu.
"Oke. Cepat mandinya. Kalau lama, aku bakal nyusul ke sana," kata Ivan seraya membelai wajah Mayang.
Mayang langsung berpaling. Ia tak suka dengan cara Ivan memperlakukan dirinya. Pria ini tadi sangat sombong, tetapi Ivan tiba-tiba memeluk dan mengatakan hal-hal yang seolah menghibur hatinya. Namun, ia sama sekali tak terhibur. Hati Mayang rasanya sudah tak berbentuk lagi.
***
Mayang bersyukur, setelah ia mandi lalu menunaikan ibadah sholat dan Ivan tak nakal lagi. Pria itu duduk di meja kerjanya selama beberapa menit lalu Reva datang dan mengajaknya bermain. Mayang akhirnya sendirian di kamar. Namun, itu tak bertahan lama karena Reva masuk lagi ke kamar lalu mengajaknya makan malam.
Sama seperti ketika sarapan, ia duduk bersama Ivan dan Reva. Mayang makan dengan tak berselera meskipun hidangan yang disajikan oleh Devi dan Intan sangat lezat. Ia juga mendengar celotehan panjang Reva, tetapi hatinya yang tak keruan tak bisa dikendalikan.
"Tante, kenapa nggak dimakan?" tanya Reva yang menyadari piring Mayang masih penuh dengan makanan.
"Ehm, Tante kenyang," jawab Mayang asal. Ia menyendok lagi lalu makan. Ia berharap saja bisa menelan makanan itu.
"Tante kalau makanannya nggak dihabiskan, nanti sayang lho. Kita harus bersyukur sama makanan yang ada di piring kita," kata Reva seraya mengetukkan sendok di piringnya. "Reva udah mau habis nih."
Mayang tersenyum lebar. "Ya, pinter. Siapa yang ngajarin nih?"
"Papa! Papa yang bilang kalau makan harus dihabiskan," jawab Reva. Gadis cilik itu menatap ayahnya dengan senyuman lebar.
Ivan hanya berdehem karena ucapan Reva. Dan dengan lembut Ivan mengusap kepala putrinya.
"Habiskan makanan kamu. Jangan sampai kamu sakit gara-gara nggak makan," ujar Ivan pada Mayang.
Mayang mengangguk. Walaupun ia tak berselera, akhirnya ia berhasil menghabiskan makanan di piringnya.
Selesai makan, Mayang pun memutuskan untuk menyelinap ke kamar Reva. Ada Meri di sana, tetapi ia merasa lebih aman di sini dibandingkan masuk ke kandang Ivan.
Mayang sudah mewarnai banyak sekali gambar bersama Reva, ia juga membuat beberapa origami untuk Reva hingga gadis cilik itu merasa senang.
"Va, kamu suka dengerin cerita, 'kan?" tanya Mayang ketika ia menemani Reva menggosok gigi di kamar mandi.
"Ya. Reva paling suka kalau papa yang cerita," jawab Reva. Ia berkumur keras lalu membuangnya di wastafel.
"Hi!" Mayang meringis di depan cermin lalu Reva pun mengikuti. Keduanya terkikik pelan. "Kumur sekali lagi. Abis itu Tante bacakan buku cerita buat kamu."
"Di kamar papa?"
"Di sini dong, di kamar kamu," jawab Mayang.
"Tapi, aku mau bobo sama papa," sahut Reva.
"Ehm, kamu 'kan udah mau 7 tahun. Kamu udah bisa bobo di kamar kamu sendiri."
"Apa Tante yang bakal bobo sama papa kalau aku bobo di sini?" tanya Reva dengan nada sedih.
Mayang menggeleng. Tentu itu bukan alasannya. Ia hanya akan menidurkan Reva di sini, lalu ia akan berpura-pura jatuh tertidur juga. Jadi, Ivan tak akan mengganggunya malam ini.
"Nggak kok. Nanti Tante temenin kamu bobo di kamar," kata Mayang meyakinkan.
"Beneran?" Reva menatap Mayang dengan antusias.
Mayang mengangguk. "Ayo, kita bobo bareng."