7 | Hasil yang Tidak Diharapkan

1520 Kata
"Rambut baru gue bagus nggak, Bi?" "Ehm bagus." "Iya 'kan bagus? Hih Bu Nuris aja yang nggak tahu trend anak muda. Lo tahu nggak, kemarin gue dimarahin abis-abisan di ruangan beliau. Niatnya mau bimbingan proposal malah gue diceramahi dua jam. Gila aja, merah kuping gue," keluh Tania panjang lebar. Sebelah tangannya masih memegang kaca seukuran buku tulis. Sibuk memperhatikan gaya rambut barunya yang berwarna merah menyala. "Kapan gue magang coba kalau proposal gue nggak disetujui mulu," keluhnya lagi sembari meletakkan kaca itu. Iya, sampai saat ini Tania masih menjadi mahasiswi bebas yang tidak ada kerjaan. Magang belum, dan enggan mengerjakan Tugas Akhir. Hidup itu dibawa santai aja, begitu slogan hidupnya. Tania memang tidak pernah menganggap sesuatu sebagai beban. Semasa masih aktif kuliah, Tania hampir tidak pernah mengerjakan tugas tepat waktu. Mahasiswi deadline sejati. Untung saja dosen-dosennya di kampus sudah hapal betul kelakuan Tania. Daripada terus menarik urat karena marah-marah, para dosen memilih memberi toleransi waktu untuk manusia satu itu. "Ehh girls gawat-gawat." Bastian datang, langsung menyeruput cappucino milih Sabiya yang belum tersentuh sejak tadi. Sabiya tidak keberatan. Temannya yang memiliki rambut mirip sarang burung itu memang berkelakuan abstrak. Justru terasa aneh jika Bastian berubah menjadi manusia normal. "Lo tuh kebiasaan," kesal Tania. Memberikan pukulan keras di bahu Bastian. "Kenapa Bas?" "Bantuin gue Bi, Tan. Sumpah mana tahu kalau gue disuruh nemuin Bu Wahyu di ruangan Kadep. Liat nih liat! Gue pakai sandal gunung begini, jeans gue bolong-bolong, mana belum potong rambut. Tamat riwayat gue Bi, Tan," ucapnya panjang lebar seraya menunjukkan penampilannya yang lebih mirip manusia pinggiran daripada mahasiswa Fakultas Ekonomi semester akhir. Sabiya tidak merespon apa-apa. Melihat penampilan Bastian saja sudah membuat kepalanya pening. Tidak sanggup memberi jalan keluar untuk permasalahan satu ini. Lagi pula sejak tadi Sabiya tidak fokus. Mengajak Tania bertemu dengan harapan bisa melupakan masalahnya. Hari ini Sabiya absen dari kantor dengan alasan tidak enak badan. Sabiya hanya menyampaikan izinnya melalui Shilla. Masih enggan berbicara dengan Romeo. Walaupun sejak kemarin lelaki itu sudah mengganggunya dengan spam chat dan panggilan. Biarkan saja. Sabiya masih kesal dengan lelaki itu. "Bas! Otak lo itu dipakai makanya. Udah jelas ke kampus mau nemuin Bu Wahyu kenapa masih pakai beginian?" "Kalau tahu dari pagi gue nggak akan muncul dengan kondisi begini, bego! Gue barusan banget dihubungi Bu Wahyu!" "Terus ngapain ke sini? Balik sana, kos lo deket, 'kan? Buruan ganti baju!" Bastian menjambak rambut kribo kebanggaannya itu. Mengerang frustasi. "Itu dia masalahnya. Gue nggak punya baju orang normal." Sabiya dan Tania mendesah panjang. Jika diingat-ingat, Bastian memang tidak pernah menggunakan baju yang layak di mata mereka. Setiap hari tampilannya begitu. Kaos hitam, jaket denim yang sudah mulai lusuh, celana jeans robek, dan sandal gunung. Kendaraan wajibnya adalah vespa tua yang memekakkan telinga karena suara cemprengnya. Maklum, Bastian si anak Palafne yang sering keluyuran naik gunung, turun gunung, tanam bakau, rafting-rafting, dan apalah kegiatan di alam bebas lainnya. Lelaki itu juga masuk jurusan Penilaian Property yang nyaris di isi laki-laki semua. Penampilan Bastian yang merusak mata itu dianggap wajar untuk kaum mereka. "Bas, lo kenal Fawwaz ketua LDK?" Bastian mengangguk-angguk. Menatap Sabiya penuh harap. Memang di antara Sabiya dan Tania hanya Sabiya yang bisa diharapkan. Tania bagian marah-marah dan menyalahkan saja. Sedangkan si pemberi jalan keluar ya Sabiya. "Gue tadi lihat dia ada di sekre. Gih minta bantuan Fawwaz." Wajah panik Bastian langsung berubah cerah. Sempat mencubit pipi Sabiya gemas sebelum berlari cepat ke arah gedung fakultasnya. Lelaki itu juga mengucapkan kata terima kasihnya dengan berteriak. Membuat Sabiya dan Tania hanya menggelengkan kepala heran. Kenapa bisa keduanya berteman dengan si manusia aneh itu? "Gue nggak bisa bayangin muka alim kaya Fawwaz berpenampilan kaya Bastian." Tania tertawa keras. Membayangkan wajah kalem Fawwaz dan penampilannya yang rapi, berubah seketika menjadi Fawwaz versi Bastian. Atau Bastian yang petakilan dengan rambut kribonya mengenakan pakaian Fawwaz. Apa yang ada dipikiran anak-anak LDK nantinya jika melihat Fawwaz berubah? Walaupun hanya untuk beberapa waktu ke depan. Tetap saja itu akan menjadi sumber kehebohan baru di kampus, jika sampai Fawwaz keluar dari sekrenya dan ketahuan orang lain. "Tan, temenin gue ke dokter yuk." Tania yang masih sibuk dengan khayalannya langsung diam. Berkedip-kedip, menatap Sabiya dengan tatapan tidak mengerti. "Apaan Bi?" "Temenin gue ke dokter kandungan." "Ha? Maksudnya gimana? Lo mau ngapain ke dokter kandungan? Haid lo nggak lancar? Lo stres kali mikirin magang sama TA." Sabiya hanya tersenyum singkat. Tidak perlu menjelaskan banyak hal. Jika hasilnya keluar nanti, Tania akan tahu sendiri maksud ajakan Sabiya. Lagi pula Sabiya merasa tidak perlu menjelaskan semuanya. Sedang tidak berselera untuk bercerita. Sudah sejak kemarin Sabiya memikirkan ini. Sabiya tidak bisa mempercayai ucapan Romeo begitu saja. Yang notabennya laki-laki yang baru beberapa hari ini bersamanya. Bisa saja 'kan lelaki itu menipunya, entah untuk tujuan apa. Dengan ini Sabiya mengharapkan bisa menemukan jawaban atas segala tanda tanya yang berseliweran di kepala. Setelah hasilnya keluar, Sabiya bisa lebih tahu langkah apa yang akan diambil. Jika memang sesuatu yang berharga itu sudah diambil, Sabiya akan mengejar Romeo untuk bertanggung jawab. Seperti yang lelaki itu janjikan. Jika semuanya hanya kebohongan Romeo, Sabiya mempunyai alasan pasti untuk mengusir lelaki itu. Sebelum semuanya terlambat. *** Sabiya tidak tahu rasa apa yang paling mendominasi saat ini. Rasanya campur aduk sampai Sabiya tidak mengerti apakah menangis lebih baik daripada tersenyum atau malah sebaliknya. Kedua tangannya masih bergetar dengan sebuah surat hasil pemeriksaan yang baru saja dilakukan beberapa jam lalu. Tania hanya diam. Merangkul bahu Sabiya lembut. Mencoba menenangkan Sabiya yang saat ini sedang terguncang. Tania memang menyimpan banyak pertanyaan di kepalanya. Tapi rasanya tidak tepat jika menanyakan semuanya sekarang. Sabiya pasti sangat terpukul dengan hasil itu. "Tan, gue benar-benar udah kehilangan semuanya," adunya dengan nada yang sangat menyayat hati. Tania menghela napas panjang. Menarik Sabiya ke pelukannya. Menepuk bahu itu lembut. Tidak tahu harus merespon bagaimana. Semua terjadi terlalu cepat. Tania tidak tahu apa yang terjadi dengan Sabiya akhir-akhir ini. Keduanya berpisah untuk beberapa hari. Semenjak Sabiya magang, perempuan itu memang sibuk dengan urusannya sendiri. Tania hanya sesekali menghubungi Sabiya untuk mengingatkan jadwal bimbingan mereka. Hari ini bertemu karena Sabiya yang meminta. Sabiya juga mengatakan bolos magang. Tapi Tania tidak menangkap sesuatu yang lain dari Sabiya. Menganggap semuanya baik-baik saja. Tiba-tiba saja, Sabiya mengajaknya ke dokter kandungan. Dan kenyataan ini yang didapat. Tania saja terkejut bukan main, bagaimana dengan Sabiya? "Keluarin semua biar lo lega," ucapnya lembut. Masih mencoba menenangkan Sabiya. Tanpa diberitahu, Tania sudah paham jika ini terjadi bukan karena kemauan Sabiya. Mungkin sesuatu itu diambil tanpa sengaja oleh seseorang yang tidak Tania ketahui. Nanti, jika sudah tenang Tania akan menanyakan semuanya. Membantu Sabiya agar perempuan itu tidak stres berlebihan. Tahu betul, tuntutan saat ini terlampau banyak dan berat. Sabiya bukan hanya memikirkan magangnya, tapi ada tugas akhir juga. Ditambah satu kenyataan yang memiliki bobot terberat dari kenyataan yang lain. "Lo boleh nginep di sini kalau belum mau pulang." Tania berucap lembut saat Sabiya mulai tenang. Air matanya sudah tidak menetes. Walaupun masih terlihat jelas raut sedih di sana. Perempuan itu mengangguk. Setuju dengan penawaran Tania. Tidak mungkin juga Sabiya pulang dalam keadaan mata bengkak begini. Mama pasti akan khawatir berlebihan melihat kondisi Sabiya. "Gue kabarin Mama lo dulu kalau lo di sini." Tania beranjak dari sana setelah mendapat anggukan setuju dari Sabiya. Menuju kamarnya. Menyisakan Sabiya yang masih duduk tenang di ruang tengah dengan keadaan televisi mati. Hanya menatap kosong pada layar hitam itu. Menghela napas sekali lagi. Kenapa semuanya terasa begitu berat? Begini ternyata rasanya kehilangan sesuatu yang begitu berharga dalam dirinya. Tapi untungnya Romeo akan bertanggung jawab atas dirinya. Sabiya hanya perlu mempersiapkan diri menjadi seorang istri dari Romeo. Walaupun bukan pernikahan seperti ini yang Sabiya inginkan. Seperti perempuan kebanyakan, Sabiya juga ingin menikah atas landasan cinta, dengan orang terkasih. Bukan pernikahan karena skandal. Yang membuatnya mau tidak mau harus menerima Romeo. Apa nanti Sabiya bisa mencintai Romeo? Padahal seluruh hatinya masih terisi penuh oleh Alvaro. Apa Romeo akan menerimanya dengan apa adanya? Apa kehidupan pernikahan mereka akan berjalan lancar nantinya? Walaupun tidak ada cinta di antara mereka. Sabiya mulai membaringkan tubuh lemahnya di sofa panjang itu. Menangis dan memikirkan beragam masalah ternyata membuatnya mengantuk. Sebentar saja. Sabiya hanya ingin istirahat sebentar saja. Tanpa pemikiran beragam masalah yang memenuhi kepalanya. *** Romeo baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Bersandar nyaman pada sandaran kursi ruangan. Kantor sudah sepi, karena memang sudah malam. Karyawannya tentu saja sudah pulang. Mungkin ada yang sudah siap tidur. Memijat pelipisnya, mencoba menghilangkan pening. Kali ini bukan pekerjaan yang membuat kepalanya nyaris meledak. Bukan tuntutan dari orang tuanya juga. Romeo hanya sedang memikirkan Sabiya. Perempuan itu tidak datang ke kantor hari ini, alasannya sakit. Yang membuat Romeo kepikiran, kenapa Sabiya tidak menghubunginya langsung? Malah menyampaikan izinnya pada Shilla. Padahal sejak pagi, Romeo sudah menanyakan kabar Sabiya. Sempat menawari jemputan juga. Tapi yang terjadi sampai detik ini, Sabiya tidak membalas satu pun pesannya. Dihubungi beberapa kali pun hanya diabaikan. Kabar terakhir yang didapat, Sabiya tidak pulang malam ini. Perempuan itu menginap di rumah temannya yang tentu saja tidak Romeo kenal. Yang bisa Romeo lakukan saat ini, menatap layar ponselnya dalam diam. Menampilkan perempuan cantik dengan mata terpejam erat. Terlihat begitu polos membuat senyuman Romeo muncul perlahan. Berharap rasa ingin bertemu itu hilang hanya dengan menatap foto itu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN