FOUR- LUCAS AND HIS TROOPS.

2306 Kata
FOUR- LUCAS AND HIS TROOPS. MOONLIGHT memaksakan diri untuk melihat siapa yang datang meskipun dia tahu betul sosok tersebut. Tatapan mereka bertemu dan selama sesaat Moonlight melihat kebencian yang terpancar jelas di manik mata pria itu. Perasaan benci yang jelas ditunjukkan untuk Moonlight. Selebihnya, Brighton maish terlihat seperti pria yang pernah menjadi kekasihnya selama lima tahun. Bedanya Brighton tampak jauh lebih dewasa dari sebelumnya. Rahang tegas seolah dipahat langsung oleh para Dewa, tubuh berotot dibalut pakaian ketat, rambut ikal keemasan, dan bahu tegap layaknya seorang atlet. Brighton sempurna, persis seperti yang mampu diingatnya meski satu tahun berlalu tanpa pernah sekali pun mereka bertemu secara langsung. “Bagaimana keadaanmu?” Bright melempar pertanyaan seolah dia memang peduli padanya. Moonlight bergegas mengalihkan pandangannya dari Bright sebelum hatinya kembali hancur. Satu tahun yang lalu sepenuhnya salahnya. Ia meninggalkan Bright dan memilih bersama Lucas tanpa menjelaskan pada pria itu apa yang sebenarnya terjadi. Meskipun Moonlight sama sekali tidak menginginkan perpisahan mereka tetapi dia tidak punya pilihan saat itu. Hanya dalam satu malam hidupnya berubah drastis. “Kau tidak menjawab pertanyaanku.” Pria itu berjalan lebih dekat dan berhenti tepat di sisi ranjangnya. “Aku bertanya bagaimana keadaanmu, Moonlight.” Sembari manata hatinya Moonlight akhirnya membuka mulut. “Keadaanku akan jauh lebih baik jika tidak ada kau di sini, Brighton.” “Ah,” Bright merespon cepat. “Begitu, ya? Kalau boleh tahu kenapa kau terlihat ingin mengusirku? Apa aku punya salah padamu?” Moon hanya perlu mengatakan ‘tidak’ maka semua akan berakhir. Bright sama sekali tidak bersalah, dalam kasus ini dialah tersangkanya. Namun alih-alih menjawab pertanyaan Bright, Moon justru kembali memejamkan matanya. Diam adalah cara terbaik mengatasai masalah. Setidaknya itulah yang dirasakan oleh Moonlight saat ini. “Kau sengaja menghindari pertanyaanku?” cecar pria itu. Kesabaran Moonlight nyaris habis. Ia seketika melupakan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Seandainya situasinya berbeda, Moonlight ingin berlari ke pelukan pria itu dan mengatakan betapa dia sangat merindukannya. “Bisakah kau tinggalkan aku sendiri, Brighton? Aku tidak ingin bertemu siapa pun saat ini. Termasuk kau.” “Sayangnya tidak. Akulah yang membawamu kemari dan menyelamatkanmu. Jadi kau tidak bisa mengusirku begitu saja, Moonlight Lucia Rivera.” Pernyataan Bright menarik perhatian Moonlight cukup banyak. Ia akhirnya menolah untuk melihat pria itu. “Apa maksudmu? Ba-bagaimana kau bisa membawaku?” “Kau mencoba menyelamatkan seorang gadis yang tak lain adalah calon kakak iparku. Kebetulan saat itu aku berada di sana untuk berkumpul dengan keluargaku. Jadi kesimpulannya akulah penyelamatmu.” Sial! Umpat Moonlight dalam hati. “Oh.” Hanya satu kata itu yang mampu keluar dari mulutnya. Bright meletakkan sebeluh tangan di rahang Moonlight kemudian menariknya pelan agar pandangannya hanya fokus pada pria itu. Sentuhan sederhana itu menciptakan gelenyar aneh di sekujur tubuh Moonlight. “Ada yang ingin kau katakan? Seperti mengucapkan terima kasih atas pertolonganku?” Moonlight tersenyum miring. “Tidak. Anggap saja kita impas. Aku menyelamatkan keluargamu lalu kau menyelamatkanku. Begitu seharusnya, kan?” Jika dilihat dari ekspresinya Bright jelas terkejut dengan ucapan Moonlight. Pria itu membuka mulut selama sekian detik kemudian menutupnya lagi. “Tapi aku bisa saja membiarkanmu mati.” “Lalu kenapa kau tidak melakukannya? Kau mau aku merasa berhutang budi padamu? Begitu, Bright?” Kening Bright mengerut dalam. Pria itu kehabisan kata-katanya. Moonlight memberanikan diri untuk menatap pria itu tepat di manik matanya. “Sialnya aku sama sekali tidak merasa berhutang budi padamu. Kalau kau memang menyesal telah menyelamatkanku, sebaiknya sekarang kau biarkan aku mati. Jangan pedulikan aku dan tolong pergi dari sini sekarang juga.” Di akhir kata Moonlight memalingkan wajahnya lagi. Ia menutup mata rapat-rapat, berusaha sekuat tenaga untuk tidak menganggap ada pria yang dulu pernah sangat dicintainya. Hubungannya dengan Brighton tidak akan pernah berhasil. Sejak awal seharunya Moonlight menyadari semua itu. Lima tahun dihabiskannya untuk mencintai seseorang yang jelas bukan takdirnya. Lima tahun yang sia-sia. “Terima kasih,” pungkasnya. Keheningan merayap di ruangan itu. Moonlight bahkan bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Jika dia boleh memilih Moonlight sebaiknya mati daripada harus bertemu lagi dengan Bright. Perpisahan mereka telah mematahkan hati Moonlight hingga ke akar-akarnya. Saat itu Moonlight berpikir seluruh perasaannya telah mati dan dia hanyalah mayat hidup yang berjalan tanpa arah di muka bumi. Jika bukan karena putri kecil Mosha, mungkin Moonlight sudah mengakhiri hidupnya jauh-jauh hari. Terdengar suara kursi berdecit. Menurut dugaannya Bright menarik kursi yang terletak tak jauh dari mereka lalu mendudukinya. Ia tidak tahu apa tujuan Bright menolongnya. Moonlight juga tidak tahu apakah dia sanggup jika melihat Bright telah memiliki kekasih baru. Berada sedekat itu dengan Bright membuatnya gila. “Bisakah kita bicara baik-baik?” Demi Tuhan, Moonlight tidak ingin melihat Bright dalam versi terbaiknya. Ia lebih baik melihat pria itu marah atau membencinya. Sikap manis Bright bisa saja meruntuhkan tembok pertahanan yang dibangun Moonlight selama ratusan hari. “Tidak.” “Aku yakin kita bisa bicara baik-baik,” ucap Bright dengan sedikit nada paksaan di dalamnya. “Kau berhutang penjelasan padaku.” “Aku juga sangat yakin kau bisa meninggalkan aku sendirian di sini. Aku butuh istirahat, Bright.” “Kenapa kau meninggalkanku malam itu?” “Aku bosan denganmu.” “Siapa pria itu?” “Kau tidak mengenalnya. Kurasa apa yang kulakukan padamu malam itu sudah cukup jelas. Aku mengkhianatimu dank au boleh membenciku seumur hidupmu.” Moonlight terpaksa membuka matanya lagi. Benaknya terlempar pada kejadian di malam saat dia dan Bright hendak merayakan hari jadi mereka yang ke lima. Bright mengetuk-etukkan kaki di lantai. “Kenapa kau melakukannya?” “Apa?” Moonlight mengangkat sebelah alis. “Kenapa kau tega mengkhianatiku, Moon? Apa aku punya salah padamu?” Moonlight mendesah pelan. “Kesalahan sepenuhnya ada padaku, Bright. Jangan salahkan dirimu atas apa yang terjadi dengan kita berdua di masa lalu. Kau pria baik-baik. Akulah yang tidak pantas bersanding denganmu. Kau terlalu baik untukku.” “Begitu?” Bright bangkit dari duduknya. Ia berdiri tepat di sisi ranjang Moonlight. “Tidak ada penjelasan lain? Kau bisa membela dirimu sendiri dan aku akan dengan senang hati mendengarkannya.” “Tidak. Tidak ada pembelaan dariku.” Jantung Moonlight berdegup kencang saat melihat Bright menundukkan kepalanya. Pria itu menatap Moonlight intens tepat di manik matanya. “Kau layak mendapatkan yang terbaik, Bright.” Ia meneguk salivanya kala kening mereka menyatu. Seberkas rambut Brighton jatuh di kelopak matanya, memaksa Moonlight menutup mata. Cup. Sebuah kecupan singkat mendarat tepat di bibir Moonlight. Siapa pun yang berada di posisinya pasti terkejut. Itulah yang Moonlight rasakan saat ini. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Bright akan menciumnya. “Kau memberiku ciuman selamat tinggal dan aku belum membalasnya. Betapa tidak sopannya diriku. Kau benar, Moon, aku terlalu baik untukmu. Selamat tinggal.” Saat Moonlight membuka mata, ia melihat Bright tersenyum lebar. Setitik rasa bersalah muncul di permukaan hati Moonlight saat Bright mengucapkan dua patah kata yang tidak akan pernah dia lupakan. Selamat tinggal. ** Bright berjalan keluar dari ruang perawatan Moonlight setelah mengucapkan kalimat terakhirnya. Ketika salah satu tangannya berhasil meraih ganggang pintu tepat saat itu juga hatinya hancur berkeping-keping. Satu tahun Bright berusaha membenci Moonlight. Usahanya sia-sia ketika ia mendengar suara ketus dari gadis yang masih dipujanya hingga detik ini. Moonlight jelas berbeda dengan gadis yang dia temui tahun lalu. Selain dari segi fisiknya yang semakin mungil, nada bicaranya yang lebih ketus, Moonlight yang sekarang lebih terlihat seperti iblis di banding malaikat. Sesampainya di luar, ia melihat Brady. Pria itu menatapnya iba seakan-akan Bright adalah anak kecil yang baru saja terjatuh dari sepeda. Bright memalingkan wajah saat air matanya nyaris jatuh. Ia sama sekali tidak ingin terlihat sedih di hadapan siapa pun. Termasuk kakak kandungnya sendiri. Namun di luar dugaan. Brady justru merangkul bahunya dari samping kemudian menyeretnya pergi dari sana. Sang Kakak menepuk-nepuk bahu Bright dengan sayang sambil terus berjalan menjauh dari ruang perawatan Midnight dan Moonlight. Bright tidak tahu kemana Brady akan membawanya. Ia sudah tidak sanggup lagi menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata. Pandangannya kabur kala bulir-bulir air mata terjatuh di pipinya. Lama mereka berjalan Brady akhirnya menghentikan langkah. Bright menyeka air mata dengan punggung tangan tetapi sialnya air matanya tak kunjung berhenti. Ia mengumpat berkali-kali sambil menendang ke segala arah. “b******k! Sialan! f**k!” kata-kata tidak pantas terus terlontar dari mulut Bright sampai bermenit-menit kemudian. Amukan Bright akhirnya berhenti saat dia merasa lelah. Tubuhnya merosot ke tanah begitu saja. Kedua lutut Bright yang pertama kali mendarat di atas rumput kemudian telapak tangannya menyusul. Bright memandangi bumi yang kini menjadi pijaknnya. Hingga detik ini ia tidak tahu kesalahan apa yang telah dia perbuat hingga dia dikutut seperti sekarang. “Puas?” tanya sang kakak dengan nada lembut. “Ada lagi yang ingin kaukatakan?” Bright menggeleng. Ia sudah cukup puas memaki udara yang tak bersalah di sekelilingnya. Brady memperbaiki posisi duduknya. Ia mendaratkan p****t tepat di sebelah Bright. “Dia sudah siuman,” ujar sang kakak. “Ya.” sahut Bright ringan. “Aku berencana menemuinya dan berterima kasih padanya. Kupikir kalian butuh privacy jadi aku menunggumu hingga selesai.” Sata mendongak dan mengamati sekeliling Bright menemukan mereka berdua tengah berada di sebuah taman yang cukup sepi. Tidak ada orang lain selain mereka berdua di sana. Pohon-pohon menjulang tinggi di sekeliling mereka. Terdapat beberapa bangku taman yang hampir berkarat dan sebuah air mancur dengan ikan-ikan di dalamnya. “Seharusnya kau masuk tanpa harus menungguku selesai.” Setelah ini Bright harus berterima kasih pada kakaknya karena telah membawanya ke tempat yang tepat. Brady tersenyum tipis. “Kau tahu aku tidak akan melakukannya, Adik. Orangtua kita mengajarkan tata krama sejak kita masih kecil. Mengganggu pembicaraan orang lain sangat tidak sopan.” Bright melirik kakaknya sekilas sambil tersenyum tipis. “Berapa lama kau menungguku?” “Cukup lama tapi untungnya aku punya stok kesabaran yang melimpah.” Tangan kanan Brady terulur untuk mencabut rumput di hadapannya. “Jadi?” Untuk saat ini hanya Brady lah satu-satunya teman yang dia miliki. Bright mungkin sanggup menahan semua rasa sakitnya sendirian tetapi hal itu tentu tidak baik untuk kesehatannya. Ia ingin berbagi perasaannya dengan sang kakak. Lagipula saat mereka masih kecil mereka pernah berjanji untuk berbagi suka-duka. “Aku masih sangat mencintanya.” “Aku bisa melihatnya,” sahut Brady ringan. Tidak ada nada mengejek dalam suara pria itu. Artinya Brady sama sekali tidak keberatan dengan apa yang dia rasakan. “Kau tidak pernah melupakannya sejak kalian berpisah.” Sebuah senyum simpul terbit di wajah Bright. “Begitukah?” “Hei, aku mengenalmu dengan sangat baik, Kawan.” Keduanya kembali terdiam. Bright masih ingat bagaimana dulu dia sangat memuja Moonlight. Mereka bertemu saat masih berusia belasan tahun. Tumbuh bersama, belajar bersama, dan masih banyak lagi yang mereka lewatkan selama lima tahun “Dulu, karena kebodohanku aku kehilangan Midnight. Saat kami berpisah aku menyadari kalau aku tidak akan bisa hidup tanpanya. Aku bertekad untuk mencari Midnight dan memperjuangkannya jika lenganku sembuh. Akhirnya Mom membawaku kembali padanya. Jika aku jadi kau, mungkin aku tidak akan bisa bertahan selama itu tanpa wanita yang kucintai.” Bright menatap langit di atas mereka. Hari ini cuaca cukup cerah. Awan-awan bergantung di atas langit dan burung-burung melintas bersama rombongan mereka. “Aku mencintainya tapi aku tidak tahu apa dia merasakan yang kurasakan atau tidak. Selama ini aku sudah berusaha untuk melupakannya.” “Kau mungkin bisa bertanya padanya kenapa dulu dia tega meninggalkanmu.” “Sudah kulakukan. Moonlight yang sekarang berbeda, Brady. Dia bukanlah gadis manis yang dulu kukenal. Dia seperti iblis.” “Hmmm…” sang kakak berdeham singkat. “menarik. Yang kuingat dia sangat manis dan lucu. Aku penasaran apa yang membuatnya menjadi seperti itu.” Bright mengedikkan bahu. “Entah. Kau tahu apa yang dia katakan saat aku bertanya alasan dia meninggalkanku?” Sebelah alis Brady terangkat, “Apa?” “Katanya aku terlalu baik untuknya.” Mulut Brady menganga lebar kala mendengar ucapan sang adik. “Ha?” “Dia tidak pantas untukku dan masih banyak lagi. Dalam hubungan kami dial ah yang bersalah. Bukan aku.” Brady menepuk jidat dengan telapak tangan. “Jadi, apa artinya lima tahun ini baginya?” Bight mengedikkan bahu. “Entah. Semudah itu dia meninggalkanku. Menurutmu, apa kurangnya aku?” Kepala Brady meneleng sedikit. “Kau bertanya padaku?” Pertanyaan Brady diangguki oleh Bright. “Kau mau aku menjawab jujur, Adikku?” “Brady,” Bright kehilangan kesabaran. “Bisakah kau menjawabnya sekarang dan tolong jangan bertele-tele. Brady terkekeh geli. Ia mengangkat kedua tangan ke udara sambil berkata, “Oh, baiklah. Baiklah. Jadi kekuranganmu adalah…” Pria itu sengaja menjeda ucapannya untuk memancing emosi Bright. “Brady!” Bright menatap tajam sang kakak. “Kau terlalu baik.” “Ha?” Brady mengangguk dengan ekspresi menggemas khas kucing kecil yang meminta makanan dari majikannya. “Itu jawaban jujur dariku. Kau tahu, sebagian gadis menyukai pria-pria b******k. Itu… menantang bagi mereka.” Dengan malas Bright mengibaskan sebelah tangan. “Aku tidak berniat seperti itu. Aku tidak suka menjadi orang lain.” “Ya. Aku tahu. Aku mengenalmu cukup baik.” “Jadi?” “Tidak ada yang kurang dari dirimu. Kau sempurna, Adikku sayang. Kesalahan tidak ada pada dirimu. Kurasa Moonlight berkata benar.” “Lalu, kenapa dia meninggalkanku?” “Perasaan manusia tidak bisa dipaksakan. Mungkin ada laki-laki lain yang berhasil mencuri hatinya. Bukankah dia pergi dengan pria saat kau hendak melamarnya?” Bright mengangguk. Itu mengingatkannya pada Lucas. “Kudengar ada yang ingin menjemput Moonlight. Apa dia pria yang sama yang membawa Moonlight pergi di malam hari jadi kalian?” “Ya.” Bright meremas rumput hijau dengan kedua tangannya. “Namanya Lucas.” Brady mendesah pelan. “Apa hubungannya Moonlight dengan Lucas.” Saat Bright hendak menjawab pertanyaan kakaknya, tiba-tiba ia merasakan getaran halus di pahanya. Bright mengambil ponsel dari saku celana. Ia melihat nama Daniel tertera di sana. Dengan satu usapan Bright menerima panggilan Daniel. “Ada apa?” “Lucas datang kemari membawa pasukannya. Mereka memaksa membawa Moonlight.” “Sial!” umpat Bright sambil bangkit dari posisinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN