Dua garis pada testpact itu tak terlihat. Hanya ada satu garis pada testpack tersebut. Ini adalah alat tes kehamilan ke lima yang telah wanita itu coba tapi semuanya negative. Padahal sebelumnya ia sangat berharap pada hasil itu agar ia bisa menjadi seorang ibu. Ia bahkan tak mendapatkan tanda-tanda akan menstruasi, tapi kenapa hasil testpack itu negative?
Tidak mungkin.
Aku pasti hamil.
Aku pusing.
Aku mual.
Aku muntah.
Dan perutku terasa kram.
Kata-kata itu terus bergumam di benak Marina saat ini. Ia masih yakin kalau apa yang ia alami akhir-akhir ini adalah bentuk dari tanda-tanda kehamilannya.
"Tokk ... Tok ... Tok ..." suara ketukan pintu itu membuat Marina sangat kaget hingga testpack terakhir yang ia pegang jatuh ke lantai kamar mandi. "Sayang, masih lama? Ada mami dan papi, nieh!" Andrew memanggil dengan lembut.
"Iya, tunggu sebentar!" jawab Marina cepat.
"Aku tunggu di bawah, ya!" seru Andrew.
"Iya," jawab Marina. Langkah kaki yang menjauh dari balik pintu kamar mandi itu membuat d**a Marina bergemuruh hebat. Ia tak mau sang suami kecewa kala ia terlihat sedih karena hasil testpacknya pagi ini kembali negative.
Apa aku langsung coba periksa ke dokter kandungan, dokter Aina, ya? Pikir Marina dengan cepat.
Setelah membuang hasil testpacknya pada tempat sampah di kamar mandi dengan membungkusnya terlebih dahulu dengan kantong plastik, Marina melihat dirinya dalam pantulan cermin yang ada di hadapannya. Ia mencoba menenangkan dirinya sendiri yang kini tampak sangat tegang dan tak seperti biasanya. Itu karena mami dan papi mertua pagi-pagi seperti ini sudah ada di rumahnya. Jika mereka datang pagi, pasti ada hal yang ingin dibahas dengan suaminya tersebut. Marina hanya berharap bahwa apapun bahasan yang nanti akan dibicarakan, semoga saja tak menyangkut dirinya.
Marina keluar dari kamar mandi setelah memastikan penampilannya pagi ini tampak segar dan bekas air mata yang tadi jatuh membasahi pipinya telah hilang. Setelah menarik napas panjang ia keluar dari kamarnya dan bergegas turun ke bawah.
Bunyi suara sendok dan garpu yang beradu dengan piring di bawah sana menandakan kalau keluarga suaminya itu sedang menikmati acara sarapan tanpa menunggu kedatangannya. Tak masalah, bagi Marina terkadang diabaikan sudah menjadi hal yang biasanya baginya.
"Mami! Papi!" sapa Marina dengan senyum yang merekah senang. Ia salim dengan sopan pada papa dan mama mertuanya sebelum ikut duduk sarapan pagi bersama mereka.
"Kamu kelihatan segar dan fresh, nak, " puji John pada Marina. Papi Andrew itu nampak senang bertemu dengan menantunya
"Makasih, Pi. Papi juga kelihatan makin muda aja," puji Marina sungguh-sungguh yang membuat lelaki itu tersenyum mendengar pujian dari menantu kesayangannya.
"Fresh kan emang karena dia gak ngurus siapa-siapa. Cuma Andrew doank, itupun hanya di ranjang, ya, kan? Coba kalau ada anaknya, mana bisa secantik itu," kata Hena, sang mami mertua dengan sinis. Suasana tiba-tiba menegang kala Hena ikut berkomentar. Selalu saja ia punya kalimat yang tak menyenangkan untuk Marina.
"Mami!" tegur John dengan mendelik ke arah Hena.
"Kenapa emangnya, Pi? Emang kenyataannya gitu, kok. Si Marina kan gak bisa hamil jadi wajar donk kalau dia kelihatan fresh dan cantik. Beda lagi kalau ia sudah jadi ibu, kemana-mana selalu diikutin sama anaknya," kata Hena mencibir. "Eh, tapi bisa juga sih dia tetep cantik, glowing, sexy meski udah ada anaknya. Tapi dengan syarat anaknya jadi anak baby sitternya. Ha ha ha," Hena tertawa keras mengejek. Ketara sekali kalau wanita itu benar-benar tak suka dengan Marina.
"Mami," panggil Andrew yang tangannya langsung saja dipegang oleh Marina. Sang mami diam dari tawanya yang menggelegar di meja makan itu dan menatap putranya dengan tajam. Marina mempererat genggaman tangannya hingga membuat Andrew menoleh ke arahnya. Ada sorot kemarahan di mata Andrew karena sang istri tercinta dihina oleh mami sendiri. Marina menggeleng ke arah Andrew, seolah mengatakan kalau ia baik-baik saja dan Andrew tak perlu mencemaskannya.
"Apa?" tanya Hena pada Andrew.
"Tolong mami, kita sedang sarapan," kata Andrew.
"Semua orang di sini juga tahu kok kalau kita sedang sarapan! Memangnya kenapa kalau aku ngomong barusan? Istri kamu tersinggung?" tanya Hena marah.
"Nggak, Mami." Marina akhirnya angkat suara.
"Gimana istri kamu mau punya anak, orang dia aja baru turun setelah kita makan duluan! Orang dulu nih ya bilang rejekinya dipatok ayam kalau istri bangun sesudah matahari terbit!" kata Hena sekali lagi.
"Maaf, Mi." Marina memilih sekali lagi mengalah pada ibu mertuanya dari pada acara sarapan di meja makan itu akan semakin runyam dan tak nyaman karena sang mami terus menerus menekannya seperti sekarang ini.
"Marina sudah bangun sejak tadi, Mi." Andrew berusaha membela.
"Oh, ya? Trus dia ngapain? Paling ngelukis gak jelas, kan?" Hena kembali mengejek Marina. Marina memejamkan matanya mencoba sekali lagi sabar dengan sikap mertuanya.
"Lagian kenapa dengan melukis? Dia sudah go international loh!" John membela Marina.
"Gak nyambung sama kerjaan suaminya. Jadinya dia gak bisa bantu urus perusahaan, kan? Cuma sibuk di galeri aja. Lalu kenapa dulu dia ambil kuliah bussiness kalau jatuhnya cuma jadi pelukis doank," kata Hena.
"Udah, Mi." kata Andrew mulai tegas. Ia tak suka ketika mendengar secara langsung sang istri dihina-hina seperti sekarang ini.
"Kasihan lah anak kita, Pi! Mereka udah dua tahun nikah lo tapi gak juga punya anak. Istri di rumah cuma kayak jadi pajangan doank," cibir sanf mami.
"Mami!" bentak Andrew kelepasan. Ia kesal sekali dengan sikap maminya. Air mata Marina jatuh juga mendengar ejekan istri pajangan untuk Andrew. Hena melotot tak terima dengan bentakan Andrew.
"Kamu berani berteriak di depan mami?" tanya Hena kesal.
"Cukup Mami!" kata Andrew.
"Apa yang mami omongin ini benar, kan? Kamu butuh penerus anak buat perusahaan kamu. Buat apa nikahin perempuan yang rahimnya saja kering!" ejek Hena sekali lagi.
"Mami!" kali ini John yang memanggilnya dengan suara cukup berat tapi pelam. Hena terdiam dan menoleh ke arah suaminya itu seraya memandangnya dengan lemah. "Cukup." John bersuara lagi. Hena terdiam akhirnya. Hanya ada suara tangisan Marina yang pelan.
"Sayang, ayo aku antar kamu ke kamar," ajak Andrew dengan pelan. Marina diam tapi ia berdiri dari kursi tempatnya duduk.
"Mami, Papi, Marina ijin ke atas dulu," kata Marina yang membuat John mengangguk ke arahnya, tapi tidak dengan Hena yang masih saja bersikap angkuh dan seolah tak peduli sama sekali meski Hena berusaha bersikap baik.
Andrew mengajak Marina ke kamar mereka seraya memeluk bahu istrinya. Sampai di kamar, tangis Marina bukannya mereda malah semakin menjadi-jadi. Sakit hati karena disebut istri pajangan oleh Hena membuatnya seperti itu.
"Sayang, maafin mami, ya," kata Andrew berlutut di depannya.
"Kamu gak salah," kata Marina pada Andrew.
"Tapi tetap saja kamu jadi menangis karena ucapan Mami," kata Andrew.
"Tapi mami benar. Jika aku tak bisa memberimu anak, aku hanya seperti istri pajangan saja," kata Marina.
"Sudahlah sayang, kamu gak salah sama sekali kok. Dan gak usah ngomong kayak gitu," kata Andrew. "Kita sudah berusaha semaksimal mungkin sesuai saran dokter Aina. Tapi anak memang adalah rejeki dari Tuhan," kata Andrew. Marina diam mendengarkan ucapan suaminya itu. Ia merasa beruntung karena Andrew mau memahami kondisinya.
Telepon Andrew berdering. Ia merogoh ponsel di sakunya dan mengeluarkannya. Citra. Sekretarisnya itu sedang menghubunginya.
"Ya?" tanya Andrew sesaat setelah ia mengangkat telepon tersebut dari Citra. Marina hanya melihat suaminya itu mondar mandir di depannya dengan gelisah. "Gimana bisa kamu lupa dengan schedule saya yang penting itu!" Andrew nampak marah sekali. Marina mendongak mendengarkan suara suaminya yang syarat amarah tersebut. "Saya gak mau tahu, pokoknya kamu harus tanggung jawab!" kata Andrew sebelum memutuskan panggilan tersebut secara sepihak.
"Ada apa, sayang?" tanya Marina.
"Si Citra, ia lupa pesan tiket pesawat ke Singapura, padahal dua jam lagi aku harus ketemu pak Martin di sana," kata Andrew kesal.
"Kamu beli sendiri saja sekarang, sayang," kata Marina. "Citra lupa karena mungkin ia menangani banyak hal," kata Andrew.
"Kalau sampai Pak Martin marah, saya pecat Citra," kata Andrew kesal. Marina mencoba menenangkannya.
"Jangan marah-marah terus, sayang. Sekarang sebelum semuanya makin terlambat ada baiknya kamu segera berangkat ke kantor," saran Marina. Andrew memandang istrinya dengan tatapan begitu dalam. Terlihat sekali kalau ia sangat enggan meninggalkan Marina seorang diri di rumah. Apalagi Papi dan Maminya berniat bermalam di rumahnya.
"Kamu gak papa di rumah sendirian?" tanya Andrew cemas. Marina tersenyum kecil ke arahnya dan menggeleng perlahan. "Tapi mami berniat menginap semalam," kata Andrew lagi.
"Aku akan berada di kamar. Dua jam lagi aku akan ke Galeri," kata Marina.
"Baiklah. Kalau begitu aku berangkat ke kantor ya, sayang," kata Andrew seraya mengecup kening istrinya dan berjalan keluar kamar mereka. Marina mengiringinya dan mengantarnya sampai tangga. Marina ingin mengantar kepergian Andrew sampai teras rumah, tapi Andrew menggeleng dan memintanya untuk tetap berada di kamarnya saja. Ia cemas jika tiba-tiba nanti sang mami mulai berulah lagi pada sang istri.
Sebenarnya Marina tak terlalu suka dengan kehadiran maminya di rumahnya ini, apalagi di hari kerja, dimana suaminya tak berada di rumah. Ia akan jadi bahan bullyan sang mami.
"Marina!" teriak Hena yang membuat Marina tersentak kaget. Baru saja ia membatin soal maminya, dan perempuan itu langsung memanggilnya. Langkah kaki maminya terdengar dan Marina gegas meraih jacket dan tas tangannya. Ia lebih baik pergi dari rumah itu sebelum keadaannya semakin rumit dan kacau.
Ketika membuka pintu kamarnya, Marina kaget karena sang mami juga sudah berada di depan pintu kamarnya.
"Mau ke mana kamu? Dari tadi saya panggil-panggil kenapa kamu diam saja?" tanya Hena pedas.
"Lagi di kamar mandi, Mi. Ini Marina mau siap-siap pergi ke galeri karena ada pameran lukisan pekan depan," kata Marina.
"Batalin saja!" kata sang mami. Marina terkejut mendengar titah sang ibu mertua.
"Tapi maaf, Marina gak bisa batal pergi gitu saja. Apalagi nanti ada meeting penting, mi," kata Marina.
"Kamu dengerin mami gak sih? Pokoknya kamu gak boleh pergi!" kata Hena tegas.
"Tapi mas Andrew udah ijinin Marina buat pergi, mi," Marina masih berusaha keras melepaskan diri dari Hena.
"Gak bisa! Besok mami udah balik ke Depok, jadi mau gak mau kamu harus turutin mami," kata Hena sekali lagi yang tak mau dibantah.
"Tapi kenapa mami gak ngijinin Marina buat pergi sih?" tanya Marina dengan heran.
"Kamu ini bantah terus kalau ngomomg sama mami. Tadi aja di depan papi dan Andrew kamu diem, kenapa bantah sekarang?" tanya Hena kesal dan sinis.
"Maaf beribu maaf, mi, bukannya Marina mau bantah mami, tapi Marina memang harus pergi ke galeri hari ini," kata Marina.
"Kamu kan bosnya di galeri itu. Suruhlah anak buah kamu handle schedule kamu hari ini," kata Hena.
Marina mulai lelah berdebat dengan ibu mertuanya. Baginya tak ada habisnya sama sekali melawan sang ibu mertua saat ini.
"Sebenarnya kenapa mami gak ngijinin Marina pergi sih?" tanya Marina dengan lembut.
"Dari tadi itu aja yang kamu tanyain! Mami mau bawa kamu ke dokter Aina dan setelahnya kita makan diluar," kata Hena.
Mendengar hal itu mata Marina membola dengan sempurna. Ia benar-benar tak menyangka kalau mendengar kalimat terakhir dari sang mertua. Sejak menikah hubungannya dengan Hena tak pernah baik. Jadi ada angin apa tiba-tiba saja Hena mau mengantarnya ke dokter kandungan dan menemaninya makan diluar?
"Makan diluar?" tanya Marina memperjelas ucapan Hena.
"Iya! Tapi bukan di restaurant langganan kamu, tapi di restaurant yang sudah mama pilih!" kata Hena tegas.
"Iya, mi," kata Marina dengan sangat bahagia. Ia sama sekali tak pernah pergi berdua dengan Hena dan kesempatan ini datang begitu saja padanya. Tentu ia sangat bahagia. Apalagi Marina pikir ia akan bisa memperbaiki hubungannya dengan Hena.
"Ayo!" ajak Hena dengan ketus. Marina tetap tersenyum ke arahnya dan mengikuti langkah kaki Marina tanpa tahu sama sekali apa yang sebenarnya sedang direncanakan oleh perempuan tersebut.
***
Dokter Aina berwajah tegang kala Hena dan Marina menyapanya saat ia sedang berada di ruang informasi. Tak ada pemberitahuan sama sekali kalau dua orang yang berdiri di hadapannya kini dan masih berstatus kolega jauhnya itu akan datang ke rumah sakit tempat ia dinas.
"Kenapa kamu kaget sekali, Aina?" tanya Hena santai, tapi nada suaranya terdengar mengintimidasi seperti biasanya.
"Saya hanya sedikit lelah, budhe," kata Aina.
"Saya datang ingin memeriksakan rahim menantu saya. Kamu beri dia vitamin untuk promil, kan?" tanya Hena.
"I-iya," jawab Aina gugup. Marina melihat gelagat aneh dari dokter tersebut. Wajah Aina bahkan sangat pucat.
"Baguslah. Kamu masih ada pasien atau gimana?" tanya Hena pada Aina.
"Nggak ada budhe," jawab Aina.
"Kalau gitu bisa donk periksa Marina," kata Hena dan Aina mengangguk-anggukkan kepalanya begitu saja.
Ketiganya berlalu ke dalam ruangan di mana Aina praktek. Setelah melakukan USG dan memberitahukan bahwa rahim Marina baik-baik saja, mereka kembali keluar dan memilih duduk di kantin rumah sakit. Dugaan Marina bahwa ia hamil ternyata salah dan ia sungguh kecewa dengan hasil USG itu.
"Rahim baik-baik saja tapi gak juga hamil, ya, aneh banget!" kata Hena mencibir. Baik Aina atau Marina sama sekali tak berani menjawab ejekan dari Hena. "Oh ya, kabar ibu kamu di kampung gimana?" tanya Hena hampir lupa.
"Alhamdulillah sehat, budhe," kata Aina.
"Syukurlah," kata Hena.
"Terima kasih telah membawa ibu saya ke Singapura budhe," kata Aina lagi.
"Gak masalah. Saya ikhlas kok bahkan ngelihat kamu udah jadi dokter sekarang ini saya merasa usaha saya untuk menyekolahkan kamu tak sia-sia." Hena berkata dengan bangga dan angkuh hingga membuat Marina dan Aina sama-sama tak nyaman.
"Permisi, saya ke toilet sebentar," kata Marina sejenak seraya berdiri dari tempatnya. Ia berjalan ke toilet dan mata Hena terus memandangnya hingga perempuan itu hilang dari pandangannya.
Hena kembali menatap Aina dengan tajam dan ia mendekatkan diri ke meja yang menjadi penghalang antara dirinya dan juga Aina.
"Kenapa kamu susah sekali aku hubungi, Aina?" tanya Hena langsung. Aina mendongak dan langsung menunduk kembali ke meja yang ada di hadapannya. Ia tak berani menatap mata Hena yang tajam dan mengintimidasi itu.
"Saya banyak kerjaan budhe. Handphone sering saya silent, maaf," kata Aina lemah.
"Kamu sengaja menghindari saya, kan?" tanya Hena sinis.
"Tidak, budhe," kata Aina mengelak dengan takut.
"Ingat perjanjian kita Aina, dia tak boleh hamil," kata Hena dengan mata yang tajam menusuk ke Aina. Aina tercekat. Ia menunduk lagi dan berucap istighfar berkali-kali.
"Iya, bude," kata Aina pasrah.
"Bagus. Ingat. Semua biaya pengobatan ibumu dan pendidikanmu aku yang menanggungnya," kata Hena.
Air mata Aina ingin merebak keluar namun ia tahan sekuat mungkin, "iya, budhe," jawab Aina.
Pandangan mata Hena beralih ke arah Marina yang berjalan ke arahnya dan juga Aina. Ia tersenyum kecil dengan tatapan merendahkan. Sudah dari dulu ia tak suka dengan Marina, apalagi Marina menikahi anak tiri kesayangannya. Ia merasa Marina telah mengeksploasi Andrew.
"Aina, tante dan Marina pergi dulu, ya?" kata Hena seraya berdiri dari tempatnya duduk sesampainya Marina di sampingnya.
"Hati-hati di jalan, tante," kata Aina pada Hena. Aina menoleh ke arah Marina yang tersenyum ke arahnya dan menatapnya dengan tatapan tak berdaya. Tatapan rasa bersalah dan tatapan sendu. Marina sendiri tak pernah tahu kenapa setiap kali bertemu dan memeriksakan diri kepada Aina, ia merasa perempuan itu menarik diri dan berbicara seperlunya, padahal dia pernah memergoki Aina bercanda dan tertawa lebar bersama teman-teman sejawatnya.
"Ayok, Rin," ajak Hena.
"Iya, Mi," jawab Marina.
"Sampai ketemu lagi ya, dok," kata Marina pada Aina yang hanya mengangguk lemah ke arahnya. Ketika Marina dan Hena sudah lenyap di depan matanya, Hena terjatuh di lantai. Rekan-rekannya yang sedang ada di kantin itu segera mendatanginya dan menolongnya.
"Dokter Aina tidak apa-apa?" tanya salah satu rekan dokternya. Aina menggeleng ke arahnya.
"Aku hanya kelelahan," kata Aina. Lalu Aina segera berdiri dari lantai dibantu orang-orang di sekitarnya.
Perasaan Aina campur aduk saat ini. Tapi yang jelas, yang ia rasakan paling kuat adalah perasaan rasa bersalah. Rasa bersalah kepada Marina.