Bab 9: Menaklukan Tantangan

1122 Kata
Jus buah itu diletakkan oleh Marina di meja di hadapan Hena. Hena melirik ke arah Marina, ingin sekali ia melihat ke arah menantunya mata sembab di mata Marina, tapi sayang ia tak menemukan mata sembab di sana. Hena mengambil jus apel yang dibuat oleh Marina lalu meminumnya. Dan wajahnya berubah masam, semasam jus apel yang dibuat oleh Marina. "Kamu gak cicipin apelnya? Asem banget!" kata Hena mencibir. "Marina gak suka apel, Mi," kata Marina. "Hmmm, kalau gini perut mami bisa mules," kata Hena tak suka, "kamu copetan beliin obat sakit perut buat mami," kata Hena lagi. "Kan mami belum sakit perut," kata Marina. "Kamu nunggu mami sakit perut dulu baru belikan obat buat mami?" tanya Hena sinis. Marina hendak menjawab tapi Hena keburu kentut lebih dulu dan baunya kemana-mana. Refleks Marina menutup hidungnya, "kurang ajar, ya, kamu! Kenapa titik hidung?" kata Hena kesal. Marina tak tahan, tutup hidung saja bau kentut Hena masih tercium, apalagi enggak? Marina berdiri dari kursinya dan beranjak dari ruang keluarga rumahnya. "Marinaaa!!!" teriak Hena disertai dengan susulan suara-suara kentut selanjutnya yang membuat Hena tak tahan lagi. Hena kemudian berlari ke arah kamar mandi. "Mi, maaf, kamar mandi lantai bawah sedang macet. Mami ke atas aja," kata Marina. Mati-matian Marina menahan tawa melihat Hena yang meliuk-liuk menahan rasa sakit di perutnya dan ingin segera BAB. Hena hendak marah ke Marina, tapi ia tahan sekuat tenaga seperti ia menahan rasa mulas di perutnya. Marina tersenyum sembunyi-sembunyi kala ia melihat Hena yang berlari menapaki anak tangga dengan tingkah seperti ulat bulu. Sampai di kamar mandi lantai atas, Hena langsung masuk ke dalam kamar mandi itu dan segera menutup pintunya keras. Detik berikutnya Marina yakin sekali kalau Hena sekuat tenaga menahan rasa sakit di perutnya. "Obatnya ampuh juga," gumam Marina. Sementara Hena sibuk di kamar mandi, Marina gegas masuk ke kamarnya, menyambar coachnya dan langsung keluar kamar lagi. Ia harus ke galeri segera sebelum Hena keluar kamar mandi dan mencegahnya. Ia tak mau di rumah jika ada Hena. "Bi, kalau Mami nanyain Marina, bilang aja kalau Marina lagi ke galeri," kata Marina pada pembantunya. Pembantunya nampak ragu. "Tapi, den ...." pembantu rumah Marina juga tak suka dengan kehadiran Hena di rumah Marina, bukan apa-apa, hanya saja Hena terlalu cerewet dan banyak maunya. "Tenang aja, bi, Mami sakit perut, gak akan ngomel-ngomel gak jelas lagi," kata Marina pada bibi. Bibi diam sebelum mengangguk paham ke arah Marina, "ya udah, bi, aku pamit, ya," kata Marina dan pembantu Marina itu mengangguk ke arahnya. "Marina!" baru dua langkah Marina berlalu, suara Hena terdengar keras memanggil. Marina hanya menoleh sejenak ke belakang dan ke lantai atas sembari tersenyum kecil. Maafin aku ya, Mi. Marina berlalu segera dari rumahnya, bahkan ia terlihat setengah berlari ke luar rumah. Sampai di garasi, ia masih bisa mendengar suara Hena memanggil-manggilnya. Tapi, Marina tak peduli. Marina masuk ke dalam mobil dan segera mengendarainya untuk keluar dari rumahnya menuju galeri lukis miliknya. *** "Kamu sahabat istri saya di kampus dulu?" tanya Andrew pada Rosa. Rosa mendongakkan wajahnya, tersenyum kecil sembari mengangguk asal. "Bisa dibilang seperti itu," jawab Rosa. "Selain kamu, kamu tahu gak siapa aja teman-teman istri saya?" tanya Andrew. "Saya gak bisa hapalin satu faluktas, pak," jawab Rosa. Mendengar itu Andrew menggeram pelan. "Maksud saya yang dekat," kata Andrew memperjelas maksud kalimatnya. "Mendiang ibunya dan bapak," jawab Rosa. Andrew menutup matanya dengan sebal. "Saya ini suaminya," kata Andrew. "Suami bukannya teman hidup, ya, pak?" tanya Rosa. Menyebalkan! "Saya tidak main-main, Rosa!" "Saya juga tidak main-main, pak! Saya pikir saya akan wawancara kerja dengan bapak, tapi nyatanya saya diinterogasi soal bu Marina." Skakmat! Andrew terdiam. Baru kali ini ada karyawan baru yang berani beradu argumen dengan dirinya dan benar pula. Ia kesal bukan main. "Ya sudah, kamu keluar. Kamu bisa bicara dengan Citra soal pekerjaan apa saja yang bakalan kamu lakukan sebagai sekretaris saya. Waktu kami training cuma tiga minggu," kata Andrew yang membuat Rosa menatapnya tak percaya. "Saya tidak tahu, pak, kalau peraturan training kerja pada umumnya yang semula tiga bulan menjadi tiga minggu," kata Rosa. "Ini perusahaan saya, jadi suka-suka saya buat peraturan. Kalau gak sanggup kamu bisa angkat kaki dari sini," jawab Andrew sinis. Kejam! Rosa jadi ingat apa yang dikatakan oleh HRDnya tadi soal ia diterima kerja dan langsung rekomendasi dari Andrew. 'Kamu emang rekomendasi, tapi semoga betah aja, ya! Karena ...' 'Karena apa?' 'Ya, nanti kamu tahu sendiri kok,' Meski sang HRD tak jadi memberitahu ada apa sebenarnya dengan kursi sekretaris yang akan ia duduki, tapi Rosa yakin sekali kalau pasti ada sesuatu yang membuat para mantan sekretaris gak betah dengan bos besar di hadapannya ini. Tapi, para mantan itu bukan Rosa. Rosa sudah kebal dengan hinaan dan cacian. Rosa berteman baik dengan makian dari kecil, jadi ia akan menjadi sekretaris yang membuat sekretarisnya tahkluk. "Jadi gimana? Kamu mau mengundurkan diri?" tanya Andrew. "Saya bahkan belum bekerja, gimana saya mau mengudurkan diri, pak?" tanya balik Rosa yang sukses membuat Andrew menggeram lagi Sial! Andrew menekan interkomnya dan langsung memanggil Citra untuk masuk ke ruangnya. Tak berselang lama pintu ruangan Andrew terbuka dan muncullah sosok gadis yang cantik, modis dan sexy ke ruangan Andrew. "Bapak panggil saya?" tanya Citra sesampainya ia disebelah Rosa. "Ini Rosa, dia yang akan gantikan posisi kamu," kata Andrew. "Baik, pak," kata Citra datar. Citra kemudian menoleh ke arah Rosa yang tersenyum ke arahnya tapi Citra tak membalas senyum itu. Angkuh sekali. "Ayo ikut saya," kata Citra pada Rosa. Rosa mengangguk dan berdiri kemudian lalu menatap ke arah Andrew. "Saya ijin ikuti bu Citra, pak," kata Rosa dan Andrew mengangguk ke arahnya pelan. Setelah keluar dari ruangan Andrew, Rosa langsung masuk ke ruangan Citra yang tak kalah bagus dari ruangan Andrew yang ada di depannya. Ruangan Citra dikelilingi oleh dinding kaca. Kaca depan transparan jadi bisa langsung melihat kalau Andrew keluar atau masuk ruangan. "Kamu duduk di sini," kata Citra pada Rosa yang menunjuk kursi plastik di dekatnya. "Kamu hapalin ini, ini daftar nama klien pak Andrew," kata Citra pada Rosa seraya menyerahkan buku catatan nama klien beserta nomer teleponnya. Rosa membuka buku kecil itu dan membolak-balikkan halamannya, tak banyak, hanya delapan lembar bolak balik. Tulisan Citra juga bagus, jelas dan enak dibaca, termasuk angka-angka nomer telepon di sana. Rosa kemudian mengelurkan ponselnya lalu memotret lembar demi lembar catatan itu yang membuat Citra melongo dengan sikapnya. "Kamu ngapain?" tanya Citra. "Lagi ngajakin selfie daftar nama di sini," jawab Rosa. Citra menggeram sebal. "Kamu kan aku suruh hapalin nama dan nomer telepon klien itu, kenapa malah dipotret begitu?" tanya Citra heran. "Kepalaku bukan ponsel ram 8GB, jadi gak bisa hapalin dalam waktu tiga minggu. Buang-buang waktu juga, jadi aku foto aja ntar di rumah aku salin," jawab Rosa. Citra menggeram kesal. Percobaan pertama untuk membuat Rosa tak betah dan posisi sekretarisnya aman, gagal. Menyebalkan!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN