SYUKURAN kecil-kecilan kehamilan Freya di rumah orang tua Devan dihadiri oleh keluarga dekat saja dan beberapa sahabat dekat orang tuanya.
Devan duduk termenung di taman belakang setelah berbasa-basi sejenak bersama Adrian dan Freya. Ia lebih memilih menyendiri setelah mendapat telepon yang sedikit membuatnya marah.
Pria itu tidak menyadari jika Nadine sedari tadi memerhatikannya. Teman masa kecilnya hingga sama-sama berpisah saat Devan memutuskan melanjutkan kuliah di luar negeri. Nadine mengenal Devan sebagai pribadi penuh wibawa dan Devan mengingatnya sebagai gadis penuh tawa. Entah ingatan itu masih bertahan di kepala Devan atau tidak.
Nadine berjalan pelan ke arah Devan yang refleks menolehkan wajahnya. “Kenapa kamu selalu siaga begitu? Aku jadi takut, jangan-jangan selain menjadi CEO, kamu ini punya pekerjaan sampingan sebagai pembunuh bayaran?” canda Nadine, yang lalu duduk di samping Devan.
Devan menatap Nadine tajam. Wanita cantik itu sempat mengisi harinya. Saat cinta monyet bermekaran, Devan pernah mengiakan ajakan Nadine untuk berpura-pura menjadi pacarnya. Namun, rasa itu entah mengapa tidak pernah timbul—atau jangan-jangan ia gay seperti yang
dituduhkan Nadine dengan air mata yang berlinang saat ia memutuskan untuk mengakhiri hubungan pura-pura mereka? Bagaimanapun, hingga saat ini Devan tidak pernah terlalu memedulikan itu.
Nadine juga menatap ke arah Devan. Laki-laki yang pernah singgah di hatinya, membuatnya nekat mengajak pria dingin itu berpacaran walau dengan embel-embel pura-pura. Namun, nyatanya Nadine menyimpan rasa istimewa untuk Devan yang tidak pernah dibalas walau ia berusaha dengan berbagai cara. Hati pria itu seperti tersimpan di sebuah planet nun jauh, menunggu diambil oleh si pemilik yang tepat.
“Kenapa menatapku begitu?” tanya Devan sambil tersenyum.
“Kamu juga menatapku terlebih dahulu,” balas Nadine yang selalu memanggil Devan dengan bahasa tidak formal saat di luar kantor.
“Oh … iya, aku kaget kenapa kamu ada di sini.”
“Tante Mila mengundang mamaku, jadi apa salahnya aku juga ikut? Sudah lama, kan, aku tidak bertemu Tante Mila dan keluargamu yang lain.” Nadine memandang ke arah bunga- bunga yang tertata rapi.
Nadine baru kembali dari luar negeri dan lebih memilih melamar ke perusahaan milik keluarga Devan daripada perusahaan milik keluarganya. Tentu saja atas rekomendasi Mila yang niat tersembunyinya sudah tercium oleh Devan.
“Ayo, masuk, aku mau makan,” ucap Devan, lalu berdiri dari duduknya dan melangkah mendahului Nadine.
“Apa … kita benar-benar tidak bisa bersama dan mencoba saling memiliki?” Nadine menghentikan langkah Devan dengan kalimatnya.
“Semakin kita mencoba, kamu akan semakin sakit,” balas Devan yang hendak kembali melangkah meninggalkan Nadine.
Menghindar adalah cara terbaik daripada duduk bersama.
“Aku bisa tahan, setidaknya ragamu ada bersamaku walau hatimu belum bisa kumiliki.” Nadine masih tetap bersikeras dengan keinginannya.
“Jika menjadi sekretarisku membuatmu tersiksa, lebih baik kamu resign saja,” jawab Devan dingin, lalu segera melangkah pergi tanpa memedulikan Nadine yang masih ingin bicara.
Gadis cantik itu menatap punggung Devan dengan hati yang kembali luka. “Semoga selalu di dekatmu membuat hatimu sedikit berubah,” gumamnya dalam hati, lalu melangkah menyusul Devan.
Sementara itu, Rini yang sedang terburu-buru membawa baki berisi kopi yang hendak diantarkan pada Devan di taman, tidak sengaja bertabrakan dengan Devan di pintu masuk.
Rini tercekat sesaat.
“Aduh … maaf … maaf, enggak sengaja!” seru Rini panik sambil berusaha membersihkan baju Devan.
“Kamu ini selalu saja ceroboh!” omel Devan yang ditanggapi cengiran ala Rini.
“Pasti panas, ya, Pak. Sini saya bersihkan.” Rini meletakkan kopi di meja, lalu hendak membersihkan lagi, tapi ditepis oleh Devan.
“Lagian kamu buat kopi ke luar negeri dulu, ya? Lama sekali!” omel Devan yang ditirukan Rini dengan gayanya, membuatnya menjitak kepala Rini pelan.
“Bapak ini apa-apa, sih, main jitak? Memang saya anak kecil?” Rini mengomel sambil mengusap keningnya.
“Pertama, air bekas pel, sekarang kopi. Nanti apa lagi?” Devan geleng-geleng kepala sambil tetap mencak-mencak kepada Rini.
“Ada apa, Dev?” Nadine sudah berada di samping Devan karena mendengar sedikit keributan. Untung saja semua tamu berada di dalam sehingga tidak mendengar kehebohan yang diciptakan Rini.
“Ah … Bu Nadine, ini saya yang salah.” Malu-malu, Rini menunjuk pada baju Devan.
“Aku bantu bersihkan, ya,” ucap Nadine sambil menggandeng tangan Devan yang tidak menolak.
Setelah Devan dan Nadine pergi, Rini mengelus dadanya. “Huff … kenapa orang itu selalu kena sial, sih, kalau aku bawa- bawa air?” Ia mengambil kopi yang tadi diletakkan di meja dan meminumnya sedikit.
Rini lalu menyalakan lampu taman yang lain dan melangkah untuk duduk sejenak di bangku taman, menikmati bintang yang bertaburan dengan indah. Toh, makanan sudah dihidangkan, tinggal nanti beres-beres setelah semua tamu undangan pulang.
****
Semua tamu sudah pulang. Orang tua dan kakek Devan pun sudah masuk kamar. Adrian dan Freya yang menginap di sini juga sudah masuk ke kamar lama Adrian. Rini menyuruh Bi Sumi tidur setelah beres-beres di ruang depan bersama beberapa asisten rumah tangga. Untuk di dapur, Rini sendiri yang akan membereskan. Walau Bi Sumi ingin membantu, Rini melarangnya.
Setelah selesai mencuci semua piring, Rini mengepel lantai dapur. Setelah semua beres, ia lalu mencuci tangan dan membuat teh hangat untuk dirinya sendiri. Duduk dalam diam sambil menyesap teh hangatnya.
“Apa masih ada makanan?” Satu suara mengagetkan Rini.
Saat melihat si pemilik suara, Rini hanya melengos.
Devan. “Ditanya, kok, diam? Kecapekan, ya?”
“Tentu saja capek. Kok pakai nanya? Bapak ini nanya apa lagi ngolokin saya?” balas Rini sedikit sensi. Mungkin mau datang bulan, bawaannya selalu emosi.
“Apa masih ada makanan?” tanya Devan lagi sambil menggeser kursi di depan Rini.
“Memangnya Pak Devan belum makan?” Rini mengernyitkan keningnya yang dibalas gelengan Devan.
“Bapak ini tiap tengah malam selalu kelaparan, ya?” tanya Rini lagi mulai cerewet.
“Iya, belum ada yang bisa dimakan di kamar, jadi selalu kelaparan,” jawab Devan asal yang membuat Rini menautkan kedua alisnya karena bingung.
“Maksud Pak Devan?” Rini sungguhan bingung, tapi Devan hanya mengangkat bahu menjawabnya.
“Kamu bisa buatkan masakan seperti yang aku makan beberapa hari lalu?”
“Oh … itu, rabokki.” Rini kembali menyesap teh hangatnya. “Aku tidak tahu namanya, tapi enak,” ucap Devan terdengar
jujur.
“Huff … Bapak ini kenapa menyusahkan, sih?” Meski mengomel, sebenarnya Rini meredam rasa gembiranya karena dipuji. Ia lalu bangun dari duduknya, mengikat rambutnya ke atas dengan asal—bersiap memasak.
“Rambut kamu kalau dibiarkan tergerai saja enggak bisa, ya?” Devan tiba-tiba berbicara sedikit cepat.
“Memangnya kenapa?” tanya Rini tidak memedulikan protes dari Devan.
Devan berusaha mengalihkan tatapan dari leher Rini. “Tidak ada yang istimewa dengan gadis itu, tapi kenapa setiap melihat lehernya yang berkeringat? Saat rambutnya diikat ke atas
begitu, membuatku ingin sekali memakan dirinya?” gumam hati Devan sambil berusaha konsentrasi pada ponselnya.
Sebab asyik bermain game, Devan tidak menyadari jika Rini telah selesai dengan masakannya.
“Ini makanannya.” Dengan gaya cuek, Rini menghidangkan masakannya beserta segelas air hangat di depan Devan yang segera mengambilnya, lalu berdiri.
“Terima kasih,” ucap Devan tulus yang dibalas anggukan Rini. “Suatu saat aku akan mengajakmu jalan-jalan ke Korea jika kamu sangat suka masakan Negeri Ginseng itu.” Devan menawarkan sebuah perjalanan yang langsung membuat Rini segera mendekat padanya untuk mengucapkan terima kasih karena saking senangnya.
Devan refleks mundur, Rini mengernyit. Apa ia bau badan sehingga Devan mundur saat ia dekati? Rini mencium bajunya sendiri.
“Jika sedang berkeringat, jangan pernah mengikat rambutmu demikian di depanku atau aku akan memakanmu,” ucap Devan cepat, lalu segera berbalik dan melangkah pergi. Ia lebih baik makan di ruang depan daripada terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
“Idih, dasar Pak Tua pemarah dan aneh! Amit-amit yang jadi istrinya nanti. Pasti selalu kesal dibuatnya.” Rini mengusap- usap dadanya, tidak menyadari akan perkataannya. Padahal, dia memang istri Devan, kan?