Part 2 - Kantor Revan

1287 Kata
Hari Senin, hari padat bagi semua. Entah pelajar ataupun pekerja. Jadwal Shilla untuk belajar hari ini kosong. Dosen pengajarnya berhalangan hadir. Ada acara keluarga, katanya. Untuk informasi, Shilla kini tengah mengambil strata dua di kampus yang sama. Walau kedepannya mungkin ijazah tak digunakan, tapi tak ada salahnya kan dengan menuntut ilmu setinggi-tingginya? Shilla juga ingin berpendidikan dan berilmu tinggi, agar dirinya mampu mendidik ketiga anaknya dengan baik. Lagi pula, Revan juga tak melarang dan malah seratus persen mendukung keinginan Shilla. "Baby J," panggil Shilla pada triple J yang tengah asik menonton televisi. "Yes mama," sahut mereka cepat. "Ke kantor Papa yuk, nganter makan siang," ajaknya Shilla. Triple J mengangguk-anggukan kepala semangat. Tak sabar ingin bertemu sang Papa. "Kalo gitu ayo ganti baju dulu." Berjalan beriringan menaiki tangga. Shilla paling belakang. Untuk berjaga-jaga apabila ada hal yang tak di inginkan terjadi. Semua siap. Shilla mengenakan dress simple sepanjang lutut, berwarna pink dan menggunakan flatshoes senada. Terlihat seperti remaja biasa, bukan seorang ibu dari anak tiga. Triple J mengenakan kaos dan celana jeans selutut. Sepatu sport semodel, beda warna. Jalanan tak terlalu macet. Mungkin karena masih jam 10.30. Hanya 30 menit waktu yang di perlukan untuk menginjak lantai dasar gedung bertingkat tinggi ini. "Makasih Pak Rat. Bapak pulang dulu aja deh," ucap Shilla pada supir pribadinya -pak Ratno- "Acih Pak," triple J menirukan apa yang mamanya ucapkan. Tak semua, hanya kata terimakasih saja. Shilla menuntun ketiga jagoannya turun. Berjalan beriringan menuju meja resepsionis. "Permisi Mbak. Kak Revan ada?" Tanya nya sopan. Ini kunjungan kali pertama mereka. Mengetahui alamat ini saja dari pak Ratno. Sebelumnya, Shilla selalu enggan bila di ajak Revan. Rasanya malas. "Pak Revan?" Ulang nya. "Iya, Mbak Dewi." Terlihat nama pada name tag yang terpasang. "Sudah buat janji?" "Emang harus buat janji yah kalo mau ketemu su-." "Pak Revan itu orang sibuk yah Dek. Gak bisa seenaknya aja minta ketemu," potong wanita bernama Dewi tersebut. "Yah." Shilla menghela nafas pasrah. Bingung harus bagaimana. Jika pulang, sayang makanan yang sudah di bungkus dan kasihan pada triple J yang pasti akan kecewa karena tak jadi bertemu ayahnya. "Mama, ama anget cih. Evin au temu Papa," (mama, lama banget sih. Jevin mau ketemu papa) rajuk Jevin. "Bentar sayang." "Mama? Papa? Siapa yang di maksud papa itu?" Tanya Dewi penasaran. "Eh, papa? Papa mereka lah Mbak," jawab Shilla sekenanya. "Iya, papa mereka siapa?" "Kak Revan lah." "Jangan main-main yah. Pak Revan itu masih muda. Dua puluh lima tahun. Masa punya anak yang umurnya lima tahunan sih?" Dewi merasa ucapan Shilla hanya omong kosong belaka. "Tapi emang kenyataannya. Mau di apain lagi Mbak?" Shilla masih bersabar dengan terus meladeni pertanyaan tak bermutu wanita berbedak tebal di hadapannya. Terlalu kepo dan ikut campur. "Heh anak kecil. Jangan coba-coba bohong yah!" Sentaknya marah. Beberapa karyawan melirik mereka. "Ante! Angan entak mama Jevin!!" (Tante! Jangan bentak mama Jevin) teriak Jevin marah. "Apa lo bocah ingusan? Berani sama gue?!" Dewi makin berani. Tak terima dengan kenyataan bahwa suami impiannya telah beristri dan beranak tiga. Jevin bersembunyi di balik kaki Shilla. Tubuhnya bergetar. Baru kali ini dia di bentak. "Angan malahin adik ami! Dasal ante jelek!" (jangan marahin adik kami! Dasar tante jelek) marah Justin membela adiknya. Shilla mengangkat tubuh bergetar Jevin ke gendongannya. Menenangkan si bungsu dari rasa terkejut dan takutnya. "Security, tolong amankan mereka," teriak Dewi. Security datang dan menggiring mereka keluar gedung. Hal yang mudah dilakukan kini adalah menghubungi Revan. Tapi apalah daya, Shilla lupa tak membawa ponselnya. Ingatkan Shilla untuk selalu membawa benda persegi tetamat penting itu. "Ada apa ini?" Tanya suara maskulin yang sudah tak asing lagi untuk Shilla. "Ada orang yang mengaku sebagai istri dan anak-anak Bapak," jawab Dewi dengan centil. Tampangnya penuh percaya diri. "Terus?" Revan bertanya. "Udah saya usir la-," ucapan Dewi terpotong. "Papa..." Jayden memenggil sang papa dan berlari ke arah Revan. "Itu Pak yang mengaku jadi istri dan anak Bapak," tunjuk Dewi mengarah pada seorang wanita dan tiga balita kecil yang amat Revan kenal dan sayang. "Hm... Dewi. Anda sudah bekerja di sini berapa lama?" Tanya Revan penuh tatapan mengintimidasi. Posisinya sudah menggendong Jayden. "Saya sudah delapan bulan Pak." Dewi menjawab dengan penuh antusias. Tak menyadari ada aura berbeda yang di berikan bos nya. "Kalau begitu, cukup delapan bulan saja Anda bekerja di sini!" tegas Revan. "Maksudnya Pak?" "Anda di pecat," suara datar Revan akhirnya keluar. Suara yang tak pernah lagi Ia gunakan belakangan ini. "Ke ke kenapa... bisa Pak? Emang saya salah apa?" Dewi terbata-bata. "Karena mereka memang istri dan anak-anak saya," Revan menekankan setiap kata yang di ucapkan. Hanya beberapa orang yang mengetahui status Revan. Petinggi-petinggi perusahaan. Bukan maksud untuk menyembunyikan status. Tapi, Revan yang terlalu cuek. Sampai tak menyadari bahwa informasi itu penting. Mendekat ke arah Shilla dan meraih Jevin yang menangis dalam gendongannya. Revan menggendong Jayden dan Jevin sekaligus. Setelah sebelumnya mengecup kening Shilla dan pipi Justin. Karyawan yang melihat membulatkan mulutnya tak percaya. Pemimpin muda yang menjadi incaran hampir seluruh karyawati kantor ternyata telah memiliki istri dan anak. "Silakan kemasi barang bawaan kamu dan pintu keluar ada di sana," ucap Revan dingin. Dewi tak membantah. Lebih tepatnya tak berani membantah. Wajah atasannya itu sudab terlalu keruh untuk di ajak berkompromi. "Dan kalian, kembali bekerja!" ucapnya tegas pada pegawai lain yang mencuri-curi pandang kearah dirinya. Berlalu menuju ruang pribadinya dengan terus menanggapi celotehan triple J. Jevin yang tadi menangis pun sudah kembali tertawa. Anak kecil memang seperti itu kan? Revan sebagai bos berbeda jauh dengan Revan sebagai ayah dan suami. Jika di kantor hanya datar dan dingin. Di rumah hangat dan terlampau konyol. "Papa, ita wain mamam loh," (papa, kita bawain makan loh) ucap Justin yang berada dalam gendongan Shilla. Jika satu di gendong, yang lain juga. "Wah, mamam apa nih?" Revan pura-pura mengintip plastik yang dibawa Shilla. "Nda tau Papa," ucapan polos Justin menerbitkan senyum kedua orang tuanya. Revan menekan angka 27. Masih ada beberapa lantai lagi di atasnya. Wow, betapa tingginya gedung perkantoran ini. Ting "Selamat siang Pak," sapa sekretaris Revan sopan. Matanya melirik penasaran. "Siang," jawabnya singkat, padat, dan jelas. "Ma, kamu bawa makan apa?" Tanya Revan. Amarah yang tadi meledak-ledak sudah hilang. "Aku bawa sayur asem, ayam goreng, tempe goreng, sambal sama lalapan," ucap Shilla. Membuka satu per satu tempat makan yang ada. "Seger nih." Revan hendak menyendokan nasi pada piring sebelum tangan Shilla memukul tangannya agak keras. "Cuci tangan dulu." Revan bangkit menuju kamar mandi yang berada dalam ruangannya tanpa protes. Harus memberikan contoh yang baik bagi putranya. Ingat? "Sekarang berdo'a dulu," tuntun Revan. Memakan makanan dengan lahap. Diselingi canda tawa yang terus tercipta. Seolah kejadian tadi tak pernah terjadi. "Papa, nti hali minggu ita pelgi ke bun atang yah," (papa, nanti hari minggu kita pergi ke kebun binatang yah) pinta si bungsu. "Emang kesana mau apa?" "Au iat om acan, papa." (mau liat om macan, papa) Dua orang dewasa dalam ruang tersebut tercengang. Bagaimana mungkin sang putra memanggil macan dengan sebutan 'om'? Oh, pelajaran dari mana lagi itu? "Ya Papa, Aden au temu tante jelapah." (iya papa, Jayden mau ketemu tante jerapah) Dan ini? Tante? "Kalo Justin mau ketemu siapa?" "Au temu kakek golila, papa." (mau ketemu kakek gorila, papa) Kakek? Apakah ada nenek, kakak, atau bahkan ayah dan ibu? "Oke, hari minggu kita ke kebun binatang," putus Revan. "Yeay. Papa baik," pekik mereka bersamaan. Meloncatn-loncat kegirangan. Seperti tak pernah pergi ke kebun binatang saja. "Kalo capek ya di undur aja Pa. Kamu belakangan ini kurang istirahat tau," ujar Shilla penuh perhatian. "Kalo untuk kamu dan anak-anak, gak ada kata capek Ma." Blush Revan semakin romantis dari hari ke hari. Selalu memberikan hal-hal kecil yang malah amat berarti. "Papa mah, gombal melulu." "Tapi, mama suka kan?" Goda Revan menaik turunkan alisnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN