Mampukah hati kita bijak menyikapinya, saat yang datang bukanlah yang di damba? Mampukah kita tidak berlebihan menyambutnya saat yang datang memang yang di harap.
___________
Reuni pun tiba. Amara datang dengan suaminya. Sedangkan Naila datang seorang diri.
Seperti dugaan Naila, Tempat reuni terlihat ramai dan semarak. Membuatnya merasa kurang nyaman. Tapi demi menyenangkan teman-temannya yang lain. Gadis itu tetap mengembangkan senyum manisnya. Sebisa mungkin ia harus tampak seceria biasanya. Meskipun hatinya saat ini sedang berjuang menyembuhkan luka.
Di sana ia bertemu dengan para teman-teman seangkatannya dan senior-seniornya dulu saat di kampus. Bertemu mereka membuat Naila bernostalgia akan masa-masa saat ia kuliah dulu.
Ada Kak Suyud yang suka membuat tebak-tebakan lucu; Kak Didi yang pendiam; menyeramkan tapi baik hati dan pedulian; Kak Hakim yang bijaksana dan suka memberi nasehat, dan lain-lain. Dan tentu saja ada Kak Nathan si ketua acara reuni ini.
Naila menatap Nathan dari kejauhan. Pria itu sedang menyalami para tamu reunian dengan senyum ramah. Di mata Naila, Kakak seniornya itu seolah tak pernah berubah. Pria itu masih terlihat tampan seperti dulu. Dan pembawaanya yang humble, ramah pada siapa saja, membuatnya memiliki kesan karismatik. Dulu di kampus banyak dari anak-anak gadis seangkatannya bahkan dari para junior, mengiriminya surat cinta. Tapi tak ada satupun yang menarik perhatian Nathan. Ia tetap suka sendiri dan memang tak ingin pacaran juga.
Pernah dengar, sekalinya ia dekat dengan seorang wanita. Tapi tak sampai ke pelaminan. Dan sekarang ia pun masih sendiri atau sudah memiliki pasangan? Naila hanya bisa menerka-nerka.
"Naila!" Panggil seseorang dari arah belakangnya. Seketika ia menoleh ke asal suara. Ia sangat terkejut saat mendapati bahwa Nathan lah yang tengah memanggilnya. Ia tak tahu dari arah mana pria itu datang. Padahal tadi ia melihat Nathan sedang berada di antara kerumunan di depan sana. Dan saat ini tiba-tiba sudah ada di belakangnya.
"Kak Nathan!" Sahut Naila sedikit gugup. Gadis itu dulu diam-diam pernah menyimpan rasa pada pria yang kini ada di hadapannya. Tapi dulu Naila menyukai Nathan hanya sebatas suka memandangi pria tersebut dari kejauhan. Tak seperti gadis-gadis lain yang berani mengiriminya surat, bahkan menyatakan cinta secara terang-terangan.
"Apa kabar?" Tanya Nathan seraya tersenyum. Mereka berdua berdiri berhadapan dengan jarak dua meter.
"Alhamndulillah baik! Kakak sendiri?" Sahut Naila dengan sedikit malu-malu.
"Alhamndulillah baik juga, kamu datang sendiri atau...,"
"Aku sendiri!" Sahut Naila cepat. Karena yach. Inginnya sih bersama pasangan. Tapi Allah belum berkenan memberikannya. Batinnya sedikit pilu saat menerima pertanyaan seperti itu dari kakak seniornya.
Nathan mengangguk tanda mengerti. Kemudian hening. Sejenak keduanya merasa cangung.
"Kalo kak Nathan sendiri, datang sama siapa?" Ujar Naila berusaha memecah keheningan. Matanya ia edarkan ke sekitar Nathan, celingukan seolah sedang mencari seseorang. Mengingat yang lain rata-rata datang dengan pasangannya masing-masing.
Melihat tingkah Naila, Nathan jadi tertawa kecil, merasa lucu dengan tingkah gadis yang ada di hadapannya. "Aku juga datang sendiri, Naila!" Jelasnya masih dengan menahan tawanya.
"Kata siapa sendiri, dia Datang sama aku!" Tiba-tiba terdengar suara menyahut dari balik punggung Nathan. Seketika Nathan pun menoleh, dan mendapati seorang pria yang lebih muda darinya berjalan ke arahnya.
"Kamu datang sama aku, tapi pas di depan seorang gadis, ngakunya datang sendiri, dasar!" Protes pria muda yang kini tengah berdiri tepat di sisi Nathan.
Nathan hanya tersenyum mendengar celotehan adik laki-lakinya yang sedang merajuk. Sedangkan Naila yang masih berdiri di hadapan mereka memandang laki-laki yang baru datang itu dengan tatapan tak asing.
"Kamu!" Seru Naila, dan itu membuat perhatian pria muda di sisi Nathan teralih dan menatap ke arahnya.
"Kamu!" Mereka berdua sama-sama menatap dengan tatapan terkejut sekarang. Tidak hanya mereka berdua. Nathan pun tak kalah terkejut.
"Kalian saling kenal?" Ujar Nathan pada mereka berdua.
"Kenal, dia kan cowok kulkas yang baru magang di perusahaan tempat aku kerja!"
"Enak saja bilang aku kulkas. Kamu tuh cewek centil, bawel, aneh dan suka lebay!"
"Kamu tuh nggak ada sopan-sopannya ya, sama senior!" Dengus Naila dengan menatap kesal ke arah Zian, cowok yang baru saja datang tersebut.
"Bodo! Memangnya aku peduli!" Zian membuang muka.
"Kamu, tuh ya... !" Naila baru saja ingin mengajukan protes lagi, tapi Nathan buru-buru melerai.
"Stop! Apa-apaan sih kalian ini, seperti anak kecil saja!" Ujar Nathan sambil menatap ke arah Naila dan Zian bergantian. Sedangkan Naila dan Zian sama-sama membuang muka.
Nathan Pradana. Berusia 29 tahun, Tampan, ramah dan sangat karismatik. Ia adalah kakak senior Naila saat masa kuliah dulu. Karena pembawaanya yang humble. Ia banyak di sukai dan di gilai kaum hawa. Tapi entah mengapa sampai sekarang ia masih betah sendiri.
Zian Pradana. Berusia 23 tahun. Tampan juga sih, cowok dengan pembawaan tengil juga dingin ini, adalah pegawai magang yang baru saja masuk di perusahaan tempat Naila berkerja. Pria ini suka bicara sarkas dan apa adanya. Entah mengapa saat bertemu Naila. Ia selalu mengajak gadis itu bertengkar.
"Naila! Kak Nathan!" Kini suara dari arah berlainan mengalihkan pandangan Naila, Nathan dan Zian ke asal suara yang tengah memanggil.
"Aku cari-cari kalian dari tadi, ternyata kalian malah ketemu disini, syukurlah!" Ujar Amara yang baru saja datang. Ia mengembangkan senyum, tapi senyumnya seolah ada sesuatu yang terselubung. Dan Naila menyadari itu.
"Ya... kami nggak sengaja ketemu tadi disini!" Ujar Nathan seraya tersenyum kecil.
"Oh..., kak Nathan apa kabar? Ini siapanya kak Nathan?" Ujar Amara sambil mengalihkan pandangannya pada Zian.
"Alhamndulillah..., kabarku baik-baik saja, Amara, Oh... iya kenalin, ini adik ku, namanya Zian."
Adik? Jadi cowok tengil ini adiknya Kak Nathan? Beda banget sama kak Nathan. Batin Naila sambil menatap aneh ke arah Zian.
Zian balik menatap, dari sorot matanya seolah sedang berkata. Jangan tatap aku seperti itu cewek aneh.
"Oh... adiknya? Baru tahu aku kalo Kak Nathan punya adik laki-laki, setahu aku adik nya kak Nathan cuma Fathya saja, biasanya Kak Nathan ngajak Fathya, Fathya nya kemana? Nggak ikut?" Tanya Amara berbasa-basi.
"Iya... Fathya nya lagi ada urusan sama mama dan papa, dia lagi ada acara prosesi ta'arufan sama anak salah satu teman mama, ya terpaksa deh aku ajak si jagoan ini!" Nathan menyenggol pundak Zian pelan. Zian diam tak menanggapi.
"Semoga lancar, acara prosesi ta'arufannya Fathya ya!"
"Amiiin!" Sahut Nathan.
"Kalo kak Nathan kapan?" Celetuk Amara sambil melirik ke arah Naila. Naila sudah menduganya, pasti sahabatnya itu ada maksud terselubung dengan kata-kata nya barusan. Bahkan sejak awal kedatangannya tadi.
Nahtan masih terdiam, sedangkan Naila menunduk, wajahnya tiba-tiba murung jika harus mendengar kata-kata ta'aruf. Jelas ia masih sibuk menyembuhkan luka. Dan saat ini sedang mati-matian menyembunyikannya di hadapan semua orang.
Zian yang diam-diam sadar akan perubahan sikap yang di tunjukkan Naila. Tiba-tiba berjalan ke arah gadis itu.
"Maaf semuanya, aku pinjem kak Naila nya bentar, ada yang mau aku omongin!" Sontak Naila merasa kaget, tapi ia pun tak bisa berbuat apa-apa saat tangan Zian mulai menarik tangannya menjauh dari tempat itu. Perasaanya yang sedang kalut membuatnya menuruti langkah Zian.
Nathan dan Amara yang menyaksikan itu hanya bisa menatap keheranan sambil memandangi punggung Naila dan Zian yang mulai menjauh.
"Mereka mau ngapain?" Kata Amara menatap ke arah Nathan.
Nathan mengangkat kedua bahunya. Tanda tidak tahu harus menjawab apa. Tapi sorot matanya seolah sedang berfikir. Setelah itu ia pun berlalu.
"Aku permisi dulu ya Amara, assalamualaikum...,"
"Wa'alaikumsalam...," Jawab Amara yang merasa masih kebingungan, tapi tak ingin memikirkannya lebih jauh.
BERSAMBUNG.