Aku menangis semalaman. Mataku sembab tak karuan. Entah lebih karna mengasihani keadaanku yang diujung tanduk, menggantungkan diri pada monster—atau karna hati yang remuk melihat Jinmin menyetubuhi wanita lain. Betapa menyedihkannya aku sekarang. Paginya, aku berusaha menutupi lingkaran hitam besar di bawah mataku –namun tentunya gagal. Ketika Jinmin mendapati diriku, dia hanya terdiam tak banyak berekspresi. Mungkin dia sudah tahu. Atau mungkin aku memang tak penting untuknya. "Ayo kita berangkat ke sekolah," ujarnya mengusap pucuk kepalaku. Aku mengangguk dalam diam. Kalau sudah begini, aku akan kembali lemah. Seperti melupakan segalanya. Jinmin mengeluarkan beberapa pil dan memberikannya padaku. Aku menoleh menatapnya—mengisyaratkan pertanyaan. "Anti depresi. Obat penenang. Ketika ke