6 | Maaf, Biya

1942 Kata
Sabiya menghela napas lega saat memastikan semuanya aman. Ia berada di kamarnya dengan kemeja kerja yang sama, seperti yang dipakai kemarin. Menelisik kondisinya yang baik-baik saja. Tidak ada rasa-rasa aneh atau tanda tertentu. Kesimpulan akhirnya, semalam tidak terjadi apa-apa. Romeo mengantarkannya pulang dengan kondisi baik-baik saya. Syukurlah. Sabiya nyaris jantungan saat membuka matanya tadi. Takut hal yang tidak diinginkan terjadi lagi. Tapi nyatanya tidak demikian. Membodohi dirinya juga karena masih sempat ketiduran di apartemen Romeo. Jika saja lelaki itu melakukan hal yang tidak-tidak habis sudah riwayatnya. Tapi untunglah, Tuhan masih melindunginya. Menoleh sekilas saat pintu kamarnya terbuka, dengan gerakan sedikit kasar. Wajah Mama muncul dari sana. Berjalan ke arah sang putri dan langsung menangkup pipi bulat itu. Untuk beberapa waktu Mama hanya menatap dalam ke arah mata kecoklatan Sabiya. Memperhatikan wajah putrinya yang masih sama. Setelahnya memberikan cubitan di kedua pipi itu membuat Sabiya memekik sakit. "Mama kenapa sih?" tanyanya dengan nada kesal. Kedua tangan sudah sibuk mengusap pipinya yang memerah. Mama menghela napas kemudian duduk di samping ranjang Sabiya. "Kenapa nggak pernah cerita kalau kamu pacaran sama orang ganteng itu?" Sabiya menatap Mama tidak mengerti. Siapa yang dimaksud Mama dan ke mana arah pembicaraan ini? Sabiya tidak sedang berpacaran dengan siapa pun. Setelah putus, ehm atau belum putus sebenarnya. Karena nyatanya setelah Sabiya memergoki Alvaro berciuman dengan si selingkuhan, lelaki b******k itu belum muncul di hadapannya. Yang jelas saat ini Sabiya tidak mungkin menerima lelaki itu lagi. Tidak akan! Dan tidak ada yang menyatakan perasaannya pada Sabiya akhir-akhir ini. Ya, karena ungkapan Pak Romeo kemarin malam bukan termasuk pernyataan cinta. Hanya pertanyaan kesanggupan Sabiya menikah di masa akhir perkuliahan. "Sejak kapan putus sama Alvaro? Mama kira Alvaro mau lamar kamu secepatnya, ehh ternyata kamu kecantol sama yang lebih ganteng." Sabiya mendesis kesal. Alvaro memang sudah melamarnya. Sabiya bahkan sudah memakai cincin lamaran itu. Tapi yang terjadi setelahnya benar-benar kacau. Belum juga Alvaro muncul di hadapan orang tuanya. Sudah selingkuh duluan. Haish memikirkan itu membuat emosi Sabiya kembali memenuhi kepalanya. "Mama apaan sih? Biya nggak ngerti." Mama langsung merubah ekspresi wajahnya. Menjadi lebih garang dari sebelumnya. Wanita itu juga berdecih, seolah mengejek pada putrinya. "Nggak usah sok polos kamu! Kalau calon mantu Mama nggak bilang kamu akan terus diam, gitu?" Astaga! Sabiya mengusap wajahnya kasar. Mama sedang membicarakan apa sih sebenarnya? Sabiya tidak mengerti sama sekali. Hari masih pagi. Sabiya juga baru bangun. Sangat-sangat pagi untuk membicarakan masa depan yang entah kapan Sabiya raih. Khususnya mengenai si 'calon mantu' seperti yang Mama bilang. "Mama, Biya benar-benar nggak ngerti." Mama mendengus sebal. "Tiga hari lalu kamu ngapain sama pacarmu itu, ha?" Sabiya sukses melongo. Mama tahu kejadian itu. Mati sudah. Tidak bisa mengelak lagi. Jika masalah itu sudah sampai ke orang tuanya akan semakin runyam. Dan kata melupakan menjadi tidak berarti. Sabiya anak tunggal. Satu-satunya anak perempuan untuk orang tuanya. Baik Mama maupun Papa pasti akan terus mengejar seseorang yang sudah mengambil sesuatu yang sangat berharga dari putri tunggalnya. Entah suka atau tidak. Pokoknya si pelaku harus meminta maaf dengan sangat atas perbuatannya. Dan berjanji untuk tidak melakukan hal yang sama. "Diam 'kan kamu? Harusnya kamu bilang sama Mama, Papa, Nak. Jangan diam aja! Untung mantu Mama itu ganteng, kaya lagi, dan yang terpenting dia mau tanggung jawab. Kalau nggak? Mau gimana kamu ha?" "Mama?" panggil Sabiya lirih. Rasa bersalah itu kembali hadir. "Apa?" "Mama nggak marah soal ini?" Mama melotot tajam. Sebelah tangannya memukul paha Sabiya kasar membuat putri tunggalnya meringis sakit. Mama memang begitu. Jangan salahkan Sabiya yang terkadang bar-bar tidak jelas. Karena ini faktor keturunan dari sang mama. "Jelas marah! Enak banget kamu nanya begitu. Tapi ya kalau mantu Mama ganteng, kaya, punya jabatan begitu Mama jadi nggak tega mau marahin." "Mama gimana sih? Harusnya Mama marah karena Sabiya nggak bisa jaga diri." "Lagian bukan salah kamu, Mama udah marahin habis-habisan mantu Mama itu. Seenak-enaknya emang! Awas aja kalau berani macem-macem sama kamu, Mama botakin dia!" Sabiya menghela napas lelah. Mamanya marah, tapi kenapa terlihat begitu bahagia? "Dari tadi Mama nyebut mantu Mama, mantu Mama terus. Mama harusnya nanya dulu emang Biya mau sama dia." Lagi-lagi pukulan itu didapat. Disusul pelototan yang lebih tajam. "Kamu tuh gimana sih, Nak! Ya harus mau dong. Apa kata tetangga nanti kalau perut kamu makin besar?" "Sabiya nggak hamil, Mama!" "Oh ya? Mana buktinya? Jelas-jelas kamu begituan sama Romeo." Sabiya mengerang frustasi. Apa saja sebenarnya yang Romeo adukan ke orang tuanya? Sampai Mama berpikiran terlalu jauh. Sekali lagi, Sabiya menyesali kelakuannya beberapa hari lalu. Jika saja ia tidak gegabah dan langsung menuju club sampai mabuk-mabukan. Ini semua tidak akan terjadi. Bodohnya lagi, Sabiya tidak mengingat kejadian malam itu. Hanya sampai Romeo menolongnya di tengah jalan, Sabiya sempat marah-marah tidak jelas, lengkap dengan mengotori kemeja mahal itu, dan tidak sadar. Tiba-tiba saja keesokan harinya Sabiya sudah berada di pelukan Romeo dengan kondisi berantakan. Tapi bagaimanapun letak kesalahan awal ada pada Alvaro. Lelaki b******k itu berlaku seenaknya, sampai mempermainkan hatinya. Lebih parahnya Alvaro tidak meminta maaf. Tidak tahukah, Sabiya terlibat masalah besar saat ini? "Udahlah, Mama mau buat sarapan. Kamu siap-siap! Nanti kalau masih ada waktu bantuin Mama." Sabiya hanya mengangguk singkat. Menelungkupkan wajahnya pada lipatan tangan yang bertumpu pada lutut. Memikirkan semuanya yang terasa semakin berat setiap harinya. Romeo terlampau nekad sampai mengakui semuanya pada orang tuanya. Memang begitu yang harus dilakukan. Salah satu sudut hatinya juga merasa tenang dengan adanya kesanggupan Romeo, sampai mengaku pada orang tuanya. Sabiya tidak seharusnya merisaukan apapun setelah ini. Menjadi seorang istri dari pengusaha kaya raya, yang cukup perhatian padanya. Masa depannya akan menyenangkan, bukan? Sabiya juga tidak perlu bingung mencari pekerjaan karena sudah pasti Romeo bisa menghidupinya. Tapi bukan sekarang waktu yang Sabiya mau. Kondisinya sedang tidak baik. Butuh setengah perjuangan lagi untuk menyelesaikan yang seharusnya diselesaikan. Kepala Sabiya masih sibuk memikirkan alasan untuk latar belakang tugas akhirnya, alat analisis yang nantinya digunakan untuk perhitungan data, hipotesis, metode pencarian data, tinjauan pustaka, dan hah semuanya berhasil mengisi separuh pemikiran Sabiya. Belum lagi rasa sakit di hatinya yang masih terasa begitu menyiksa sampai detik ini. Yang Sabiya sadari tidak bisa sembuh secepat itu. Sabiya tidak bisa menggeser posisi Alvaro yang sudah mengisi hari-harinya hampir empat tahun ini. Menggantikannya dengan Romeo yang baru tiga hari berkeliaran di sampingnya. Jika saja Romeo datang di waktu yang tepat, saat semuanya sudah siap. Pasti Sabiya tidak akan berpikir dua kali untuk menerima kehadiran lelaki itu. Mungkin hanya akan ada perasaan bahagia yang menyelimuti. Menjadi satu-satunya perempuan beruntung karena bersanding dengan pengusaha kaya raya, yang perhatian penuh, dan wajah rupawannya. Tapi nyatanya, Romeo datang lebih cepat. Di saat hati Sabiya belum tertata rapi. Belum lagi tuntutan dari segala hal yang harus Sabiya hadapi, sendiri. Kehadiran lelaki itu justru menjadi musibah untuk Sabiya. Bukan kebahagiaan yang selalu menjadi dambaannya. Hah! Sudahlah. Semua sudah terjadi. Apa yang Sabiya inginkan nyatanya hanya sebatas angan-angan. Tidak ada gunanya menyesali apalagi sampai menyalahkan salah satunya. Jalan keluarnya tentu ada. Asal Sabiya mau menghadapinya, dengan sisa perasaan yang masih mengisi sebagian besar relung hati. *** Sabiya berjalan cepat di koridor kantor Romeo. Jelas bukan untuk berangkat magang karena hari sudah terlalu siang. Sabiya juga tidak mengenakan setelan kerja. Beralih dengan penampilan layaknya anak kuliahan. Mengabaikan banyak mata yang memandang aneh ke arahnya. Sampai ponsel yang terus berdering di saku celananya pun turut diabaikan. Sabiya hanya ingin menemui Romeo untuk meminta penjelasan atas semuanya. Yang sudah terjadi di antara keduanya. Sebelum hubungan mereka semakin jauh. Ada untungnya, karena Sabiya belum pernah bertemu keluarga Romeo. Sehingga lebih mudah untuk mengakhiri semuanya jika saja kenyataan yang terjadi tidak seburuk yang mamanya ceritakan tadi. Mendorong pintu ruangan Romeo kasar. Sabiya mengabaikan perilakunya yang tidak sopan saat ini. Sudah terlanjur emosi dengan penuturan sang mama yang seenaknya menerima Romeo menjadi calon mantu. Tanpa persetujuan Sabiya tentunya. Romeo yang sedang berkutat dengan tumpukan dokumen tentu saja dibuat kesal. Menatap jengah kehadiran Sabiya dengan pakaian non-formalnya. Romeo sampai mengerutkan kening, Sabiya berangkat magang di kantornya dengan pakaian seperti ini? "Saya tidak pernah meminta kamu untuk bertindak tidak sopan begini Sabiya," ucapnya tajam. Sepasang mata elang itu melotot pada Sabiya yang terlihat malas menanggapi. Hanya melipat kedua tangannya di depan d**a sembari berdecih kesal. Bingung tentu saja. Sabiya datang-datang dengan wajah tidak bersahabat. Membuka pintu ruangannya dengan kasar. Lalu yang terjadi setelahnya perempuan itu hanya diam dan terus menatap ke arahnya dengan tatapan tidak suka. Apa Romeo baru saja membuat kesalahan? Pertanyaan itu langsung diiyakan hatinya. Jelas sekali jawabannya memang benar. Romeo adalah sumber kesalahannya. Kehadirannya di kehidupan Sabiya yang tidak pernah diharapkan oleh perempuan itu. Parahnya lagi, keduanya terlibat masalah. Dengan akibat yang lumayan fatal. Dan itu sukses membuat Sabiya semakin membenci keberadaannya. "Lo ngomong apa sama Mama gue ha?" Romeo terkejut. Langsung merasa tidak terima dengan kalimat kasar itu. Berani-beraninya Sabiya membentak seperti ini. Jika diingat lagi, kemarin Sabiya masih berperilaku sopan padanya. Mulut itu memang cerewet, tapi masih menyampaikan nasihatnya dengan sopan. Bukan membentak seenaknya sembari menudingkan telunjuknya tepat di depan wajah Romeo. "Sabiya! Perlu saya ingatkan, saya bos kamu di kantor!" "Gue nggak peduli! Mau lo kasih surat berhenti magang buat gue pun, gue nggak peduli. Gue bisa cari kantor lain buat magang!" Sabiya marah. Sepertinya akan sulit jika Romeo ikut tersulut emosi. Lelaki itu menghela napas beberapa kali. Menyabarkan dirinya sendiri. Setelah tenang, Romeo beranjak dari duduknya. Mendekati Sabiya yang masih berapi-api. Meraih sepasang bahu sempit itu. Sabiya tentu saja langsung menolak. Emosinya kembali melonjak naik. "Kita duduk ya. Kita bicarakan baik-baik. Jangan begini, saya tidak tahu apa kesalahan saya kalau kamu terus berteriak." Romeo berucap lembut, sebisanya. Mencoba meredam api amarah yang meluap-luap pada diri Sabiya. Bagaimanapun, Sabiya adalah seorang perempuan yang mudah luluh jika diberi perhatian. "Lo ngomong apa sama Mama?" Romeo memejamkan matanya sejenak. Tidak mudah ternyata membuat Sabiya luluh. Perempuan itu masih berdiri di posisinya, dengan tatapan mata yang lebih tajam. "Saya akan menceritakan semuanya, tapi kita duduk dan jangan berteriak!" Romeo kembali mengajukan negosiasi. Yang langsung dituruti oleh Sabiya. Perempuan itu langsung menduduki salah satu sofa di ruangan Romeo. Masih dengan wajah yang tidak bersahabat. Tapi setidaknya ini lebih baik. Daripada membiarkan Sabiya terus berdiri, maka emosinya akan terus meluap. "Saya menceritakan semuanya, yang terjadi antara saya dan kamu. Kejadian tiga malam lalu, waktu saya menemukan kamu dalam keadaan mabuk. Dan akhirnya hal yang tidak kita harapkan terjadi. Sekaligus meminta maaf dan menjanjikan pertanggungjawaban. Saya akan menikahi kamu dalam waktu dekat karena orang tua kamu sudah menerima lamaran saya." Sabiya melotot tajam. "Lo apain gue malam itu ha?" "Bi, tanpa saya jelaskan kamu seharusnya tahu." Sabiya menarik napas dalam. Air matanya sudah bergerumul, siap terjun dalam sekali kedipan. Lagi-lagi Sabiya menyesali semuanya. Sabiya membenci keadaannya tiga hari lalu, sifat gegabahnya, pertemuannya dengan Romeo, dan Sabiya membenci dirinya sendiri. Dirinya yang terlampau bodoh sampai kehilangan sesuatu yang sangat berharga itu. "Maaf. Saya minta maaf atas semuanya." Romeo menarik Sabiya ke pelukannya. Tidak tega saat air mata itu luruh perlahan. Membuat pipi Sabiya basah, dengan isak tangis yang membuat hati Romeo ikut merasakan sakit. "Lo b******k!" "Iya saya tahu. Maaf Biya." Mendekap semakin erat. Membiarkan Sabiya melampiaskan rasa sakitnya. Dengan sebelah tangan yang mengusap kepala itu lembut. "Harusnya lo nggak jahat sama gue! Lo hancurin semuanya Romeo! Lo bikin hidup gue berantakan, rencana masa depan gue hancur gara-gara lo!" Romeo menulikan telinganya. Kalimat Sabiya memang tajam, menimbulkan rasa sakit di hatinya. Tapi Romeo mencoba maklum. Hati Sabiya jauh lebih sakit saat ini. Hanya mendekap lebih erat lagi. Membiarkan kalimat-kalimat tajam itu terus terucap. Tanpa Romeo sadari, sudut matanya berair. Ikut merasakan rasa sakit itu. Air matanya ikut luruh, mendampingi isak tangis Sabiya yang semakin terdengar jelas. Saya akan menggantikan rencana masa depan kamu dengan yang lebih baik Biya. Saya pastikan kamu bahagia. Maaf, Biya. Sekali lagi saya meminta maaf. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN