Gedung Lampion Property sangat tinggi. Gedung itu adalah impian Andrew sejak ia kuliah di luar negeri. Renovasi dengan uang yang digelontorkannya sepadan dengan hasilnya. Luar biasa.
Rosa memperhatikan dirinya baik-baik di depan kaca gedung perusahaan tersebut. Ia bergerak ke kanan dan kiri. Sesekali memutar di tempatnya. Jujur saja orang-orang yang melihatnya dan berlalu lalang di sekitarnya sampai senyum-senyum dan geleng-geleng kepala sendiri. Tapi Rosa tak peduli dengan tatapan mereka. Rosa memang seunik itu.
"Baju blouse biru, rok span hitam, sepatu hak tinggi hitam dan rambut yang ditata rapi. Yaah, mirip-mirip pramugari lah," kata Rosa pada diri sendiri. "Gak usah gugup, santai aja, tunjukkan gigimu!" kata Rosa menyemangati diri sendiri.
Tingkah Rosa yang konyol itu membuat seorang lelaki yang mengamatinya dari jauh senyum-senyum sendiri. Ia tak pernah merasa menemukan gadis seunik Rosa. Gadis yang berani mondar mandir di depan gedung Lampion hanya untuk berkaca dan mengusir rasa gugupnya. Rosa sungguh luar biasa. Rosa membuat harinya yang suram mendadak menjadi terang benderang.
"Lo ngapain di sini?" tanya Andrew tiba-tiba ke lelaki tampan itu. Lelaki bernama Lucas itu sampai kaget dan tersentak gara-gara Andrew yang muncul tiba-tiba kayak setan.
"Kerjalah, mo ngapain lagi emangnya?" tanya balik Lucas pada Andrew.
"Emang sekarang lo pindah posisi jadi tukang jaga di lobi?" tanya Andrew.
"Lo tuh bawel banget sih!" seru Lucas sebal. Lucas segera beranjak dari sana dan langsung pergi menuju kantornya yang berada di lantai tujuh. Kini hanya ada Andrew yang sedang menonton Rosa yang cukup aneh itu. Diam-diam Andrew tersenyum kecil, tapi ketika ia ditatap heran oleh karyawannya, ia buru-buru pergi dari lobi dan Rosa memutuskan untuk masuk ke dalam perusahaan itu.
***
"Belum bekerja sama sekali sejak lulus dari kuliah? Ini jarak tahun lulus kuliah kamu S1 itu ke tahun sekarang itu tiga tahun, loh! Masak belum kerja? Ngapain aja?" tanya Vita pada Rosa yang duduk di hadapannya.
"Kuliah lagi," jawab Rosa akhirnya.
"Loh? Kamu S2? Tapi kok di sini gak ada lampiran foto kopi ijazah kamu lagi?" tanya Vita bingung dan hanya membolak-balikkan kertas yang ada di hadapannya tersebut dengan heran.
"Saya pikir saya tak perlu membawanya," kata Rosa.
"Karena setiap kamu lampirkan kalau kamu lulusan S2 itu malah banyak ditolakin kerja, ya?" tanya Vita dan Rosa mengangguk lemah dan tersenyum kecil, "tapi kamu diterima kok, apa yang saya lakukan ini cuma formalitas doank. Kan kamu rekomendasi khusus pak Andrew," kata Vita dengan senyum yang dipaksakan terlihat manis. Rosa tahu ia sedang diejek. "Jadi kamu lancar ngomong bahasa inggrisnya, kan?" tanya Vita lagi.
English, Spanish, Arab and Francis.
"Cukup lancar," jawab Rosa. Ia memilih tak mengungkap kemampuannya dalam tiga bahasa lainnya.
"Oke, kalau gitu kamu bisa temui pak Andrew dan training dengan sekretarisnya langsung," kata Vita lagi. Rosa heran.
"Sebelum saya bertemu dengan pak Andrew, saya ditempatkan di divisi yang mana, ya, bu?" tanya Rosa lagi padanya. Vita menatapnya bingung.
"Loh? Kamu gak tahu?" tanyanya dan Rosa menggeleng, "kamu gantiin Citra, sekretarisnya pak Andrew," kata Vita yang langsung membuat mata Rosa membulat dengan sempurna, "selamat gabung di Lampion. Semoga kamu betah," kata Vita dengan menyodorkan tangannya di hadapan Rosa. Rosa ragu-ragu menjabatnya, tapi pelan-pelan ia akhirnya menjabat tangan Vita juga. Rosa tahu arti senyuman Vita itu. Vita seolah yakin Rosa tak akan bertahan lama jadi sekretaris Andrew.
***
"Bagaimana? Kamu sudah ngomong sama Andrew soal Lusi?" tanya Hena pada Marina yang sedang mengupas buah untuk dibuat jus.
Marina baru tadi pagi pulang dari rumah sakit dan langsung bertemu Marina di rumahnya setelah Andrew mengantarnya di depan gerbang rumah mereka dan tak turun. Jika saja Andrew tahu ada Hena di rumahnya, tentu Andrew tak akan membiarkan Marina sendirian di rumah itu bersama Hena yang hobi sekali mengintimidasinya.
"Belum, Mi," jawab Marina jujur dengan memasukkan potongan demi potongan buah ke mesin jus yang ada di hadapannya.
Mendengar jawaban Marina, Hena menoleh dan menatap menantunya itu dengan tatapan tajam dan tak suka sama sekali, "kok bisa? Kenapa kamu gak ngomong ke Andrew? Sengaja kamu, ya!" kata Hena. Suaranya sudah naik satu oktaf saat ini. Tubuh Marina bergetar seperti mesin blender di hadapannya. Ia tak mengerti sama sekali kenapa ia tak bisa seperti Rosa yang bar-bar dan punya keberanian lebih.
"Marina masih yakin bisa hamil, Mi," jawab Marina dengan gugup.
"Cih! Kamu itu sok sehat! Rahim kering aja dibanggain!" ejek Hena pada Marina yang membuat Marina merasa sedih bukan main.
"Marina akan berusaha sekuat tenaga dengan dokter Aina, Mi!" kata Marina lagi dengan suara tercekat.
"Mami kasih waktu kamu selama enam bulan, jika dalam enam bulan kamu belum hamil juga, maka segera lamar Lusi untuk Andrew," kata Hena tegas.
"Kenapa harus Lusi, Mi?" tanya Marina lagi pada Hena. Bahkan untuk bertanya sesederhana ini saja Marina sangat takut.
"Kenapa harus Lusi?" tanya ulang Marina dengan nada heran kepada Rosa yang menatapnya dengan tatapan tak percaya. "Memangnya kamu bisa cari perempuan lain yang sepadan dengan Lusi? Lusi itu pintar, cantik, berpendidikan tinggi dan yang paling utama ia dari keluarga jelas," kata Hena memuji Lusi.
"Tapi kita tidak tahu kelakuan Lusi seperti apa, Mi," kata Marina pada Hena.
"Memangnya kamu tahu kelakuan Lusi seperti apa?" tanya Hena. Marina tercekat, ingin rasanya ia bilang ke Hena kalau ia memergoki Lusi m***m di restaurant saat mereka makan kemarin. Tapi, apa Hena bisa percaya padanya? Rasanya tak mungkin Hena bisa percaya ucapannya itu.
"Lusi lama tinggal di luar negeri, Mi. Marina pikir ....,"
"Pergaulan bebas?" potong Marina dengan cepat, "kamu sendiri juga kuliah di luar negeri, kan?" tanya Hena pada Marina dengan nada mengejek.
Marina diam. Ia tak tahu lagi bagaimana ia harus ngomong ke Hena kalau Lusi itu memang sudah terjerumus pada pergaulan s*x bebas. Marina tak punya bukti untuk Hena yang hobi sekali menyudutkannya.
"Mami gak mau tahu, kalau sampai kamu belum hamil juga dalam enam bulan ini, Andrew harus menikah lagi! Kalau kamu gak setuju, kamu bisa ceraikan Andrew!" kata Hena dengan cuek dan acuh tak acuh. Marina menelan sendiri kepahitannya.
"Marina gak yakin kalau mas Andrew akan mau menikah lagi, Mi," kata Marina. Hena menoleh dan menatapnya dengan tatapan mengejek.
"Kamu tuh gak ada bagus-bagusnya jadi istri. Modal cantik doank tapi otak kosong dan rahim kering," ejek Hena lagi.
Marina tak tahan, ia menangis lagi. Hatinya sakit kala Hena mengatainya.