Hena dan Marina tiba di restaurant yang cukup mewah itu saat hari sudah siang. Restaurant yang dimaksud oleh Hena cukup jauh dari rumah Marina, dan Marina sadar bahwa apa yang dikatakan oleh Hena bahwa ia tak perlu ke Galeri hari itu mungkin karena letak restaurant yang cukup jauh dijangkau dari rumah Marina.
Mereka berdua masuk ke dalam restaurant dan disambut dengan hangat oleh dua orang petugas yang sedang menjaga pintu masuk restaurant tersebut.
Restaurant mewah itu cukup membuat Marina tercengang dengan apa yang dilihatnya. Ia tak hanya melihat anggota dewan sedang makan siang, tapi ia juga melihat beberapa artis di sana. Selain anggota dewan, ada juga beberapa pria berdasi dan wanita dengan balutan seragam kerja yang formal, Marina menebak kalau mereka adalah dewan eksekutif di perusahaan tempat mereka memimpin.
Hena melambai ke arah dua orang perempuan yang ada di salah satu meja dekat jendela. Marina menatap dua orang perempuan itu dengan heran dan bertanya-tanya. Marina tahu bahwa dua orang tersebut jelas bukanlah teman arisan mertuanya, karena jika memang mereka adalah teman arisan, tak mungkin yang satunya nampak sangat muda sekali.
Jadi siapa sebenarnya mereka?
Hena dan Marina tiba di meja itu. Wanita paruh baya itu menyapa lembut ke arah Hena sembari saling menempelkan pipi kiri dan kanan mereka masing-masing, sedangkan perempuan muda yang satunya tersebut mencium punggung tangan Hena dengan takzim. Mereka berdua kemudian menyapa Marina.
"Marina ini cantik, ya, Jenk," puji perempuan paruh baya itu kepada Marina.
"Tante jauh lebih cantik," puji Marina balik dengan senyum yang siapapun melihatnya pasti akan terpikat karena senyumannya tersebut. Hena hanya tersenyum menimpali, karena sejujurnya Hena tak begitu suka dengan pujian demi pujian yang dilontarkan kepada Marina.
"Lusi gimana kuliah masternya di Harvard?" tanya Hena pada Lusi tiba-tiba. Gadis yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya itu langsung saja mengangkat wajahnya dan tersenyum cantik ke arah Hena.
"Baik, tante. Alhamdulillah tahun ini hampir lulus," jawab gadis cantik bernama Lusi tersebut.
"Setelah itu lanjutin usaha papa kamu, kan?" tanya Hena sekali lagi.
"Iya jenk, tapi aku gak ngijinin kalau udah menikah masih sibuk dengan usaha papanya," kata perempuan paruh baya tersebut.
"Lalu siapa yang akan memimpin usaha papanya nanti?" tanya Hena ingin tahu.
"Biar suaminya saja jenk, dia cukup jadi direktur keuangan saja," kata perempuan paruh baya tersebut.
"Sudah punya calon, Lusi?" tanya Hena lagi.
"Belum tante, sibuk menyelesaikan kuliah," jawab Luna.
Marina benar-benar dianggap seperti patung di sana. Ia hanya disapa dan dipuji di awal-awal saja. Selebihnya ia dianggap patung dan angin lalu oleh tiga orang di sana. Ia pun sebenarnya tak ingin berlama-lama tinggal di sana. Ia lebih baik di Galeri saja, tapi ini semua adalah permintaan dari mertuanya, jadi mau tak mau ia harus standby di sana.
"Andai saja Andrew mau menunggu kamu, ya, Lusi," kata Hena tiba-tiba ketika sedari tadi Lusi bercerita soal bagaimana papanya mengajarinya mengelola perusahaan dan ia harus pintar-pintar bagi waktu.
Jujur saja, Marina langsung kaget mendengar nama sang suami disebut tersebut. Ia benar-benar tak menyangka kalau sang mama akan menyebut nama sang suami di meja makan siang bersama dua orang yang sama sekali tak dikenalnya ini.
"Bukan jodoh berarti, jenk," jawab Ibu Lusi yang semakin membuat Marina kaget mendengarnya.
"Atau jangan-jangan tertunda?" Hena berkata dengan tertawa.
"Ah, Jenk ini bisa-bisa saja. Orang menantunya secantik ini kok bisa ngomong tertunda gitu," ibu Lusi kembali menjawab dengan melirik ke arah Marina tapi bukan lirikan simpati atau merasa tak enak hati karena sudah membahas suaminya di sini dalam perbincangan yang sensitif pula, tapi melirik dengan pandangan sengaja melihat reaksi Marina.
Sedangkan Lusi seolah menutup telinganya dengan semua ucapan-ucapan yang dilontarkan oleh ibunya dan temannya. Ia asyik makan saja.
"Oh ya, kak Marina ini sedang sibuk apa?" tanya Lusi tiba-tiba.
"Aku ..."
"Dia hanya ibu rumah tangga biasa, Lusi," jawab Hena cepat. Marina diam dan memilih melontarkan senyum kaku ke arah dua orang di depannya.
"Oh, pasti sibuk urus anak, ya?" tanya Lusi sekali lagi.
"Nggak, belum punya anak, Lus," jawab Marina cepat. Soal anak, ia tak akan mengijinkan Marina memperjelasnya di depan dua orang yang Marina yakini adalah orang-orang yang sengaja dipertemukan dengannya hari ini. Maksud dan tujuannya untuk apa Marina masih belum tahu sama sekali.
"Ohhhh, apa gak bosen kak di rumah aja?" tanya Lusi dengan penasaran.
"Nggak, aku sangat mencintai suamiku dan aku hanya ingin mengabdi kepadanya. Mas Andrew melarangku bekerja, katanya ia tak tahan orang lain menatap kecantikanku lama-lama," jawab Marina dengan ringan. Mendengar jawaban Marina disertai dengan senyuman itu Lusi nampak tak suka. Gadis itu meraih minumannya lalu meminumnya segera.
Ketika Lusi ingin bicara, ponselnya berdering. Gadis itu melirik ke arah ponselnya dan menatap layar ponselnya cukup lama sebelum akhirnya mengangkatnya. Lusi kemudian berbicara bahasa Italia yang membuat Marina mendengarkannya dengan seksama.
"Tante, Mama, dan kak Marina, saya permisi ke toilet sebentar, ya," kata Lusi sesaat setelah mematikan kembali ponselnya dan berdiri kemudian.
"Iya," jawab Hena dan ibu Lusi hampir bersamaan. Lusi beranjak dari meja makan tersebut dengan senyum lembut seperti ice cream.
"Lusi luar biasa, ya, jenk. Saya baru tahu loh kalau dia bisa bahasa asing gitu," kata Hena memuji.
"Namanya juga anak pengusaha, jenk. Andrew juga pasti bisa beberapa bahasa, kan jenk?" tanya Ibu Lusi.
"Iya, dia pintar bahasa cina, italia, perancis dan jerman," kata Hena bangga.
"Pasti istrinya juga pintar bahasa asing, kan?" tanya Ibu Lusi seraya menoleh ke arah Marina.
"Ya, Marina cukup pintar berbahasa inggris," kata Hena yang lagi-lagi membuat Marina urung mengatakan ia juga bisa lima bahasa sekaligus. Marina tersenyum ke arah ibu Lusi yang menatapnya dengan tatapan prihatin. "Andai Andrew dan Lusi menikah, mereka pasti akan jadi pasangan yang cocok satu sama lain," kata Hena lagi.
"Belum jodoh, jenk," ibu Lusi berkata lagi.
"Iya, seperti anak kale yaa jenk, Marina juga belum berjodoh punya anak. Entah kapan saya bisa punya cucu," kata Hena dengan mimik wajah yang dibuat-buat bersedih.
"Apa Marina sudah promil?" tanya Ibu Lusi.
"Sudah. Jenk tahu kan sama dokter Aina yang cukup terkenal itu? Nah Andrew dan Marina juga sudah check up ke sana, tapi ya gitu, Marina ini ada riwayat mens yang tak lancar gitu waktu remaja," kata Hena menjelaskan.
Marina malu bukan main, ia tak menyangka sama sekali kalau sang mami mertua akan membongkar cerita rumah tangganya di depan orang lain. Dijadikan konsumsi sekenanya saja. Marina kesal bukan main karena maminya kelewatan.
Marina berdiri dari kursinya, Hena dan Ibu Lusi menatapnya.
"Ijin ke belakang ya, Mi," kata Marina seraya mengangguk dan tersenyum ke arah Hena dan Ibu Lusi tersebut. Ibu Lusi tersenyum ramah ke arahnya dan mengangguk kepadanya.
Marina berjalan ke arah toilet kamar mandi, ia butuh menetralisir hatinya yang kesal dengan sikap ibu mertuanya tersebut. Ia masih tak mengerti untuk apa ia berada di sana jika ujung-ujungnya ia hanya akan dihina saja?
Marina hampir sampai di kamar mandi tapi ia mendengar suara desahan yang pelan sekali. Langkah kakinya berjalan pelan-pelan ke arah ruangan yang berada di sebelah kamar mandi itu.
'Hanya khusus karyawan'
Tulisan itu tertera di pintu tersebut. Ada sedikit celah yang membuat Marina penasaran bukan main. Pelan-pelan ia melangkah mendekati pintu tersebut sembari menajamkan telinganya mendengar desahan tersebut.
"Ahh ... Ah ... Uch ..."
Marina tahu sekali arti desahan tersebut. Desahan yang syarat sekali gairah dan rasa yang memabukkan.
Tapi, di siang hari seperti ini?
Pikiran Marina kemana-mana. Rasa penasaran terus mengusik dirinya hingga langkahnya semakin dekat ke arah desahan-desahan tersebut. Hingga akhirnya ia bisa melihat dengan jelas ada apa di dalam ruangan tersebut.
Mata Marina membola seketika kala ia mengenali siapa perempuan yang sedang duduk di atas meja dengan seorang lelaki di hadapannya yang tak ia kenal. Tubuh mereka berdua bergerak seiring kenikmatan yang mereka berdua rasakan di inti tubuh bawah mereka.
Meski wanita itu memunggungi Marina, ia bisa mengenalinya dengan baik dari dress yang dikenakannya dan rambut hitam legam panjang itu. Pengunjung restaurant siang ini tak ada yang secantik dan semempesona dia meski juga ada beberapa artis di sini. Tas yang dimiliki oleh perempuan itu adalah tas terbatas yang hanya ada dua di dunia ini. Satu pemilik tas branded itu milik artis Hollywood dan tas yang dimiliki wanita itu adalah tas branded.
Eluhan dan erangan kenikmatan keduanya membuat tubuh Marina meremang, bohong jika ia tak terbakar gairah melihat hubungan yang seharusnya dilakukan oleh suami istri yang lazimnya dilakukan di rumah itu, tapi kenapa malah dilakukan di sini?
Mata Marina akhirnya kepergok dengan mata sang pria muda. Lelaki itu mengeluh nikmat dan menatap Marina lekat-lekat yang tercengang menatapnya. Lalu lelaki itu tersenyum ke arah Marina yang membuat Marina seketika menolehkan kepalanya ke sembarang arah karena malu.
Buru-buru Marina meninggalkan area itu dan kembali ke meja di mana Hena dan ibu Lusi masih bercengkrama satu sama lain.
"Mami, Marina ingin pulang, mendadak Marina tak enak badan," kata Marina pada Hena. Hena mendongak ke arah Marina dan menatap menantunya itu dengan sinis. Ia melihat kening Marina dipenuhi keringat, seperti orang yang baru selesai berolah raga saja.
"Jenk, maaf sepertinya saya harus pulang," kata Hena pada ibu Lusi.
"Gak tunggu Lusi dulu kah, Jenk?" tanya Ibu Lusi.
"Marina, kita tunggu Lusi sebentar saja, ya ..." kata Hena. Marina ingin menolak tapi tiba-tiba saja ...
"Itu dia!" Ibu Lusi menunjuk ke arah belakang Marina.
Marina menoleh dan melihat perempuan yang sama dengan perempuan yang baru saja ia pergoki di ruangan khusus itu berjalan santai dan anggun ke arahnya. Marina tak menyangka bahwa gadis muda dan anggun sepertinya itu bisa melakukan hal seperti itu di manapun.
"Lusi, kamu dari mana saja, sayang? Ini tante Hena dan Marina mau balik," kata Ibu Lusi sesampainya Lusi di depan Marina.
"Tadi ketemu sama temen kuliah, Ma." Lusi menjawab dengan wajah sumringah.
"Temen?"
"Iya, dia yang punya restaurant ini," kata Lusi lagi. "Nah itu dia!" kata Lusi seraya menunjuk ke arah belakang Marina. Marina ikut menoleh ke belakang dan melihat pria yang sama dengan pria yang b******u dengan Lusi tadi sedang berjalan ke arahnya.
Dada Marina berdebar-debar. Bagaimana Marina bisa lupa dengan pria yang kini sedang berjalan ke arahnya? Pria yang sama yang baru saja b******u dengan Lusi dan mengerlingkan mata ke arahnya tadi saat Marina memergokinya.
Marina merasa geli dan jijik sekaligus. Apalagi tatapan pria itu ke Marina penuh minat. Tak tahan lagi untuk berdiam diri di sana lama-lama, Marina memutuskan pergi dari sana.
Sampai di dalam mobil, napasnya masih tersengal-sengal tak karuan. Tak berselang lama, pintu mobil yang lain terbuka dan Marina menoleh lalu melihat wajah Hena yang sudah merah padam itu duduk di sebelahnya.
"Kamu itu kurang ajar! Main asal pergi aja! Gak ada tata kramanya!" umpat Hena. Marina kembali harus menelan perih di hatinya.
"Maaf, Mi!" kata Marina sungguh-sungguh.
"Maaf, maaf, seenaknya sendiri aja kamu tuh!" Hena masih mengomel.
"Maaf, Mi!"
"Malu saya, Marina! Apalagi di depan calon besan!" kata Hena. Marina menoleh ke arah Hena dengan cepat.
"Calon besan? Maksud mami?" tanya Marina dengan d**a yang berdebar-debar.
"Iya! Calon besan! Kamu harus bisa menerima Lusi sebagai madu kamu!" bagai petir menyambar di siang bolong. Marina sama sekali tak paham kenapa tiba-tiba sekali sang mami merencanakan ini?