Cafe Taman Asri, cafe tempat dimana Erwin berdiam diri sejenak, menikmati kopi, kudapan, musik slow, dan taman yang hijau.
Suasana yang cocok bukan untuk membuang semua kepenatan kerja ?
Me time perlu bukan buat relaksasi ?
"Mau tambah lagi, Pak.kopinya?" tanya pramusaji berbalut seragam Cafe dengan rok di atas lutut dan kemeja pas badan.
"Kopinya enak tapi udah cukup. Sis." jawab Erwin senyum tipis.
"Minta bonnya, yah." pinta Erwin.
"Iya..sebentar yah,Pak." Pramujasi berlalu..
Erwin melirik arlojinya, jam menunjukan pukul 17.00.
Cukuplah...waktu buat bersantai sejenak,pikirnya.
Pramusaji kembali dengan membawa bon, Erwin merogoh tiga lembaran uang dan memberikan kepada pramusaji serta berkata,"Lebihnya buat tip.."
Pramusaji tersenyum."Terima kasih..Pak." Membungkuk memberi hormat .
Erwin langganan di kafe itu, biasa tiga kali seminggu dia di situ, sendiri. Dan satu hal yang membuat pramusaji suka dengan Erwin karena murah hati.
Pria paruh baya, ganteng, tubuh atletis, mapan, ramah dan murah hati lagi, idaman wanita bukan?
Para pramusaji wanita suka berbisik-bisik membicarakan Erwin di belakangnya.
Tatapan kagum sudah biasa bagi Erwin.
Bahkan ada yang berusaha menggodanya tapi Erwin tak bergeming.
Dia bukan tipe pria yang suka main- main di luar.
"Beruntung wanita yang memiliki suami seperti dia.." bisik-bisik para pramusaji di situ.
"Jdi istri keduapun mau aku.." bisik pramusaji satunya ,lebih genit.
"Tapi koq..selalu sendiri yah...jangan- jangan masih bujangan, mau daftar nih.." Setelah itu mereka cekikan.
Kuping Erwin sudah biasa mendengar celotehan mereka.
Tujuan Erwin hanya untuk melepaskan kepenatan kerja saja, jadi dia tidak tertarik dengan para wanita itu yang rata-rata cantik-cantik dan memiliki tubuh yang tinggi langsing.
Orang sering menyebut mereka kembang meja. Mereka menjadi daya tarik sendiri bagi para tamu hidung belang, kadang ada yang suka menggoda mereka dengan kata- kata rayuan tetapi Erwin lebih suka memberi tip atas apresiasi kerja mereka.
Tak heran Erwin disukai para pramusaji itu, tidak genit, sopan, ramah dan baik hati .
Erwin berjalan menuju parkiran mobil.yang terletak di depan cafe. Saat pintu mobil dibuka, dari kaca spion depan mobilnya dia sekilas melihat seorang wanita yang dikenalnya.
Berdiri di seberang jalan dekat kafe, sedang menanti seseorang mungkin?
Erwin spontan menoleh ke belakang untuk memastikan siapa yang dilihatnya.
Ya itu, Sara, istri anak buahnya , Ferry.
Sara juga teman istrinya, Netycia .
Tinggal satu komplek, beberapa blok dari rumahnya.
Nunggu siapa yah, kok kayak gelisah, batin Erwin.
Erwin hendak masuk ke mobilnya tapi dia lihat lagi Sara masih berdiri di situ dengan gelisah..Sebentar -bentar dia melirik jam tangan yang melilit pergelangan tangannya.
Apa dia lagi nunggu jemputan tapi telat jemputnya? Atau yang jemput ingkar janji ? Batin Erwin.
Erwin hendak menyapa tapi diurungkan niatnya. Maksud hatinya kalau Sara mau pulang ,sekalian saja dia antar pulang, toh satu komplek juga.
Akh, pasti sebentar lagi dia dijemput juga, lagi-lagi batin Erwin.
Namun, sekali lagi dia lihat ke arah Sara, wanita itu sedang menelepon, tak lama kemudian dia matikan telepon dan dari raut wajahnya kelihatan sedang kecewa.
Hmmm, kayaknya ga dijemput, kasihan juga, dia membatin.
Tapi...apa kata orang kalau ada yang lihat dia berduaan
dengan Sara di dalam mobil? Gosip pasti menyebar tapi kalau dibiarkan kasihan juga...., Erwin bingung mengambil keputusan.
Saat kebingungan itulah, Sara menoleh ke arahnya dan melambaikan tangannya.
"Pak Erwin.....!??" panggil Sara.
Erwin mau tak mau melambaikan tangannya juga dan memberi isyarat pada Sara untuk datang ke tempat parkiran mobilnya.
Sara sumringah seperti mendapat durian jatuh, dia berharap Erwin mau mengantarnya pulang. Suaminya yang diharapkan menjemput tidak bisa karena ada keperluan mendadak. Saat dia melihat Erwin, yang ada di pikirannya adalah pria inilah jalan keluarnya. Rumah mereka hanya jarak beberapa blok saja dan dia yakin sekali Erwin juga akan pulang ke rumah. Jadi tidak ada salahnya kan minta tolong?
Segera dia menuju tempat parkiran mobil Erwin.
Sesampainya di tempat parkiran, Sara membungkuk memberi hormat karena Erwin adalah pemimpin di tempat suaminya kerja..
"Maaf ya, Pak? Saya boleh numpang yah??' tanya Sara ragu-ragu.
Erwin tersenyum, "Ooh, ga papa Sara....kayaknya lagi nunggu seseorang tadi?"
"Iya, Pak, suamiku mendadak ga bisa jemput padahal saya mau cepat sekalian mau jemput anak pulang les, ...satu arah Jl. Thamrin.." Sara menjelaskan.
"Ooh ga papa...nanti sekalian saya jemput yah...kasihan juga nunggu terlalu lama..' Erwin mempersilahkan Sara masuk ke mobilnya, duduk di depan. Dia sendiri yang membuka pintu untuk Sara. Begitulah seorang pria sejati memperlakukan wanita.
Tak lama mobil sudah jalan perlahan.
Dalam perjalanan menuju tempat kursus anak Sara, dia dan wanita itu tidak bersuara seolah bingung mau bicara dari mana. Terlihat canggung. Erwin melirik Sara yang murung seperti ada beban menggantung di wajah cantiknya. Namun, Erwin tidak mau banyak bertanya walau dalam hatinya penasaran juga.
Erwin selama ini hampir tidak pernah memberi tumpangan kepada orang lain yang bukan keluarganya apalagi seorang wanita. Bukan apa- apa dia tidak mau ada pembicaraan negatif dan istrinya Netycia juga seorang yang agak posesif.
Tapi mungkin kali ini Nety bisa memaklumi andai tahu alasannya, Sara juga teman Nety kan?
"Sara ..dimana yah tempatnya?" Erwin bertanya karena dia merasa sudah cukup jauh mobilnya melaju menjauhi cafe tadi, sekarang sedang ada di jalan Thamrin. Sara tidak memberi petunjuk kapan mobil harus berhenti.
Sara seperti tersadar dari lamunan, gelagapan dia menjawab.
"O iy ya ya Pak..di situ dekat gedung Bank itu, warna biru gedung nya..." Sara menunjuk ke arah gedung itu.
"Ma..maaf Pak...saya lupa kasih tahu.." Sara merasa tidak enak hati karena membiarkan Erwin bertanya dulu, seharusnya dia yang memberi petunjuk dulu, bukan duduk seperti nyonya rumah di samping Erwin yang mengemudi.
"Ooh gak apa- apa..." Erwin bersikap biasa saja padahal hampir saja dia melewati gedung itu. Dan untuk kembali ke arah gedung itu dia harus memutar mobilnya lewat putaran dan tentu memakan waktu 5 menit lagi.
Mobil masuk pelataran gedung dimana anak Sara kursus.
Mobil berhenti, Sara pamit keluar menjemput anaknya yang sudah menunggu di luar gedung.
"Sapa oom, Niken..." titah Sara pada anaknya ketika sudah masuk ke dalam mobil.
"Makasih Oom, sudah jemput Niken.., " sapa Niken.
"Iya,Niken....sama-sama.." balas Erwin tersenyum sekilas menatap Niken, gadis kecil putri Sara satu-satunya
Kehadiran Niken mencairkan suasana yang sempat kaku. Erwin berbincang dengan Niken dan kadang ditimpali oleh Sara.
Niken baru berumur 10 tahun, seumuran dengan anaknya Monica. Cuman tempat sekolahnya beda.
Erwin bertanya banyak hal tentang sekolah, hobinya dan Niken dengan suka cita menjawab. Kadang mereka tertawa karena hal-hal lucu yang mereka bicarakan.
Sara juga ikutan tertawa dengan tingkah anaknya itu.
Suasana mendukung mereka menjadi akrab .
Tak terasa mereka sudah sampai di rumah Sara.
"Sekali lagi makasih ya Pak Erwin..." Sara menghaturkan rasa terima kasih dengan penuh hormat.
'"Makasih ya ..Oom.." kata Niken
" Sama- sama...Niken boleh datang ke rumah yah. Maen sama Monica ..." Erwin tersenyum.
Niken mengangguk lalu keluar dari mobil
Saat Sara mau keluar dari mobil juga tiba- tiba dia kehilangan keseimbangan karena hak sepatunya tersangkut karpet mobil.
Dia hampir jatuh tapi terselamatkan oleh gerak reflek Erwin.
Erwin spontan menarik tangan Sara dengan tangan kirinya sehingga wanita itu tidak jatuh terjerembab.
Tapi karena terburu- buru gaun Sara tersibak ke atas sehingga memperlihatkan paha mulus wanita itu.
Sara kaget, spontan menoleh ke arah Erwin dan dengan rasa malu segera membereskan gaunnya yang tersibak ke atas.
Erwin pura- pura tidak melihat karena dia tidak mau Sara akan semakin malu. Tindakan seorang gentleman bukan?
Dia melepaskan tangannya dan berkata, "Hati- hati.."
Sara menganggukan kepala dengan wajah yang masih bersemu merah.
Sara menutup pintu mobil perlahan dan mobil pun melaju pelan- pelan meninggalkan dia dan Niken yang mematung.
Sara berbisik kepada anaknya, "Jangan kasih tahu papa kalau mama hampir jatuh tadi."
Niken mengangguk.
Kejadian itu sekitar satu bulan yang lalu..
Seandainya inilah awal dari keruwetan lilitan masalah yang melanda rumah tangganya, menyesalkah Erwin memberi tumpangan kepada Sara?
Bila buah terlarang hanya manis sesaat kemudian pahit ditelan , masihkah Sara memberi diri menjadi penumpang bagi Erwin?
Buah itu kelihatan manis dilihat tapi pahit ditelan.
Hasrat hanya mampu membuai jiwa,
Ketika hasrat mengalahkan hati nurani , dia akan berujud buah terlarang.
Manis dilihat tapi pahit ditelan
Celah itu telah terbuka? Bukan ! Tapi dibiarkan terbuka!
****