"Marinaaaaaaa!!!" teriak Hena sangat kencang hingga membuat tiga asisten rumah tangga Marina yang berdiri di depan pintu kamar mandi sangat kaget hingga membuat mereka memutuskan berdiri agak menjauh dari kamar mandi. Sementara itu, Marina yang ada di galeri merasakan telinganya berdengung dengan keras dan ia tahu kalau mertuanya sedang murka sekarang kepadanya.
Pintu kamar mandi terbuka untuk yang ketujuh kalinya. Para asisten rumah tangga itu buru-buru menghampiri nyonya besar sebelum kena marah atau kena ancaman pemecatan.
"Di mana Marina?" tanya Hena dengan napas yang terengah-engah dan menahan mulas yang masih menyerang perutnya tersebut. Tubuhnya telah lemas dan menantunya tak ada di dekatnya.
"Nyonya mendadak--"
"Brtt, brrtt, brrtt ... Prett ...." suara kentut itu menandakan kalau perut Hena masih belum baik-baik saja. Hena memegang perutnya lagi. Ia merasa keadaannya belum baik-baik saja dan rasa mules itu kembali datang dan memintanya untuk masuk ke toilet lagi, "tolong telepon kan dokter," kata Hena pada asisten rumah tangga Andrew dan Marina sebelum masuk ke kamar mandi.
Setelah pintu kamar mandi tertutup kembali, salah satu asisten rumah tangga yang berada di depan kamar mandi itu langsung menuju telepon rumah dan mulai menghubungi dokter keluarga. Setelah menghubungi dokter, bibi itu juga langsung menghubungi Andrew yang masih berada di kantornya karena lembur.
[Ya, bi?] jawab Andrews.
[Maaf, ya, den, saya ganggu aden kerja. Ini saya cuma mau ngomong kalau bu Hena sakit perut, den. Udah di WC sejak tadi. Barusan saya sudah telepon dokter buat minta tolong ke sini, tapi saya cuma takut ibu kenapa-kenapa, den,] ujar sang bibi padan Andrew yang Mendengarnya dengan seksama.
[Baik, bi, aku pulang sekarang,] kata Andrew panik. Andrew kemudian mematikan teleponnya dan langsung menghubungi Marina.
[Ya, sayang, ada apa?]
[Kamu lagi sibuk?] tanya Andrew pada Marina.
[Lumayan sih, gak sibuk-sibuk amat cuma galeri agak rame,] jawab Marina pelan.
[Aku barusan ditelepon sama bibi kalau mama di rumah sakit perut dan gak keluar kamar mandi sama sekali,]
[Ya Tuhan!] Marina kaget. Ia benar-benar kaget dan gak pura-pura. Ia pikir kondisi Hena akan segera pulih tapi nyatanya Hena belum keluar kamar mandi sama sekali. Ia jadi merasa bersalah. Ia bahkan hanya menggunakan obat sakit perut itu seujung sendok saja. Tapi bagaimana bisa Hena sampai tak keluar dari kamar mandi??
[Sayang, kamu masih dengerin aku, kan?] tanya Andrew di seberang telepon.
[Eh, iya sayang, aku di sini,] jawab Marina.
[Kita pulang sekarang, bisa?] tanya Andrew lagi.
[Bisa, bisa sayang,] jawab Marina pada suaminya itu.
Setelah menutup panggilan telepon, Marina dan Andrew siap-siap pulang ke rumah, mereka cemas dengan kondisi Hena. Lebih-lebih Marina ini, ia sangat khawatir. Dadanya sampai berdebar-debar saking khawatirnya ia dengan kondisi Hena. Ia juga merasa sangat bersalah kepada mertuanya itu.
Andrew keluar dari kantornya pukul dua siang, ia sudah menghubungi manajernya untuk mengambil file pekerjaannya di meja kerjanya.
"Rosa, Citra, saya pulang lebih dulu. Kalau nanti ada pak Hans, bilang filenya ada di map biru meja saya," kata Andrew pada dua gadis di hadapannya tersebut.
"Baik, pak," jawab mereka serempak.
Andrew bergegas menuju lift dan kedua gadis itu mengamati bos mereka sampai menghilang masuk lift.
"Yes!" seru Citra senang. Rosa menoleh ke arah gadis itu dan langsung heran dengan sikap Citra yang terkesan sangat senang mengetahui Andrew pulang. Rosa perhatikan gadis itu segera mengemasi barang-barangnya juga.
"Kamu mau pulang juga?" tanya Rosa dengan heran dan Citra mengangguk ke arahnya dengan antusias, "ini bahkan belum jam pulang," kata Rosa.
"Kan pak Andrew udah pulang? Trus di sini juga ada lo," kata Citra sangat ringan. Mata Rosa membola dengan sempurna mendengar ucapan Citra itu.
"Gak bisa gitu, donk. Gue juga mau pulang," kata Rosa yang mengikuti cara Citra. Ia pun segera mengemasi barang-barangnya. Citra melongo heran.
"Kok bisa lo ikutan pulang?" tanya Citra heran.
"Ya bisa, kan gue berguru sama lo, ibarat sekolah nieh ya. Kalau gurunya kosong di jam pelajaran terakhir, muridnya pada ngapain? Pulanglah! Masak iya jadi penunggu kelas?" kata Rosa. Citra menggeram kesal mendengar ucapan Citra barusan kepadanya itu. Bisa-bisanya gadis itu bersikap seperti itu. Kesal sekali Citra.
"Para siswa itu gak bisa pulang, Rosa," kata Citra sembari melipat tangan di depan dadanya. Rosa yang sedang mengemasi barang-barangnya jadi menoleh ke arahnya. "Mereka di kasih tugas sampai jam sekolah berakhir, sama kayak lo yang juga gue kasih tugas," kata Citra dengan senyum kemenangan.
Rosa juga tak kalah tersenyum. Ia telah mengemasi barang-barangnya ke dalam tas, termasuk apapun yang akan ia butuhkan di rumah.
Rosa menarik kertas note dan langsung menuliskan sesuatu di atasnya dan segera berjalan ke arah pintu untuk menempelkannya di sana. Memo untuk manager Andrew soal apa yang dipesan Andrew pada Citra dan Rosa tadi.
"Di sekolah ada istilah PR, atau pekerjaan rumah, jadi bu Citra yang terhormat, saya bisa kerjakan pekerjaan saya di rumah," kata Rosa yang membuat Citra menggeram sebal.
"Bagaimana dengan data-data yang ada di komputer?" tanya Citra. Rosa menujukkan flashdisk di tangannya di hadapan Citra.
"Tenang bu Citra, semuanya sudah saya back up dengan sempurna," kata Rosa yang membuat Citra geleng-geleng kepala. Rosa membalikkan badan dan hendak pergi meninggalkan kantornya yang baru tapi Citra memanggilnya cukup keras. Rosa berbalik dan tersenyum lagi. "Mau bareng, bu?" tanya Rosa tenang.
"Ayo kerjakan di sini, kita pulang sesuai jam kerja," kata Citra terpaksa. Rosa tersenyum senang. Pengalaman ditindas dan dibully sejak kecil membuat Rosa kuat dan menjadi pribadi yang mawas diri. Ia telah membangun benteng pertahanan agar orang lain tak lagi-lagi memanfaatkan kelemahannya.
Rosa sudah tak mudah lagi menangis sejak kelas X SMA. Ia bahkan yang selalu murung dengan wajah tertunduk saat sekolah, memutuskan untuk mengangkat wajahnya dan tak akan menerima perlakuan buruk teman-temannya lagi. Itu karena terakhir kali ketika ia dibully habis-habisan, seorang pemuda menolongnya yang hampir putus asa.
"Kamu mau apa? Mau mati dengan nyebrang sembarangan?" tanya pemuda itu yang berhasil menarik lengannya sebelum tubuhnya ditabarak truk. Rosa diam, ia tak peduli. "Kalau mau mati jangan nyusahin orang lain, cari tempat dimana orang lain gak bisa nemuin jasad lo," katanya lagi. "Jadi pecundang itu sekalian jadi pecundang, jangan coba-coba cari perhatian! Udah segini gedenya masih aja gak bisa jadi penyelamat diri sendiri? Kasihan banget ortu lo yang tiap hari berdoa dan berharap kalau lo punya kehidupan lebih baik saat hidup," kata lelaki itu yang langsung membuat Rosa ingat bahwa ibunya bahkan menukar nyawanya agar ia bisa lahir dengan selamat di dunia.
"Andrew!" salah satu segerombolan pria itu memanggil pemuda yang menyelamatkannya Rosa dari aksi nekatnya itu.
"Bentar!" jawab pemuda itu pada teman-temannya.
"Gue cabut, moga aja kalau kita ketemu lagi lo udah gak jadi pecundang," kata pemuda bernama Andrew itu pada Rosa yang melongo heran.
Rosa melihat pemuda itu pergi dari hadapannya menuju ke arah teman-temannya yang sedang berdiri di sebelah bus. Mereka lalu naik ke bus itu. Saat bus itu melewati Rosa, pemuda penyelamatnya tadi melambaikan tangan dari dalam bus ke Rosa.
Sejak saat itu Rosa berubah dan tak pernah menyangka kalau takdir akan membawa mereka bertemu lagi saat dewasa dan membuat hubungan mereka rumit ke depannya.