Part 1 - Rutinitas
Dua tahun kemudian.
"Papa! Bantu mama kejar anak-anak," teriakan menggema dalam rumah yang bisa di bilang megah.
Seseorang yang di panggil Papa itu terlonjak kaget. Terbangun dari tidur siang yang damai. Masih memandangi sekitar dengan mata yang belum sepenuhnya jelas. Mungkin nyawanya belum terkumpul. Atau masih ada yang tertinggal dalam mimpi.
"Papa! huhuhuhuhu," teriakan yang di akhiri kepasrahan terdengar kembali. Belum ada lima menit dari teriakan pertama.
Dengan tergesa, pria yang nyawanya entah sudah penuh atau belum itu berlari menuruni tangga. Menuju ruang keluarga. Dimana suara teriakan itu terdengar.
Terlihat empat orang di sana. Tiga di antaranya balita lelaki dengan tubuh montok sedang berlari-lari memutari ruang keluarga yang lumayan luas. Dan satu orang tersisa, seorang wanita yang sebenarnya masih muda terduduk di tengah ruangan sambil mulutnya terus terucap kata-kata yang bersifat membujuk. Membujuk anak-anaknya untuk mandi.
Pemuda itu, Revan. Paham akan kondisi yang tengah terjadi di sini. Selalu seperti ini sejak triple J mulai belajar merangkak, jalan, dan bisa berlari. Susah bila di ajak mandi. Hanya bermain yang ada di pikiran mereka.
"Anak papa, kok kalian buat Mama sedih sih?" Tanya Revan spontan menghentikan aktivitas putranya.
"Mama tanapa cedih?" Tak menjawab pertanyaan sang ayah, si bungsu malah mendekat dan bertanya langsung penyebab ibunya bersedih. Uh, ini karena kalian sulit untuk mandi.
"Kalian gak mau mandi sih," celetuk Revan.
"Ata capa, papa?" (Kata siapa, papa?) bela Justin.
"Lah udah jelas kok. Udah waktunya mandi malah kalian main terus," ucap Revan santai.
"Yaudah, ita andi. Mama ngan cedih agi ya," (yaudah, kita mandi. Mama jangan sedih lagi ya) si tengah yang sedari tadi diam mengangkat suara. Triple J mendekati Shilla dan memeluknya sayang. Dan jangan lupakan kecupan-kecupan basah yang di berikan untuk Shilla.
"Ayo semua. Kita mandi," ajak Shilla semangat. Keputusasaan tadi berubah menjadi senyuman.
"Tama papa." (sama papa) Revan menghela nafas. Bukan karena malas atau apa. Namun, ketiga putranya itu akan sangat menjengkelkan bila sedang mandi. Jika di perintah mandi saja sangat sulit. Tapi ketika sudah berinteraksi langsung dengan air, akan teramat sulit untuk menyudahinya. Dan selalu berakhir dengan tangisan. Dan lagi, tangisan itu akan berhenti jika di ajak bermain kuda-kudaan. Sang papa tercintalah yang memegang peran sebagai kuda. Kuda yang di tunggangi tiga koboi sekaligus. Poor you Revan. Untung saja, masih muda. Jika tidak, encok tentu menghampirinya.
"Let's go boys." Revan berkata seceria dan sesemangat mungkin. Dalam hati, menguatkan diri. Siap menghadapi triple J yang sedang dalam masa aktif-aktifnya.
Mereka berjalan riang menaiki tangga dimana kamar triple J berada.
Sejak pesta pernikahan di gelar, seminggu setelahnya Revan memboyong keluarga kecilnya menempati rumah baru. Rumah pemberian orang tua. Sebagai hadiah pernikahan, katanya.
Dan di sinilah mereka. Menempati rumah mewah dua lantai dengan halaman luas di depan dan belakang rumah.
Sudah lebih dari dua tahun mereka tinggal di sini. Memilih mandiri. Usia triple J kini 3 tahun lebih. Sifat aktifnya terkadang membuat kedua orang tua mudanya itu kuwalahan. Apalagi dengan pertanyaan-pertanyaan polos yang terkadang menjebak.
Tak terhitung pertengkaran-pertengkaran kecil yang terjadi dalam rumah tangga ini. Tapi, semua dapat terselesaikan dengan jalan damai.
Lebih dari dua tahun belakangan ini, Shilla kembali melanjutkan pendidikannya yang sempat tertunda. Akhirnya Shilla sudah resmi menyandang status sarjana.
Revan, pria itu kini menjabat sebagai CEO di perusahaan ayahnya. Kecerdasannya menjadikan hanya dalam waktu singkat bisa menduduki posisi sekarang ini. Pekerjaan sekarang inilah yang memaksa menghabiskan waktu lebih banyak di luar rumah.
Waktu bersama keluarga tersita. Tapi, jika hari libur tiba, Ia akan menghabiskan waktu seharian bersama keluarga. Entah di luar rumah atau sekedar bermain di rumah saja. Yang jelas, Revan tak ingin anak-anak nya merasa kurang kasih sayang dan perhatian seorang ayah.
Jika Revan tak di rumah, yang mengurus triple J tentu saja Shilla. Namun di bantu dengan satu asisten rumah tangga. Hanya sesekali saja. Selebihnya mereka melakukan sendiri. Shilla ingin mendidik anak-anaknya sendiri. Lagian, tak jauh dari sini, berdiri rumah keluarga Revan. Mereka hampir setiap hari mampir. Entah ibu, ayah, ataupun kedua adiknya.
Shilla bahagia. Hidup dengan empat pria yang disayanginya. Mengarungi bahtera rumah tangga yang terasa kompleks. Ada manis dan ada pula pahit yang menyertai. Tentu saja lebih banyak manisnya.
"Mama, Ayden dah angi," (mama, Jayden udah wangi) pekikan itu membangunkan Shilla dari bayang-bayang masa yang telah Ia lewati. Melanjutkan lagi kegiatan memasaknya.
"Tin uga." (Justin juga) Justin juga memamerkan dirinya yang telah wangi.
"Vin angi mama." (Jevin wangi mama) Jevin tak ingin kalah dari kedua kakaknya.
"wah iya, anak mama udah wangi-wangi banget." Shilla jongkok dan menciumi tubuh anaknya yang benar-benar wangi khas bayi.
"Siapa dulu yang mandiin, papa gituloh," celetuk Revan menghampiri mereka. Mendudukan dirinya di kursi tinggi yang dekat dengan meja dapur.
Sejak menikah, sikap dinginnya menguap. Dan menjadi pribadi yang hangat. Entah kemana perginya. Mungkin ingin mencontohkan yang baik-baik pada buah hatinya.
"Mama, Vin mau mamam," (mama, Jevin mau makan) ucap Jevin tak mempedulikan perkataan ayahnya.
"Sayangnya mama pada laper yah?" Tanya Shilla menatap ketiga putranya bergantian.
Triple J mengangguk dengan semangat bersamaan. Oh, bukan hanya triple J ternyata. Ayahnya juga ikut menganggukan kepala. Tak kalah semangat dari sang anak.
"Kalo gitu, kalian ke ruang makan dulu yah."
Shilla menghidangkan menu makan malam ini pada meja. Makan malam pada waktu sore lebih tepatnya. Terlihat Revan mendudukan triple J satu per satu pada kursi khusus bayi.
Menyendokan makanan untuk suami tercinta. Dan menyiapkan makanan bayi untuk ketiga bayi besarnya. Lalu baru untuk dirinya sendiri. Tak perlu disuapi. Triple J sudah di biasakan makan sendiri sejak usia tiga tahun. Walau akan selalu berantakan. Tapi, membiasakan hal-hal baik seperti itu tak masalahkan?
******
Jam terus bergerak maju. Tak peduli akan ada yang tertinggal. Tak peduli akan di caci. Maupun di benci. Seperti inilah tugasnya. Memajukan waktu tanpa pernah menengok kebelakang kembali.
Jarum kecil berada pada pertengahan angka empat dan lima. Jarum panjang tepat berada pada angka enam. Jam setengah lima.
Sang surya belum menampakan diri sepenuhnya. Sebagian saja belum. Hanya mengintip sedikit untuk pemberi tanda bahwa hari menjelang pagi.
Dua orang berbeda gender itu masih terus memejamkan mata. Memilih bergelung dengan selimut tebal dan halus tanpa mempedulikan apapun.
Awh
Rintihan suara pria terdengar. Kalian tau karena apa? Bukan seperti yang kalian pikirkan. Terutama bagi para penikmat film dewasa dengan penuh adegan itu didalamnya.
Karena ketiga bocah lelaki yang menduduki bagian perutnya. Dan melompat-lompat kegirangan.
"Ya Tuhan, kalian mengganggu tidur papa boys," ucapnya dengan suara serak. Suara orang baru bangun tidur.
Yang menjadi tersangka terus bergerak disertai tawa. Tanpa rasa bersalah sedikitpun.
"Morning boys." Wanita yang tertidur di sampingnya terbangun.
Tersenyum melihat yang ada di hadapannya. Sungguh alarm paling ampuh. Ketiga putranya.
"Moning Mama ntik," (morning mama cantik) jawab mereka bersamaan dan dengan bersamaan pula menerjang tubuh Shilla. Memberi kecupan selamat pagi. Pagi yang indah.
"Papa gak?" Tanya Revan memelas.
"Moning Papa." (morning papa) Mereka ganti menyerbu Revan dengan ciuman-ciuman kecil.
"Hari apa ini?" Revan bertanya dengan mata yang masih tertutup.
"Cenin papa," (senin papa) jawab Justin.
"Bukan." Revan menggeleng.
"Celaca?" (Selasa?)
"Amis?" (Kamis?)
"Labu?" (Rabu?)
Revan terus menggelengkan kepala. Triple J tampak berpikir keras. Sedang Shilla telah bangkit dan bersiap mandi.
"Minggu, sayang," sahut Shilla, merasa kasihan melihat sang anak yang berfikir keras.
"Inggu, Papa," (Minggu, papa) triple J memekik bersamaan.
Revan memutar bola matanya malas.
"Jadwal kita di hari Minggu pagi adalah?" Tanya nya lagi.
"Lali pagi," (lari pagi) kompak mereka.
"Pinter anak papa."
Terdengar alunan merdu. Pemanggil para umat muslim untuk menghadap Tuhan. Waktu Subuh tiba. Mereka bergegas menunaikan kewajibannya. Dengan Revan menjadi imam.
Setelahnya, bersiap dengan pakaian olahraga dan perangkatnya -sepatu dan perlengkapan lainnya-. Seperti hari Minggu sebelumnya. Mereka menyempatkan berolahraga walau sekedar berjalan menuju taman. Dan mengeluarkan sedikit uang untuk makan bubur langganan.
Shilla berjalan di depan, menggandeng tangan mungil Jayden. Dan Revan berjalan di belakangnya dengan dua tangan mungil di tangan kanan dan kiri -tangan Justin dan Jevin-. Kenapa tak beriringan? Ya iya lah. Jika berjejer, bisa makan jalan. Mereka cukup tau diri dengan itu. Jika jalan ini milik nenek moyang mereka mungkin akan berbeda lagi jadinya.
Sampainya di taman dekat rumah, sudah banyak yang singgah. Ada keluarga kecil seperti mereka. Remaja dengan teman atau pacar. Dan para lansia yang berjalan pelan menggunakan tongkat ataupun kursi roda.
Di taman ini terdapat tempat bermain anak, sarana olahraga dan sarana lain yang mendukung. Lengkap sudah. Penjual yang berjejer juga menambah minat orang untuk berkunjung.
"Papa, mamam," pinta Jevin.
"Mamam bubur Mang Asep?"
Jevin hanya mengangguk dan mengeratkan kembali pelukan pada leher Revan.
"Kita makan dulu yuk," ajak Revan pada Shilla dan double J yang sedang asik bermain.
"Mang, biasa yah," ucap Revan pada mang Asep -penjual bubur ayam langganannya-
"Siap Den."
Menghabiskan makan milik sendiri dan menyuapi triple J bergantian. Jika di rumah akan makan sendiri karena ada kursi bayi yang memungkinkan. Sedang disini, menjangkau meja saja tidak, bagaimana bisa makan sendiri.
Kurang lebih pukul tujuh mereka menyudahi acara rutin di Minggu pagi dan berjalan menuju rumah.
Seperti inilah kegiatan mereka beberapa tahun belakangan. Di mulai pada saat di persatukan dalam sebuah ikatan dan janji suci.