Sakit (2)

1021 Kata
Untuk waktu yang cukup lama, Lizzy memperhatikan Saga sedang pria itu tampak jenuh dengan aktivitasnya yang selalu memencet tombol remote selama 30 menit hanya sekadar mencari program tv yang bagus. Akhirnya tv dimatikan dan pria itu memutar tubuh. Dia terkejut saat matanya tepat memandang pada Lizzy yang juga melihatnya. "Loh katanya mau baca n****+? Kenapa kau menatapku?" "Tch, memangnya tidak boleh?" "Bukan seperti itu tapi kau terlihat serius sekali memandangku. Apa sudah lama kau melihatku?" Lizzy memutar matanya bosan. Dimulai lagi percaya diri Saga muncul. "Entahlah." Gadis itu lalu membaringkan diri di ranjang setelah meletakkan buku di samping meja. Dia membalikkan tubuhnya membelakangi Saga agar tak melihat suaminya itu. "Baiklah selamat malam." Saga membuang napas dan hendak pergi tapi sebelum dia bisa mencapai pintu suara Lizzy menginterupsi. "Jika aku belum bangun sampai jam enam pagi cek ke kamar mungkin saja sakitku ini akan parah." Lelaki itu diam saja lalu kembali melangkah ke arah pintu. Lizzy membuang napas saat mendengar suara pintu ditutup tanda jika Saga telah pergi. Perlahan dia memejamkan mata dan lambat laun Lizzy tertidur lelap. Sekitar dua jam, Lizzy merasa kedinginan. Dia pun mengigil kedinginan sedang di pelipisnya tampak keringat dingin menguncur deras. Entah kenapa Lizzy bisa merasakan sebuah telapak tangan menyentuh dahinya. Besar dan hangat membuat Lizzy nyaman dengan tangan itu. Sedikit demi sedikit, dia berusaha membuka matanya dan menemukan raut wajah Saga khawatir. Saga lantas meraih telepon untuk menelepon seseorang. Sebab sakit yang dia derita, Lizzy sama sekali tak bisa mendengar apa yang dibicarakan Saga sampai dia menutup telepon. Pria itu sekali lagi meletakkan tangannya pada Lizzy. "Sabar ya, dokter akan datang." Selama 30 menit Saga hanya menggenggam erat dengan tatapan cemas. Lizzy menyadari hal tersebut cuma bisa menggigil dan membalas genggaman Saga. Tok tok Tampaklah seorang pelayan dari balik pintu. "Tuan, dokternya sudah datang." "Kalau begitu suruhlah dia masuk ke dalam!" Pelayan itu langsung undur diri dan tak lama seorang lelaki dengan jas dokternya masuk ke dalam kamar milik Lizzy. "Tolong Jeff, dia demam padahal aku sudah memberikannya obat penurun panas." "Iya, iya sabar. Aku periksa dulu." Beberapa saat Saga merasakan ketegangan luar biasa karena melihat Lizzy diperiksa, ditambah dengan ekspresi ragu dari Jeff. "Bagaimana keadaannya? Dia baik-baik saja bukan?" "Dia Demam Saga sudah jelas keadaannya kurang baik." "Jadi apa yang harus dilakukan? Dia masih bisa sembuh, kan?" "Tentu saja bisa. Jangan khawatir, aku akan memberikannya obat." Jeff mengeluarkan infus dan menancapkannya di punggung tangan milik Lizzy. Dia lalu memberikan obat penurun demam pada infus itu. "Sudah selesai. Demamnya akan turun beberapa menit lagi jika masih demam panggil ambulans." Saga pun mengangguk sebagai tanda dia mengerti kendati dia tak melepaskan pandangan pada sang istri. "Oh iya aku belum menanyakan sesuatu, siapa dia? Kekasihmu yang baru ya?" Sontak Saga melihat pada Jeff sebentar kemudian kembali memalingkan muka sekali lagi pada wanita yang sedang menggigil di atas ranjang. "Bukan, dia istriku." "Hah? Istri? Kapan kau menikah? Ah, kau keterlaluan sekali! Mentang-mentang aku sibuk kau melupakan aku!" "Bukan seperti itu. Sebenarnya awalnya aku tak mau menikah tapi karena tiba-tiba orang tuaku datang melamar jadilah aku menikah sama dia," "Terus?" "Terus apa?" "Yah gimana? Suka nggak sama dia!" Saga mendecak. Ditariknya Jeff untuk keluar dan menyodorkan rokok kepada sahabatnya itu. Keduanya pun menyesap rokok di koridor sambil bercerita. "Oh itu berarti kau suka sama dia, itu bagus dan menakjubkan." ucap Jeff setelah Saga menyelesaikan cerita. "Apanya yang menakjubkan?" "Takjub karena akhirnya ada seorang wanita yang bisa membuatmu bertekuk lutut. Aku pikir kau akan terjebak selamanya menjadi playboy." "Tidak juga aku kurang yakin tapi yang jelas aku berusaha mendekatinya dan aku harap dia mau membuka hatinya untukku ... semoga." "Ya, semangat ya!" Setelah rokok yang dihisap menjadi pendek, Jeff mematikan rokok tersebut dan membuangnya ke tong sampah sesudah memastikan bahwa baranya telah mati. "Aku pergi dulu ya, ingat apa yang aku katakan!" "Iya, terima kasih karena sudah mau datang." Saga kembali pada Lizzy untuk mengecek apakah suhu tubuhnya turun atau tidak. "Syukurlah sudah mendingan." gumamnya. Tiba-tiba Saga menguap, matanya terasa berat sekali sehingga dia memutuskan tidur di sebelah Lizzy. Tak butuh waktu lama Saga pun sudah terbawa ke alam mimpi sampai tak sadar jika dia merangkul tubuh Lizzy layaknya bantal guling. ❤❤❤❤ Esok paginya, Lizzy terbangun saat cahaya matahari menyilaukan matanya. Kepalanya terasa pening sekali sedang tubuhnya juga berat. Ada sesuatu yang menimpa tubuhnya seperti sebuah lengan. Kedua mata Lizzy sontak terbuka dan terkejut saat melihat wajah Saga berada di sampingnya. Kerutan terdapat di dahi Lizzy ketika Saga menggeliat dan makin menambah ketidaknyaman pada gadis itu. Saga membuka matanya, mengerjap barang sebentar lalu tersenyum ke arah istrinya. "Selamat pagi." Ekspresi di wajah Lizzy berganti menjadi garang. Plakk Ya. Bukan ucapan selamat pagi melainkan sebuah tamparan keras di pipi Saga. Tentu saja Saga mengaduh kesakitan. Dia pun bangun sambil memegang pipinya yang kemerahan akibat tamparan dari Lizzy. "Apa-apaan kau?!" hardik Saga kesal setengah mati. Dia merasa sangat khawatir namun semua itu diganti dengan tamparan keras. Saga kecewa sekali. "Justru kau yang apa-apan?! Kenapa kau tidur di sampingku, kau mau mengambil kesempatan ya saat aku sakit?" "Kau gila?! Aku mana mungkin mengambil kesempatan terlebih saat kau sakit. Percuma tadi malam aku khawatir padamu, seharusnya aku biarkan saja kau sakit sendirian." "Oh jadi kau mau aku meninggal?" "Ukh! Susah ngomong sama kamu. Semuanya jadi serba salah tahu! lebih baik aku pergi dari sini." "Eh aku belum selesai berbicara! Seenaknya saja pergi ...." Lizzy mendecih saat melihat Saga tak menghentikan langkahnya. "Hei Saga Keano, aku belum selesai berbicara denganmu!" Tangan Lizzy lantas meraih pergelangan tangan kaki milik Saga dan dipegangnya kencang membuat pria itu tak bisa bergerak. "Apa lagi sih? Lepaskan kakiku, aku mau pergi!" "Tidak sebelum kau mendengarkanku bicara." Saga diam. Dia membuang napas dan duduk di atas ranjang sehingga cengkeraman Lizzy terlepas. "Sekarang katakan apa yang ingin kau katakan, aku menunggu." Bukannya menyerocos, Lizzy terdiam seketika kala memorinya berputar tentang apa yang terjadi malam. "Jadi tidak ada. Baiklah, biar aku saja yang mengatakan sesuatu." Jantung Lizzy mendadak berhenti menunggu apa yang dikatakan oleh Saga. Tangan Saga terulur menepuk kepala Lizzy. "Jangan sakit lagi ya, aku tak mau kau sakit lagi seperti ini. Kau membuatku khawatir tahu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN