Secret Marriage 9

1514 Kata
PAGI HARI di kediaman keluarga Herman Danendra, Rini memegang gelas teh hangat miliknya, sambil menatap motor matic di garasi. Menurut Bi Sumi, itu adalah motor maminya Devan yang sekarang jarang digunakan. “Lagi ngapain kamu?” Devan sudah berada di belakang Rini dengan tampilan kantornya yang necis. “Lagi berdiri sambil lihat motor ini,” Rini menjawab sambil sekilas melihat ke arah Devan. “Emang kamu bisa naik motor?” tanya Devan tidak yakin. “Tentu saja bisa, naik motor besar pun aku bisa.” Rini berbicara dengan semangat. Teringat dirinya yang selalu jalan- jalan bersama ayahnya menggunakan motor di sore hari. “Kalau kamu bosan, kamu bisa pakai motor itu untuk jalan- jalan,” ucap Devan datar sebelum masuk ke dalam mobil. Rini memandang mobil Devan yang keluar dari pagar rumah. “Kesambet apa, ya, itu orang? Tumben menyapa—ah, tapi tetap saja dingin,” gumam Rini sambil mengangkat satu alisnya. Ia kembali menatap motor milik mami Devan dan tersenyum. Sepertinya jalan-jalan sebentar tidak akan masalah. Setelah menyelesaikan pekerjaannya membantu Bi Sumi, Rini meminta izin pada Mila untuk berjalan-jalan sebentar. Mila awalnya menolak karena khawatir Rini belum terlalu hafal jalan, tapi melihat wajah sedih Rini yang tidak membantah membuatnya luluh. “Jangan jauh-jauh, ya, dan cepat pulang,” ucap Mila yang dibalas anggukan senang dari Rini. Gadis itu selalu terharu akan kebaikan hati keluarga Devan. Motor yang dikendarai Rini berjalan perlahan. Mau ke mana, ia juga belum tahu. Gadis itu berhenti di taman, hendak mengambil foto, tapi saat memeriksa tasnya ternyata ponselnya tidak ada. “Aduh … jangan-jangan ketinggalan. Tadi, kan, aku lagi isi daya.” Gadis itu bicara sendiri sambil mengobok-obok isi tasnya. Setelah beberapa saat mencari dan hasilnya nihil, ia menepuk jidatnya sendiri, kesal dengan kecerobohannya. Rini memutar bola matanya, melihat ke sekeliling. Bibirnya tersenyum lebar saat melihat bangunan bertuliskan perpustakaan umum yang agak jauh di depan. Segera dinaikinya motor dan berkendara ke arah bangunan megah itu. Setelah mendaftar kartu anggota, Rini mulai tenggelam dalam bacaannya. Masalah ponsel yang tertinggal tidak ia pikirkan lagi. Ia tenang membaca, sedangkan di rumah keluarga Devan sedang terjadi kehebohan. Bi Sumi dan mami mulai panik karena sampai menjelang jam makan siang Rini belum juga kembali. Apalagi saat menghubungi ponsel Rini yang terdengar hanyalah nada bahwa nomor yang dituju tidak dapat dihubungi. Mami yang panik akhirnya menelepon Devan yang tidak juga mengangkat ponselnya yang memang dalam mode hening. Saat dihubungi, Devan sedang makan siang bersama Kiara, sahabat sekaligus kolega bisnisnya. “Untuk selanjutnya, urusan bisnis akan dipegang Mas Abi, suamiku.” Kiara berbicara sambil memakan salad buahnya. “Aku sebenarnya malas berurusan dengan suamimu yang irit bicara itu.” Devan menaikan satu alisnya yang dibalas tawa Kiara. “Kamu kenapa tertawa? Ada yang lucu?” “Kamu enggak sadar, ya, kalau kalian itu sama! Sama-sama seperti es batu dan irit bicara. Kalau Mas Abi akan banyak bercerita ketika bersama sahabatnya, Laras, sedangkan kamu akan banyak ngoceh ketika bersamaku. Jadi, lucu kalau kamu olokin suamiku begitu.” “Bela terus suamimu itu,” sindir Devan sambil memicingkan matanya pada Kiara. “Makanya cepat nikah, biar sedikit hangat.” Kiara kembali tertawa yang dibalas Devan dengan gaya merajuk. “Kenapa kamu enggak nikah saja sama Nadine? Ia baik dan juga cantik, bukan?” Sambil makan salad Kiara terus berbicara. “Sudahlah, kenapa kamu jadi seperti Mami?” protes Devan pada Kiara yang memang selalu blak-blakan kalau bicara. Gaya bicara dan juga tingkah Kiara mengingatkannya pada seseorang yang selalu saja ceroboh. Selesai makan siang, ia dan Kiara berpisah menaiki mobil masing-masing setelah berjanji akan bertemu kembali saat Kiara berkunjung ke rumahnya. Devan memeriksa ponselnya saat sudah di dalam mobil. Ia kaget mendapati banyaknya panggilan tak terjawab dari mami. Ia segera menelepon balik dan tentu saja dirinya kena omel mami, tapi tidak berlangsung lama karena mami segera menceritakan jika Rini belum kembali sedari pagi dan parahnya lagi ponsel gadis itu ketinggalan di kamar. Devan menenangkan maminya dan berjanji akan segera mencari Rini. “Selalu saja ceroboh,” gumamnya kesal, lalu segera menjalankan mobilnya mencari Rini dengan raut wajah khawatir. Di tempat lain, Rini yang sudah selesai membaca dan salat zuhur sedang makan bakso di kantin dekat gedung perpustakaan. Selesai makan, ia segera keluar dari kantin dan berjalan menuju parkiran. Rini mengambil uang di dompet untuk membayar parkir. Uang di dompet Rini setiap bulan selalu saja penuh. Uang saku dari Bi Sumi. Rini sering menolaknya, tapi Bi Sumi selalu memasukkan uang itu ke dompet Rini saat gadis itu tertidur. Tanpa Rini ketahui, uang itu berasal dari Devan yang secara mengejutkan—setidaknya untuk Bi Sumi—memahami tanggung jawabnya sebagai suami. Rini memacu motornya pelan sambil melihat petunjuk jalan. Saat ia melewati alun-alun kota, air liurnya hampir saja menetes melihat tukang rujak buah yang berjejer. Akhirnya, ia memutuskan untuk berhenti sejenak. Setelah memesan dan menunggu beberapa saat di bangku yang sudah disediakan, akhirnya pesanannya tiba. Rini mulai menyantap rujak buah dengan lahap. Tanpa ia sadari sepasang mata menatapnya marah dari kejauhan. “Rini!” pekik Devan pelan saat sudah berada di dekat gadis itu. Rini kaget melihat Devan bisa berada di depannya. Ia hendak bicara, tapi diurungkannya saat melihat raut wajah suami rahasianya itu terlihat begitu kesal. “Ayo, pulang! Kamu sudah buat mami sama Bi Sumi panik di rumah,” ucap Devan pelan, tapi penuh tekanan. “Boleh saya habiskan rujak dulu?” Rini belum mau beranjak. “Bungkus saja. Jangan sampai kamu buat mami jantungan gara-gara khawatirin kamu!” tegas Devan yang membuat Rini langsung berdiri. Mami Mila pasti sudah sangat khawatir padanya karena tidak bisa dihubungi. Setelah membungkus rujak dan membayar, Rini segera berjalan mengikuti Devan menuju mobil setelah menitipkan motor pada tukang parkir. Motor itu akan diambil oleh sopir nanti. Rini membuka pintu mobil belakang. “Duduk di depan, aku bukan sopirmu!” bentak Devan sedikit kasar yang membuat Rini hampir saja menangis. Air matanya sudah menggenang di pelupuk mata, tapi ditahan untuk tidak keluar. Segera dihapusnya sebelum masuk ke dalam mobil dan duduk di samping Devan yang mulai fokus mengemudi. “Kalau kamu mau pergi, ya, pergi saja, tapi jangan menyusahkan!” Devan mulai mengomel yang dibalas Rini dengan kebisuan. Percuma ia melawan karena dirinya yang salah. “Sikap ceroboh kamu juga dikurangi, bisa-bisanya pergi tanpa membawa ponsel!” Devan masih menyambung omelannya. Rini tetap diam sambil menahan air matanya yang hampir keluar sambil memandang keluar jendela. Ia tidak pernah dibentak oleh ayahnya. Jika ia salah, ayah akan menasehatinya setelah emosi ayah reda. Devan menarik napasnya dalam. Ia melirik ke arah Rini dengan ekor matanya. Gadis itu terdiam tidak seperti biasanya. Rasa bersalah menyusup ke dalam hatinya. Ia tadi begitu khawatir pada Rini sehingga selesai mami menelepon, dipacu mobilnya dengan segera. Hening. Devan sudah tidak bersuara lagi. Rini pun masih diam, tidak membalas tiap perkataan Devan. Akhirnya, mobil berhenti di depan rumah. Devan keluar dari mobil yang disusul Rini yang masih saja diam. “Rini, kamu dari mana saja, Nak?” Bi Sumi memeluk Rini dengan erat begitu melihat anak angkatnya itu. Mila yang mendengar jika Rini sudah kembali juga segera memeluk gadis itu yang langsung menangis dalam pelukan Mila. “Loh ... loh, kenapa menangis? Kamu dari mana, Nak? Kamu enggak apa-apa, ‘kan?” tanya mami beruntun. Bukannya menjawab, Rini malah makin menangis. “Kamu tadi diganggu orang?” tanya mami yang dibalas gelengan Rini. “Lalu kenapa menangis? Mas Devan marahin kamu?” tanya mami lagi yang kali ini dibalas anggukan Rini. Mami memicingkan mata ke arah Devan yang hanya tersenyum keki dan segera pergi untuk kembali ke kantor. Mila menatap punggung putra sulungnya yang berjalan menjauh. “Sudah, sudah … nanti mami marahin Mas Devan. Semua orang mengkhawatirkanmu, jadi Mas Devan marah karena hal itu.” Mila membelai rambut Rini dengan lembut.” Kamu istirahat, ya.” Rini mengangguk dan berjalan ke kamar bersama Bi Sumi. Malam harinya, Rini membantu menyiapkan makan malam seperti biasanya. Papi dan Devan pulang lebih awal karena kakek ingin makan malam lengkap. Rini sudah ceria seperti biasanya, tapi ia berusaha menghindar saat berpapasan atau melihat Devan. Devan juga terlihat cuek walau sebenarnya ia merasa bersalah. **** Hari-hari berjalan seperti biasa, semua sibuk dengan kegiatan masing-masing. Devan cuek seperti biasa, dan Rini masih juga enggan berpapasan atau menatap Devan. Suatu hari, rencananya orang tua Devan akan menginap di rumah Adrian dan Freya selama dua hari, sedangkan kakek akan jalan-jalan sendiri ke luar kota mengunjungi sahabatnya. Sebelum pergi, mami berpesan pada Rini untuk membersihkan gudang belakang. Rini tentu saja senang, apalagi di sana banyak n****+-n****+ bagus milik mami dan buku- buku cerita lama milik Adrian. Gudang belakang tidak bisa disebut gudang karena sangat rapi. Mami menatanya dengan baik, hanya saja perlu di sapu dan juga dibersihkan dari sarang laba-laba beberapa hari sekali. Rini menyalakan lampu dan mulai membersihkan gudang itu dengan telaten. Matanya menangkap beberapa judul buku fiksi seri petualangan milik Adrian. Ia tertarik membaca beberapa buku tersebut. Saat asyik membaca, tiba-tiba lampu padam. Rini kaget dan merasa sesak napas berada dalam ruangan gelap. Ia seperti kehabisan napas, lalu jatuh dari kursi yang didudukinya. “To- tolong ….” Rini hanya dapat berucap pelan sebelum akhirnya jatuh pingsan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN