Bab 3: Rosa dan Andrew

1129 Kata
"Kau anak sial!" umpat seorang perempuan di seberang sana. Gadis yang mendengarkan di telepon yang menempel di telinganya itu hanya menutup matanya. Umpatan itu seharusnya sudah biasa baginya. Bukankah ia sering mendengar kalimat itu sejak keluarganya pelan-pelan mati? "Tolong, tante ..." ucap gadis itu pasrah. Jika bukan karena ia membutuhkan dukungan uang, ia tak akan menelepon tantenya yang merupakan istri dari omnya. "Jangan telepon ke sini lagi!" kata perempuan itu lagi dengan marah. "Gak usah ngehina kalau gak mau bantu! Dasar sok!" umpat Rosa akhirnya. Perempuan diseberang sana kaget. Ia belum puas menghina Rosa, malah kena semprot. Rosa langsung menutup teleponnya dan kesal. Berulang kali ia menghentakkan kakinya karena marah, membuat orang-orang disekitarnya menatapnya aneh. Rosa balik menatap orang-orang itu dengan tatapan nyalang, "apa lihat-lihat? Belum pernah lihat orang ngamuk?!" tanya Rosa dengan sedikit membentak ke orang-orang yang lalu lalang tersebut. Orang-orang itu kemudian mempercepat langkah kakinya dan menganggap Rosa gila. Rosa berjalan meninggalkan area Monas itu dengan perasaan campur aduk. Baru beberapa langkah, air matanya jatuh juga. Ia kesal dengan dirinya sendiri. Air matanya semakin mengalir saja kala ia melihat amplop-amplop lamaran pekerjaannya masih banyak. Hari ini ia hanya membawa sepuluh amplop lamaran kerja dan hanya empat perusahaan yang menerimanya dengan berat hati. "Kenapa gak melamar lewat email saja, neng?" tanya salah seorang satpam padanya. "Sudah, Pak. Setiap kali ada lowongan malahan. Tapi belum juga dipanggil. Barang kali dengan saya datang sendiri, rejeki saya cepat datang," kata Rosa. Satpam itu menatapnya prihatin. "Masih banyak amplopnya ya, neng?" tanya satpam itu lagi. "Iya, pak, banyak ditolaknya karena katanya udah numpuk di kantor dan gudang," jawab Melisa. "Nanti saya sampaikan ke HRDnya ya, neng, barang kali ada rejekinya," kata satpam itu lagi. Rosa mengangguk ke arahnya sembari mengucapkan terima kasih sebelum akhirnya ia pergi dari sana. Hari sudah sore dan ia bahkan sangat lapar saat ini. Ia sudah melewatkan makan siang dan hanya sarapan roti dan segelas teh saja. Ia sangat lapar tapi ia harus berhemat karena uangnya semakin menipis. Ia tak mungkin terus menerima uang saku tiap bulan dari bibinya, sementara ia tahu tabungan pesangon bibinya menipis apalagi setelah bibinya berpisah dari pamannya, belum lagi akhir-akhir ini ia tahu bibinya sakit-sakitan. Rosa tak tega melihat kondisi bibinya itu. Andai saja tantenya tadi mau meminjamkan uang padanya, tentu ia tak akan sesedih sekarang ini. Tantenya tidak meminjamkan uang padanya, malah menghinanya. 'Kamu tuh kenapa sih selalu bawa sial? Pertama kamu lahir ibumu meninggal, setelah ayah kamu merawatmu, dia pun hidup susah dan berakhir meninggal. Nenek kamu apalagi, udah tua merawat kamu akhirnya meninggal juga, kan? Meninggalnya gara-gara nolongin kamu lagi. Terus setelah kamu tinggal sama bibi kamu, kamu buat bibi kamu bercerai dari paman kamu. Belum puas di sana, kamu juga habisin tabungan bibimu buat biaya kuliah kamu itu! Dan sekarang kamu bilang bibi kamu sakit dan kamu butuh uang buat nyambung hidup kamu? Kamu pikir kami ini dinas sosial apa?' Ucapan itu masih terngiang di telinga Rosa. Rosa heran, ia adalah anak yatim piatu dan keluarga dari garis keturuan ayahnyalah yang bertanggung jawab atas dirinya. Tapi kenapa semua enggan membantu? 'Kamu tuh dari dalam kandungan udah bikin susah. Ibu kamu sakit-sakitan dan ayah kamu di PHK dari kantornya!' Entah kenapa hinaan dari keluarga itu rasanya jauh lebih menyakitkan rasanya dari pada dari orang lain. Meski hinaannya tak jauh-jauh dari kata anak sial. Seolah ia emang terlahir hanya untuk menjadi kesialan bagi seseorang. Tuhan ... Bisakah kau kirim seseorang yang bisa mencabut kesialan dalam diriku? Rosa menengadah ke arah langit yang sangat cerah tapi detik berikutnya hujan deras tiba-tiba datang. Sial! Rosa berlari dari tempatnya dan mulai mencoba berteduh di bawah pohon. "Bahkan kesialan gak mau lari dari gue sendiri," katanya dengan nanar seraya menatap enam amplop lamaran kerjanya itu dengan sedih. Bagaimana ia gak sedih, amplop-amplop itu telah lima puluh persen basah dan tak mungkin bisa ia gunakan untuk melamar kerja besok. Rosa mengedarkan pandangannya dan akhirnya ia menemukan halte di dekatnya. Ia berlari ke arah halte tersebut dan lega karena hujan tak lagi mengguyur dirinya. Setidaknya tubuhnya belum basah seratus persen. Rosa ingin sekali naik bis untuk pulang ke rumah, tapi apa daya ia tak ingin mengeluarkan uang untuk ongkos bis. Uangnya menipis dan ia lebih memilih untuk berteduh saja dan menunggu hujan reda. Ketika hujan sudah reda nanti, ia bisa jalan kaki pulang ke rumah. Tak berselang lama ada pria rapi yang mengenakan jas datang ke halte membersamainya. "s**t!" umpat pria itu kesal. Ia mengeluarkan ponselnya yang telah mati lalu mengumpatnya lagi. Pria itu kemudian menoleh ke arah Rosa dan wajah Rosa menegang ketika pria tampan itu mendekat. "Boleh pinjam ponselmu?" tanya pria itu pada Rosa. "Maaf, tapi saya gak punya ponsel," jawab Rosa ramah. "Jaman gini cewek gak punya ponsel?" tanya pria itu sewot. Rosa tak peduli. Gadis itu malah membuang muka. "Gini aja gue beli ponsel lo tiga kali lipat!" kata pria bermata hazel itu sekali lagi. Rosa menoleh cepat. Dia mulai menghitung berapa banyak uang yang akan ia dapatkan dari hasil menjual ponselnya tersebut. "Boleh, harganya delapan juta," kata Rosa pada pria itu. Dengan cepat pria itu merogoh saku celananya tapi ia kaget karena tak mendapati dompet di saku celananya. Rosa memandang pria itu dengan bingung. "Gini, saya pasti akan bayar, boleh serahkan ponsel itu dulu untuk saya?" tanyanya serius. "Tuan muda yang sok kaya, kalau gak punya uang gak usah sok mau beli hape saya dengan harga tiga kali lipat donk!" kata Rosa mengejek. Pria itu menatap Rosa dengan tatapan tak terima. "Saya memang kaya! Ponsel kamu gak ada apa-apanya. Nieh!" kata pria itu seraya memperlihatkan ponsel terbarunya merek buah apel yang bagian atasnya tergigit. Rosa tersenyuk remeh. "Bukan punya kamu kalee," kata Rosa meledek. Lelaki itu memutar bola matanya dengan sempurna dan melotot gak jelas. "Kamu itu ...." "Udah, udah, ini gue pinjemi!" kata Rosa akhirnya seraya mengeluarkan ponselnya dan memberikannya ke lelaki tampan itu. Lelaki itu tak langsung menerimanya melainkan menatap Rosa lekat-lekat. "Ini, mau gak?" tanya Rosa dan lelaki itu yang tak lain adalah Andrew menerimanya segera dari Rosa. Andrew langsung menelepon Marina dan mengabarkan kalau mobilnya mogok dan ia terpaksa berteduh di bawah halte. Ia ingin menghubungi pihak derek tapi ponselnya mati. Obrolannya dengan Marina berlanjut dari hal penting ke tak penting. 'Kamu sudah makan, sayang?' 'Iya, aku juga merindukanmu,' 'Aku juga mau mengajakmu makan di Henshin.' 'Aku mencintaimu' 'Iya, tunggu aku pulang, ya,' Kalimat-kalimat itu membuat Rosa melongo heran. Serta merta ia langsung berdiri di hadapan Andrew dan memintana ponselnya kembali. Andrew terkesiap dan seolah baru sadar bahwa ia sedang meminjam ponsel milik orang lain. Setelah mendapatkan ponselnya, Rosa segera meninggalkan halte bus itu tak peduli hujan masih deras mengguyur bumi. Bahkan Andrew pun masih mengamati Rosa sampai gadis itu menghilang. Perlahan Andrew tersenyum melihat Rosa dan pandangannya beralih pada file-file lamaran yang ada di bangku halte tersebut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN