Mayang kini mengganti baju harian Reva dengan baju tidur. Mayang melihat merek baju milik Reva yang terkesiap, bahkan anak kecil saja punya baju mahal, pikir Mayang dalam hati. Ia menggeleng lalu segera membawa Reva ke atas tempat tidur.
"Kamu mau baca buku yang mana, Va? Cerita princess apa yang binatang?" tanya Mayang seraya menunjuk ke dua buku di antara banyaknya buku milik Reva.
"Ini, Tante. Aku mau rubah sama kelinci." Reva menunjuk salah satu.
"Oke! Kamu tiduran dulu ya," ujar Mayang. Ia mengatur tempat tidur Reva, membuka selimutnya lalu membiarkan anak kecil itu berbaring.
"Aku nggak mau pakai selimut, Tante," tolak Reva.
Mayang mengerutkan keningnya. "Tapi nanti dingin kalau tengah malam."
"Nggak, aku 'kan pakai baju panjang," kata Reva seraya menarik ujung lengan baju tidurnya.
"Oke deh." Mayang tak protes lagi. Semalam, Reva juga tidur tanpa selimut meskipun ketika ia bangun, ia sudah melihat Reva terselimuti dengan hangat. Pasti Ivan yang melakukannya.
"Buruan baca, Tante."
Mayang mengangguk. Ia membacakan judul buku itu lalu membuka satu persatu halaman. Ia menatap Reva sambil sesekali membuat intonasi berbeda di berbagai tokoh cerita. Reva tertawa, kadang bertanya juga sembari menunjuk ke gambar di buku.
Hingga akhirnya, Mayang menyelesaikan satu buku. Ia pun menutupnya. "Udah, sekarang kita berdoa dulu lalu merem."
"Tapi aku mau bobo sama papa aja, Tante. Papa harus nyanyi buat Reva," kata Reva seraya duduk.
"Ehm, Tante bisa nyanyi buat kamu. Kita di sini aja," bujuk Mayang.
Reva menggeleng. "Nggak mau, aku mau papa."
"Kita baca buku satu lagi, oke?" Mayang menarik lembut tangan Reva. Ia mengambil asal salah satu buku Reva lalu menggoyangnya di udara. "Ayo dong."
"Ehm ... oke." Reva pun menurut, ia kembali berbaring lalu menyimak buku yang ditawarkan oleh Mayang. Lalu, ia mendengarkan setiap kata yang dibacakan oleh Mayang.
***
Sementara itu, Ivan yang ada di kamar sedang galau. Ia baru saja melihat postingan terbaru mantan istrinya. Reni dan Jason sedang berada di sebuah rumah makan cepat saji. Ia tahu pekerjaan Reni, karena ia adalah konten kreator dan model yang cukup terkenal, Reni sering diundang untuk mempromosikan banyak barang dan makanan. Dan karena pekerjaan Reni itulah, pernikahan mereka berdua akhirnya berantakan.
Ivan membuang napas panjang. "Kamu kelihatan bahagia banget sama berondong itu." Ia mendesis sengit lalu meninggalkan komentar negatif di akun Reni. Tentu saja, ia menggunakan akun palsu untuk mengomentari foto Reni.
Tak lama, ia pun berpindah ke akun pribadinya. Ia mulai memilih satu dari sekian foto pernikahannya. Ia akan mengunggah satu foto sebagai ajang balas dendam pada Reni. Ia akan membuat Reni cemburu dan kaget karena ia bisa menikah dengan wanita semuda Mayang.
Ivan tertawa kecil ketika ia selesai mengunggah fotonya bersama Mayang. Dan tak lama, fotonya langsung dibanjiri komen dan tanda suka. Ia menunggu beberapa menit hingga tiba-tiba ia melihat akun Reni menyukai fotonya.
"Cuma ini? Kenapa?" Ivan menunggu lagi. Barangkali Reni akan berkomentar atau lebih baik meneleponnya. Ah, tidak! Hingga sepuluh menit, itu tak terjadi.
Ivan membanting ponselnya di atas kasur. Rasanya, unggahan itu tak berhasil menggerakkan hati Reni sama sekali. "Sial! Lebih baik aku ena-ena sama Mayang. Di mana dia?"
Ivan baru sadar, sejak tadi ia sendirian saja. Dan ini sudah hampir pukul 9.00 malam. Seharusnya, ia bisa menyalurkan hasratnya yang tertunda sejak semalam pada Mayang. Yah, ia hanya ingin melakukan itu untuk mencapai kepuasan saja. Ia sudah cukup pusing karena tak melakukan itu sejak ia resmi bercerai dengan Reni. Atau mungkin malah sejak beberapa bulan sebelum ia bercerai.
"May! Kamu di mana?" Ivan menoleh ke kanan-kiri. Ia ingat, tadi setelah makan malam ia melihat Mayang masuk ke kamar Reva. Ia juga mengintip di sana dan ia tersenyum senang karena Reva bisa tertawa lepas bersama Mayang.
"Apa dia masih sama Reva?" Ivan pun menyibak selimutnya lalu dengan cepat ia keluar kamar.
Ivan membuka pintu kamar Reva dan mendapati Mayang sedang membacakan buku pada Reva yang sudah terkantuk-kantuk di sebelahnya.
"Papa!" Reva yang telah mengantuk pun langsung membuka mata. Ia melompat turun lalu berlari ke arah Ivan.
"Oh, Sayang!" Ivan berlutut ketika Reva mendekat dan langsung memeluknya. Sepertinya ia datang di waktu yang tidak tepat. Andai saja Reva sudah tidur, pasti ia bisa menyeret Mayang ke kamarnya, lalu ke ranjangnya, lalu menindih tubuh seksi itu dan ia akan segera masuk. Nikmat!
Mayang mendengkus keras. Dengan sengit ia menatap Ivan. "Kenapa om Ivan harus muncul sekarang sih? Harusnya Reva udah tidur, jadi gue bisa ikutan tidur di sini. Sial banget!"
"Papa, aku mau bobo sama papa. Papa harus nyanyi buat aku. Baca dongeng juga," ujar Reva seraya mengusap-usap pipi ayahnya.
Ivan mengernyit. "Oke, di sini ya. Biar tante Mayang masuk ke kamarnya."
Kamarnya. Mayang meremang. Ia tak mau tidur di kamar Ivan! Jadi, ia segera melengos.
"Aku mau bobo di kamar Papa," kata Reva seraya memeluk ayahnya lebih erat. "Aku mau papa."
Ivan membuang napas panjang. Lagi-lagi ia harus mengalah dan membiarkan Reva tidur di kamar. Itu artinya ia tak akan bisa menyalurkan hasratnya yang sudah di ubun-ubun. Atau barangkali bisa. Ia bisa menidurkan Reva dulu lalu menggoda Mayang. Ah, sejuta imajinasi bersarang di kepala Ivan.
"Ya udah, kita ke kamar. Tapi kamu harus lekas bobo. Oke?" Ivan mencium kening Reva dengan lembut hingga anak itu terkikik senang. Ia lalu menatap Mayang yang masih duduk memeluk guling. "Kamu jangan di sini aja, May. Masuk kamar."
"Ehm, aku bisa tidur di sini aja, Om. Reva 'kan mau bobo sama Om jadi, biar aku di sini tidurnya," kata Mayang penuh harap.
Ivan menggeleng keras. Ia lalu melambaikan tangan pada Mayang. "Masuk kamar kamu sekarang juga. Ayo!"
"Nggak ah. Di sana sempit kalau tidur bertiga," tolak Mayang.
"Mana ada sempit. Kamu aja tidur nyenyak di sana tadi malem. Buruan, nggak usah bikin alesan," bujuk Ivan lagi.
Mayang mendengkus. Daripada ia bertengkar dengan Ivan di depan Reva, lebih baik ia menurut. Toh, ada Reva yang memisahkan tubuhnya dengan Ivan. Ia aman. Sekali lagi, Reva jadi dewi penyelamatnya.
Mayang mengikuti langkah Ivan yang sedang menggendong Reva. Padahal, tadi Reva hampir tidur di sebelahnya. Ia menjadi kesal setengah mati dengan Ivan yang harus muncul secara mendadak. Ia pun mengepalkan tangannya lalu meninju udara seolah ia hendak memukul kepala Ivan.
Pada saat itu, Ivan menoleh untuk memastikan Mayang mengikutinya. Dengan cepat, Mayang pun membuka kepalan tangannya. Ia berpura-pura sedang meregangkan otot lengannya karena tak mau dianggap kurang ajar hendak memukul suaminya.
Ivan menunggu Mayang di depan pintu lalu membiarkan istrinya itu masuk lebih dulu. "Lebih baik, kamu ganti baju tidur. Ada banyak di lemari, kamu pilih aja."
"Ehm, oke deh." Mayang pun menurut. Sekali lagi, ia tak ingin berdebat dengan Ivan meskipun ia nyaman-nyaman saja memakai baju rumahan. Ia segera membuka pintu lemari dan memilih baju paling aman di sana. Setelan baju tidur panjang dengan warna biru muda.
Ketika Mayang kembali ke kamar, ia mendengar tawa kecil Reva. Gadis cilik itu memang menggemaskan. Namun, ketika ia mendekat ke ranjang, hal menggemaskan itu berubah total. Rupanya, Ivan mengubah posisi agar Reva berbaring di tepi lalu Ivan di tengah dan menyisakan sedikit tempat untuknya di belakang.
"Aku tidur di mana? Kenapa Reva nggak di tengah aja, Om?" tanya Mayang yang enggan untuk membaringkan dirinya di ranjang.
"Kamu bisa tidur di sini," kata Ivan seraya menepuk belakang punggungnya.
"Tapi ... tapi nanti Reva gimana kalau jatuh? Itu 'kan di pinggir," kata Mayang was-was. Ia mencemaskan dirinya sendiri jika boleh jujur. Ia tak ingin Ivan menggerayangi tubuhnya malam ini. "Lebih baik kamu di tengah, Va, kayak semalam."
"Nggak perlu, udah, kamu tidur aja di sini buruan. Reva aman kok," kata Ivan meyakinkan.
Mayang tak punya pilihan lain, ia pun duduk di tepi ranjang dengan kesal lalu berbaring membelakangi Ivan. Ivan juga memunggunginya karena sedang mendongeng untuk Reva. Dan Mayang berharap itu akan berlangsung sepanjang malam meskipun tak mungkin.
Kedua mata Mayang terus terbuka, begitu juga dengan telinganya. Ia mendengar setiap kata yang terucap dari bibir Ivan. Sekali lagi, sama seperti semalam, ia larut dalam dongeng yang dibawakan oleh Ivan. Ia juga mendengar tawa atau pertanyaan dari Reva.
Dan tiba-tiba, air mata mengalir di wajah Mayang. Ia merasa iri setengah mati pada Reva. Ia masih sangat kecil, tetapi Reva memiliki segalanya. Reva lahir dari keluarga yang kaya raya, Reva juga punya ayah seperti Ivan, Reva bahkan tidur dipeluk ayahnya.
Sedangkan Mayang, hidupnya terasa begitu hancur hingga saat ini. Ia masih ingat, ketika ia seumuran dengan Reva, ia begitu kelaparan dan kondisi panti asuhan tidak begitu baik. Jadi, setiap siang ia duduk di depan toko roti dengan harapan ada orang yang iba padanya. Atau pada Damar. Terkadang, ada orang baik yang mau memberikan satu buah roti lalu ia dan Damar pun membaginya agar sama-sama tak kelaparan.
Mayang menahan isak tangisnya. Karena hari ini sangat kacau, ia bahkan tak sempat menjenguk Damar. Setengah jiwanya terasa remuk. Ia meremas selimutnya begitu kuat untuk menahan tangisnya. Kilasan ketika ia melihat Bayu dan Sekar turut hadir di kepala Mayang. Lalu, hinaan dari orang tua Ivan dan juga Ivan sendiri. Ah, rasanya ia sudah tak memiliki apa-apa lagi untuk bertahan.
Ivan baru saja berhenti menyanyi. Malam ini, ia hanya menyanyi sebentar karena Reva sudah sangat mengantuk. Dan kini, ia membalik badan. Ia menatap punggung Mayang yang bergerak aneh hingga ia mendengar isak tertahan Mayang.
"May, apa kamu nangis?" tanya Ivan hati-hati.
"Bukan urusan Om!" ketus Mayang tanpa menoleh.
"Aku bisa hibur kamu malam ini," ujar Ivan seraya memeluk tubuh Mayang dari belakang. Tentu saja, ia merasa Mayang langsung kaku dan menegang. Ia bahkan kaget sendiri dengan reaksi Mayang. Namun, ia tak bisa menahan hasratnya lagi. "Aku bisa bikin kamu jerit keenakan malam ini. Jangan menolak lagi, Reva udah tidur."