8 | Kamu Masih Marah?

2036 Kata
"Bi, Romeo nungguin di bawah." Sabiya membuka matanya, menerjap beberapa kali. Tapi selanjutnya tidak memberi respon apapun. Kembali menarik selimutnya untuk menutup seluruh tubuh sampai kepala. Belum siap menampakkan dirinya di hadapan Romeo. Sabiya masih membutuhkan waktu untuk menata hati dan emosi. Mama menghela napas panjang. Sudah semingguan ini Sabiya hanya mengurung diri di kamar. Tanpa melakukan apa-apa. Mama tidak ambil pusing awalnya. Mungkin Sabiya kelelahan, tahu betul putrinya itu mengambil dua beban sekaligus. Tapi lama-lama Mama khawatir juga. Romeo juga bukan sekali ini ke rumah. Sudah sejak kemarin-kemarin lelaki itu datang, tapi selalu dengan tanpa hasil. Sabiya tetap tidak mau menemuinya. Entah beralasan sudah tidur, sedang tidak enak badan, dan alasan lain yang lebih tidak masuk akal. Romeo juga sadar betul, Sabiya sedang menghindarinya. "Nggak mau ketemu lagi?" Gelengan kepala yang didapat. Mama mengambil duduk di samping ranjang. Sebagai seorang ibu, pasti Mama juga merasakan apa yang dirasakan putrinya. Terpukul itu sudah pasti. Bagaimanapun Sabiya masih memiliki impian di masa depannya nanti. Tapi mau bagaimana lagi jika sesuatu yang fatal itu sudah terjadi. "Kamu marahan sama Romeo?" Sabiya kembali menggeleng. Masih bersembunyi di balik selimut tebalnya. Sabiya tidak marah pada lelaki itu. Sabiya marah pada dirinya sendiri. "Terus kenapa begini? Masih mikirin hasil tesnya?" Sabiya tidak merespon. Tapi perempuan itu menangis di balik selimutnya. Kembali merasa bersalah, benci, marah, dan semua hal yang membuat kondisinya semakin memburuk. Sabiya tidak pernah selemah ini sebelumnya. Tapi entahlah, akhir-akhir ini Sabiya menjadi lebih sering menangis. Mama menghela napas. Ingin menyampaikan banyak hal yang mungkin luput dari pemikiran Sabiya. Jika hal itu tidak seharusnya diperiksakan. Kalau memang sudah pernah melakukannya ya sudah. Tapi Mama mencoba maklum dengan kondisi Sabiya. Romeo mengakui kesalahannya karena mengambil sesuatu milik Sabiya tanpa kesadaran Sabiya. Wajar jika Sabiya terpukul dan tidak bisa menerima begitu saja. Dan ya, berakhir dengan pemikiran bodohnya. "Mama nggak mau bicara panjang lebar. Mama cuma mau kasih tahu, perasaan sedih itu pasti ada saat kamu kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Tapi kamu nggak bisa terus-menerus memikirkan itu sampai seolah-olah kamu kehilangan semuanya. Sabiya tetap putri kebanggaan Mama. Putri Mama yang baik hati, penyayang, pintar. Sabiya tetap berharga untuk Mama dan Papa." Mama menghela napas panjang saat Sabiya masih di posisinya. "Ya udah kalau belum mau ketemu Romeo. Mama turun ya?" Sempat menepuk bahu Sabiya beberapa kali. Selanjutnya beranjak dari sana. Menemui Romeo yang masih duduk tenang di kursi ruang tamu. Lagi-lagi dengan hasil nol besar. Romeo kembali pulang tanpa mendapatkan apapun. *** Romeo tidak kembali ke kantor setelah dari rumah Sabiya. Lelaki itu justru pulang ke apartemen. Kecewa tentu saja. Sabiya lagi-lagi tidak mau menemuinya. Padahal Romeo ingin menyampaikan rencana mereka ke depannya. Tapi si perempuan justru masih betah menghindarinya. Kedatangannya berkali-kali ke rumah Sabiya tentu bukan tanpa alasan. Bunda menginginkan pertemuan dengan Sabiya. Ya, orang tua Romeo juga sudah tahu tentang hal yang terjadi antara Romeo dan Sabiya. Tiga hari lalu Bunda datang ke apartemennya. Tidak sengaja menemukan sebelah heels Sabiya yang tertinggal. Bunda langsung berspekulasi macam-macam. Saat itu juga Romeo menceritakan semuanya, tentangnya dan Sabiya. Bunda tentu saja marah-marah karena sikap tidak sopan Romeo. Bunda bahkan mengatainya, laki-laki tidak tahu diri yang mengambil kesempatan. Sudah jelas-jelas Sabiya dalam keadaan mabuk, tidak sadar. Tapi Romeo mengambil sesuatu yang sangat berharga itu. Karena itu Bunda memaksa Romeo untuk membawa Sabiya ke rumah keluarga. Ingin mengenal si perempuan lebih dekat. Biar bagaimanapun nantinya Sabiya akan menjadi anak mantu Bunda. Sekaligus meminta maaf atas kesalahan fatal yang Romeo lakukan. Bersandar nyaman di kepala sofa dengan sebelah tangan memegang sebuah kertas. Itu hasil pemeriksaan Sabiya yang dilakukan minggu lalu. Visum keperawanan. Hah! Romeo menghela napas sekali lagi. Rasa bersalahnya kembali hadir. Kenapa Sabiya harus senekad ini? Pergi ke dokter memeriksakan sesuatu yang sudah pasti membuat perempuan itu lebih terpukul. Kenapa tidak mempercayai ucapan Romeo? Jika saja perempuan itu langsung percaya, tidak akan ada aksi menghindarinya seperti ini. Tapi, Romeo juga tidak bisa menyalahkan aksi nekad itu. Jelas saja 'kan Sabiya tidak bisa mempercayainya begitu saja. Laki-laki tidak dikenal yang tiba-tiba mencuri sesuatu yang sangat berharga darinya. Bagaimana mungkin Sabiya akan begitu saja mengiyakan ucapan Romeo. Berat memang. Tapi ini baru awal. Romeo paham betul, dalam mendapatkan sesuatu yang sangat berharga, ia membutuhkan perjuangan. Mungkin saat ini Tuhan sedang mengujinya. Sabiya terlalu berharga untuk didapatkan dengan mudah. Dan setelah berhasil mendapatkan hati Sabiya nantinya, Romeo berjanji pada dirinya sendiri. Akan menjaga perempuan itu dengan sebaik-baiknya. *** Untuk beberapa saat Romeo dan Sabiya hanya saling diam. Menatap satu sama lain. Sabiya yang baru saja turun dari kamarnya di lantai dua. Tampil begitu cantik dengan dress berwarna hijau muda sebatas lutut. Perempuan itu juga menata rambutnya. Yang biasanya kening itu tertutup poni kali ini tidak. Romeo terus mengagumi wajah cantik itu dalam hati. Walaupun tidak bisa dipungkiri, mata bengkak Sabiya terlihat jelas. Apa perempuan itu menangis terlalu lama? Kenapa Sabiya memilih meluapkan kesedihannya sendiri? Romeo lebih suka jika perempuan itu datang padanya dan marah-marah. Dengan begitu Romeo akan merasa keberadaannya lebih diharapkan. Daripada membiarkan Sabiya menangis sendirian. Tanpa Romeo tahu, apa yang harus dilakukannya untuk membuat kepedihan itu menghilang perlahan. Mama dan Bunda memberi sedikit waktu untuk dua anak muda itu. Sekadar saling pandang. Sore ini, Bunda Romeo memaksa datang. Ingin menemui Sabiya. Sebelumnya memang Bunda mengharapkan Sabiya datang ke rumah. Tapi karena lagi-lagi Romeo gagal membujuk, akhirnya begini. Bunda yang datang berkunjung ke rumah Sabiya. "Tante," sapanya. Mengalihkan perhatiannya pada Bunda yang berdiri di samping Mama. Tersenyum lembut saat Sabiya menyapa dan menyalami tangannya. Hatinya tersentuh dengan tingkah sopan itu. Muncul amarah juga dalam hatinya saat berhadapan langsung dengan Sabiya seperti ini. Apa Romeo tidak punya otak sampai melukai hati perempuan lembut seperti Sabiya? Benar-benar anak itu! Belum juga mendapatkan amukan yang lebih brutal dari sang bunda. "Bunda, Sayang. Panggil Bunda," ucapnya lembut. Sebelah tangannya sudah sibuk mengusap lembut pipi Sabiya. Menimbulkan senyuman manis Sabiya. Mengagumi perempuan yang sebentar lagi akan menjadi anak mantunya. Ini perasaan antara marah dan bersyukur. Marah karena Romeo sudah bertindak seenaknya. Sampai melukai hati Sabiya sedalam itu. Mencuri sesuatu yang teramat berharga bagi seorang perempuan. Tapi Bunda juga bersyukur karena anaknya memilih perempuan baik seperti Sabiya. Walaupun cara yang digunakan tentu saja bukan cara yang benar. Sangat-sangat salah malah. Selama ini Ayah Romeo memang selalu menjodohkan Romeo dengan anak dari rekan bisnisnya. Dari banyaknya yang datang, tidak satu pun yang diiyakan hati Bunda. Merasa tidak suka, kurang sreg, dan macam-macam alasan lain. Perempuan-perempuan itu memang cantik, dari keluarga kaya, tapi sikap mereka kurang di mata Bunda. Terlalu mencari muka di hadapan Bunda dan Ayah. Bukan murni karena perilaku aslinya. Mereka juga terkesan kecentilan agar bisa mendapatkan hati Romeo. Walaupun hasilnya mengecewakan. Romeo si wajah tembok tidak pernah merespon mereka. Tapi setelah bertemu Sabiya dalam sekali tatap muka, Bunda sudah bisa menemukan kriteria menantu idamannya. Sabiya cantik, bukan cantik yang keterlaluan untuk menarik hati Romeo. Cantik yang Sabiya miliki murni. Sikap lembutnya yang penuh sopan santun. Dan sikap tegasnya karena menolak Romeo beberapa hari lalu. Membuktikan jika Sabiya perempuan baik yang menjaga harga dirinya. Tidak mudah luluh hanya karena kesanggupan Romeo untuk bertanggung jawab. Setelah Romeo datang membawa Bunda, Sabiya baru mau menampakkan dirinya lagi. Bukankah itu nilai plus dari seorang perempuan? Tanpa disadari oleh Romeo, sikap Sabiya beberapa waktu ke belakang adalah sebuah gertakan agar Romeo merealisasikan ucapannya. Bukan sekadar kesanggupan, tapi pembuktian. Dan Sabiya berhasil menggertak Romeo. Membuat hidup Romeo yang awalnya tidak pernah memikirkan orang lain, menjadi kepikiran sampai tidak fokus dalam pekerjaannya. Sabiya memang kehilangan sesuatu yang berharga itu karena kebodohan Romeo. Tapi perempuan ini tetap teguh menjaga harga dirinya. Bunda merasa tenang jika Sabiya nanti benar-benar menerima Romeo untuk menjadi suaminya. Walaupun pasti akan membutuhkan waktu untuk meyakinkan hati yang sudah tersakiti itu. Setelah berbincang singkat, ketiganya mulai aksi masak-masak ala perempuan. Meninggalkan Romeo di ruang tengah yang nyaris lumutan. Karena lelaki itu hanya sendirian. Papa Sabiya belum pulang. Dan tidak mungkin Romeo bergabung dengan para perempuan di dapur. Ini rencana Bunda untuk mendekatkan diri dengan Sabiya. Sekaligus membuat Sabiya merasa nyaman dengan keluarga Romeo. Sehingga pemikiran negatif seperti, Sabiya yang akan kesulitan beradaptasi dengan keluarga Romeo menghilang. Karena pada kenyataannya, Bunda sudah sangat setuju dengan adanya Sabiya. Satu-satunya perempuan yang mencuri restu Bunda dalam sekali tatap muka. Kegiatan tiga perempuan itu murni masak-masak sambil sesekali bercerita. Tanpa menyinggung hubungan Romeo dan Sabiya. Membiarkan Sabiya melupakan masalah yang terjadi di hari kemarin. Dan sepertinya apa yang Bunda rencanakan berhasil. Melalui aksi itu, Bunda bisa mendapatkan banyak informasi mengenai Sabiya. Perempuan itu masih mahasiswi semester akhir yang sedang magang dan mengerjakan Tugas Akhir. Lagi-lagi Bunda mengumpati Romeo dalam hati. Bisa-bisanya berbuat jahat pada perempuan yang pikirannya sedang bercabang. Bunda juga tahu jika Sabiya pintar memasak, rajin, penyayang, dan begitu menghormati orang tua. Terlihat jelas dari cara bicara dan bersikap pada mamanya. Merasa benar-benar lega karena perempuan seperti Sabiya yang nantinya akan bersanding dengan Romeo. Dengan begini Bunda tidak perlu mengkhawatirkan apapun. Anaknya akan disayangi dengan semestinya. "Mama dan Bunda duduk aja, biar Biya yang siapin semuanya ke meja makan," ucap perempuan itu. Kedua mama itu tersenyum lembut, tapi kemudian menggeleng. "Biya panggil Romeo aja. Biar Bunda dan Mama yang siapin semuanya, ya?" Sabiya ingin menolak itu. Jelas saja 'kan hubungan keduanya sedang merenggang. Atau lebih tepatnya Sabiya yang menghindari Romeo. Tapi merasa tidak enak hati jika menolak permintaan Bunda. Akhirnya dengan berat hati Sabiya mengangguk. Membuat dua mama itu kembali tersenyum lebar. Menghela napas sebelum memasuki ruang tengah. Sabiya hanya perlu menyuruh laki-laki itu ke ruang makan untuk makan bersama. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan Biya. Ayo, lakukan dalam sekali napas! Setelahnya langsung kembali ke dapur agar tidak ada interaksi berlebihan. Rencananya memang begitu. Tapi yang Sabiya lihat saat ini, Romeo yang menutup matanya erat dan bersandar di kepala kursi. Terlihat sangat tenang. Mungkin Romeo kebosanan sampai mengantuk dan ketiduran. Haruskah Sabiya membangunkan lelaki itu? Jawabannya tentu harus. Tidak mungkin membiarkan Romeo lagi-lagi ditinggalkan. Baiklah. Dengan ragu, Sabiya berjalan mendekat dan duduk di samping Romeo dengan gerakan hati-hati. Menelisik wajah tidur itu. Terlihat jelas raut kelelahan, ada kantung mata juga di sana. Mungkin pekerjaan kantor menumpuk menjadikan Romeo kurang tidur akhir-akhir ini. Padahal yang terjadi sebenarnya lelaki itu kurang tidur karena memikirkan Sabiya. "Pak bangun!" Romeo tidak merespon. Tidak ada tanda-tanda lelaki itu akan bangun. Mungkin karena suara Sabiya yang terlalu pelan. "Pak Rom bangun, ayo makan bareng. Udah ditunggu Bunda dan Mama." Hasilnya tetap sama. Romeo tidak bangun juga. Sabiya menggigit bibir bawahnya. Dengan gerakan ragu, Sabiya menepuk pipi Romeo beberapa kali. Setelah tepukan ketiga, lelaki itu menerjapkan matanya beberapa kali. Saat sepasang mata itu terbuka lebar dengan pandangan jelas, Sabiya buru-buru menarik tangannya dan beranjak dari duduknya. "Bapak langsung ke dapur aja, kita makan bareng," ucapnya tanpa menatap mata Romeo. Buru-buru berbalik, berniat meninggalkan Romeo. Tapi gerakan itu kalah cepat. Romeo sudah terlebih dahulu meraih sebelah tangannya. "Bi, kamu masih marah?" Sabiya hanya diam. Tidak memberi respon dan tidak menatap Romeo. Posisinya saat ini Romeo yang masih duduk, dan Sabiya yang berdiri membelakanginya, dengan tangan mereka yang saling bertautan. Helaan napas panjang. Sikap Sabiya yang dingin sudah menunjukkan dengan jelas jika perempuan itu masih marah. Enggan berbicara dengannya. Romeo beranjak, mengarahkan Sabiya agar berbalik ke arahnya. Menatap mata cantik itu yang masih enggan bertatapan dengannya. "Tidak masalah. Kamu boleh marah selama apapun kamu mau. Asal janjikan satu hal, tetap baik-baik saja Sabiya," ucapnya lembut. Sabiya refleks mengangkat wajahnya. Saling berbalas tatap. Detik itu juga dua jantung yang berada di tempat berbeda kembali berdebar-debar. Mengisyaratkan sebuah perasaan baru yang perlahan tumbuh di antara keduanya. "Jangan habiskan waktu kamu untuk memikirkan sesuatu yang menyakitkan. Kamu harus bahagia." Sebelah tangan itu terangkat. Mengusap lembut lingkaran hitam di bawah mata Sabiya. Selanjutnya, dengan berani Romeo mendekat. Memberikan ciuman lembut di kening Sabiya. Membuat desiran di diri masing-masing semakin terasa. Satu yang aneh dari diri Sabiya. Perempuan itu tidak menolak dengan cara mendorong Romeo menjauh. Justru memejamkan matanya erat. Menikmati rasa lembut dan hangat di keningnya. Sabiya juga tidak tahu, ia hanya merasa nyaman dengan perlakuan Romeo padanya. Berharap ini akan menjadi awal yang baik untuk keduanya. Kesalahan di hari kemarin memang tidak bisa dilupakan. Tapi setidaknya Romeo bisa memperbaikinya, menggantikan dengan kebahagiaan baru. Yang nantinya, di masa depan, saat keduanya mengingat kesalahan itu. Hanya ada ucapan syukur yang terucap. Lantaran satu kesalahan fatal, keduanya bisa hidup bahagia bersama. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN