04 - C72

1979 Kata
Zeth dibangunkan oleh sinar matahari yang menembus gorden jendela kamarnya. Kepalanya masih berdenyut sakit mengingat kejadian semalam. Potongan memori yang selalu membuat kepalanya terasa terbelah ternyata memang pernah terjadi. Kemudian mimpinya selama ini … apa mimpi itu memperlihatkan apa yang dialami oleh gadis itu? Ia memijat pelan keningnya, berusaha untuk menghilangkan denyutan pelan yang ada di sana. Setelah pusingnya sedikit menghilang, ia bangun dari kasurnya dan berjalan menuju kamar mandi, menyiapkan dirinya untuk penyuntikan anti-virus hari ini. Setelah membasuh wajah, gosok gigi dan mengganti pakaian, ia turun ke lantai bawah untuk sarapan. Dengan cepat ia menghabiskannya, mencuci piring bekas yang dipakainya, menyapa singkat Paman Josh dan Bibi Et yang sedang menyiram tanaman di kebun kecil depan rumah mereka, lalu berangkat menuju alun-alun kota menggunakan sepedanya. . . . . Setelah kurang lebih dua puluh menit mengendarai sepeda, akhirnya alun-alun pusat kota mulai terlihat. Ada lima gerbang besar dengan simbol pusat kota, anak panah dan palu besar yang saling menyilang berbentuk huruf X, lalu di atasnya terdapat gambar setengah bulan, dan matahari di bagian lainnya. Sudah banyak orang yang sampai ke pusat kota, akhirnya ia memilih untuk meninggalkan sepedanya di dekat air mancur yang sudah lama tidak mengeluarkan air. Zeth mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya, mencoba untuk mencari Elen, Erik maupun Will. Mungkin mereka sudah berbaris untuk disuntik... pikirnya. Zeth berjalan beberapa menit sebelum akhirnya ia menemukan antrian untuk penyuntikan anti-virus. Antrian itu terbagi menjadi lima, masing-masing masuk ke dalam gerbang yang berbeda. Di setiap gerbang, ada petugas keamanan dengan pakaian berwarna hitam pekat. Wajahnya tertutup pelindung kepala, yang membuat Zeth tidak bisa melihat wajahnya. Setelah cukup lama menunggu, akhirnya giliran Zeth tiba. Ia mendapat sebuah kertas dengan tulisan C72—sepertinya ini nomor antrian. Ia kembali mengikuti arus antrian, pada pos selanjutnya petugas lainnya memberi cap pada lengan Zeth dengan lambang pusat kota. Terlihat seperti tato yang bisa dihapus. Penjaga di pos ketiga memeriksa dengan teliti lambang yang baru saja ia dapatkan di pos sebelumnya, kemudian ia menutupinya dengan kain basah yang hangat, lalu kain itu kembali dicap dengan lambang pusat kota. Penjaga selanjutnya menarik kain tadi, lalu menyuntikkan sesuatu—pasti anti-virus—di tengah-tengah cap itu. Anti-virus itu terasa panas, Zeth bisa merasakan kalau anti-virus itu mulai mengalir ke seluruh tubuhnya. Di pos terakhir, seorang penjaga mengambil nomer miliknya. Penjaga itu menarik telunjuk Zeth, menusuknya dengan sesuatu yang tajam sampai mengeluarkan darah, lalu memasukkannya ke dalam sebuah tabung kaca yang kecil. Tidak lupa penjaga itu mengambil nomor antrian miliknya. Penjaga itu memberi Zeth sebuah plester untuk menghentikan darahnya, kemudian menyuruhnya untuk pergi. Selesai? Apa hanya itu? tanya Zeth dalam hati. Zeth menekan plester yang sudah menempel di telunjuknya sambil berjalan menuju air mancur. “Benar, kan? Aku tahu ini sepeda miliknya!” sahut seseorang yang tidak asing di telinga Zeth. Ia melihat Elen, tersenyum sambil melambaikan tangannya pada Zeth. Di sampingnya, ada Erik dan Will. "Zeth! Kau pasti telat bangun," kata Will tersenyum lebar padanya. Erik hanya mengangkat kedua bahunya. "Bukankah dia memang pemalas?" Will terkekeh. "Semuanya sudah disuntik anti-virus, bukan? Ayo kita kembali." "Tapi aku baru saja selesai! Setidaknya aku ingin istirahat sebentar," protes Zeth, masih merasakan anti-virus yang tersebar di seluruh tubuhnya. Badannya terasa panas. "Ah ayolah. Kau tidak selemah itu," kata Erik sambil menepuk bahu Zeth, "yang paling terakhir sampai desa harus membelikan yang lain roti milik Paman Tom selama satu minggu!” Erik kemudian berlari ke kumpulan sepeda, dan mengambil salah satu yang pasti miliknya. Will terkesiap. "Hei! Itu curang!" katanya sambil mengambil cepat-cepat sepedanya. Elen tertawa. "Sialnya, aku tidak bawa sepeda." Zeth mengangkat kedua alisnya. "Kau berjalan kaki ke sini? Bukankah jaraknya cukup jauh?" "Tidak kok, aku pergi dengan tetanggaku juga," jawab Elen. Zeth mendesah sambil menggaruk kepalanya. "Kenapa kau tidak bilang padaku? Kita bisa pergi bersama. Sebentar, biar aku ambil sepedaku terlebih dahulu." Dengan cepat Zeth mengambil sepedanya, lalu membawanya kembali ke dekat Elen. "Ayo naik. Kita susul Erik dan Will." Elen tersenyum kemudian duduk di bangku kecil yang ada di bagian belakang sepeda Zeth. "Inilah alasanku kenapa aku tidak membawa sepedaku," katanya sambil tertawa kecil. Zeth tersenyum mendengarnya. Kemudian mulai mengayuh pedal sepedanya menyusul Erik dan Will. . . . . Tentu saja Zeth dan Elen yang terakhir sampai di desa. Dengan erangan pelan, Zeth terpaksa menerima hukuman untuk membelikkan Erik dan yang lainnya roti milik Paman Tom. "Aku ingin roti lapis," kata Erik singkat. "Aku roti keju!" sahut Will semangat. "Ah, aku juga roti keju,” Elen tersenyum sambil mengatakannya. Zeth mengerutkan keningnya. "Bukankah kau juga terlambat?" Elen tertawa. "Aku tidak ikut balapan, tentunya. Tidak membawa sepedaku," katanya sambil mengangkat kedua tangannya. Erik dan Will terkekeh pelan. Dengan desahan pelan tetapi menahan senyumannya, Zeth berjalan menuju toko kecil milik Paman Tom. Sebelum ia berjalan menjauh, Erik menyusul Zeth dan mulai berjalan di sampingnya. "Ada apa? Pesanan yang sudah dipesan tidak boleh diganti," kata Zeth singkat sambil tersenyum. Erik ikut tersenyum. "Jika tidak boleh diganti, apa boleh ditambah?" Zeth meninju pelan bahu Erik. "Nanti akan kubelikan lebih banyak jika aku sudah menghasilkan uang sendiri." Erik tertawa pelan sambil mengusap bahunya. "Begitu ya ... Kau akan mencari pekerjaan besok?" Zeth mengangguk membalasnya. "Mau kutemani?" "Elen akan menemaniku besok," balas Zeth singkat. Erik menganggukkan kepalanya sambil bergumam pelan. "Kau tentu serius dengan Elen, 'kan?" Zeth menaikkan sebelah alisnya. "Tentu. Kenapa?" "Kau tidak akan meninggalkannya?" "Tidak akan. Kau tahu aku menyayanginya." Erik mengangguk puas kemudian meninju pelan bahu Zeth. "Tentu aku tahu. Jangan lupa pada kami juga, ya? Aku dan Will akan selalu menjadi temanmu." Zeth mengerutkan keningnya. "Tumben sekali kau bicara hal yang membuatku geli seperti itu." Erik kembali meninju bahu Zeth, kali ini dengan kencang. Zeth mengelus bahunya sambil tertawa karena reaksi Erik. Beberapa saat kemudian, mereka berdua saling menceritakan kebiasaan buruk Will. . . Saat hari mulai sore, Zeth dan yang lainnya berhenti bermain. Lengannya masih terasa panas di bagian yang disuntik oleh anti-virus, bahkan kepalanya mulai terasa sakit. Ia berjalan menuju Elen yang sedang duduk di pinggir lapangan basket. "Hei, mau jalan-jalan sebentar sebelum matahari terbenam?" Elen mengangguk, lalu ia berdiri. "Ayo.. kita jalan-jalan," katanya, sambil menggenggam tangan Zeth. "Kau ... kenapa? Wajahmu terlihat pucat. Apa kau ingin langsung pulang?" "Tidak apa-apa," jawab Zeth pelan. Mengelus lengannya yang berdenyut pelan. "Kalau begitu, ayo." . . . . Masih dengan sepeda yang sama, mereka menuju tempat rahasia mereka. Hari ini matahari terbenam terasa lebih lama dari biasanya, angin yang menerpa wajah mereka terasa hangat dan lembut. Kali ini rambut pirang Elen dikuncir kuda. Zeth memain-mainkan ujungnya, lalu mengelus kepalanya. Langit mulai berubah menjadi jingga lembut, awan-awan tipis yang menyebar berwarna ungu berarak perlahan. "Kira-kira pekerjaan apa yang cocok untukmu, ya?" tanya Elen sambil menyandarkan punggungnya pada Zeth Zeth melihat langit yang mulai gelap sambil memikirkan kemampuannya. "Hmm ... Aku masi belum tahu. Untuk saat ini, mungkin aku akan coba untuk jadi pemburu.” "Pemburu? Untuk mencari daging dan menjualnya di pasar desa? Bukankah itu berbahaya?" Zeth tersenyum. "Tentu aku akan hati-hati. Kudengar pemburu yang baru bergabung akan dilatih terlebih dahulu." Elen menganggukkan kepalanya, walau ia masih tidak setuju. "Baiklah. Ayo kita coba ke tempat perkumpulan pemburu besok." Zeth mengelus kepala Elen dengan lembut. "Ayo kita coba. Buruan pertama yang aku dapat, akan kuberikan padamu." Elen tersenyum, lalu ia berdiri, mengambil sebuah batu kecil yang ada di dekatnya, lalu berjalan mendekati pagar pembatas. Zeth memiringkan kepalanya bingung apa yang dilakukan Elen. “Kau sedang apa?” Elen membalikkan badannya, lalu melambaikan tangannya, menyuruh Zeth mendekat. Dia mengukirkan namanya, dan nama Zeth di sebelahnya. Zeth tersenyum melihatnya, lalu memeluknya dari belakang. "Aku menyayangimu, Elen. Aku bahkan lupa bagaimana hari-hariku saat aku belum bertemu denganmu." Elen tertawa. "Entah kenapa aku merasakan hal yang sama, Zeth. Aku juga menyayangimu." . . . . Setelah melihat banyaknya bintang yang muncul, Zeth mengantar Elen pulang. Ia menyanyikan sebuah lagu, yang selalu mereka nyanyikan bersama. Di hari yang sejuk, di bawah pohon teduh. Ku nyanyikan lagu ini untukmu. Matahari kan datang, membawa tetesan embun. Ku mulai kembali hariku bersamamu. Disepanjang jalan, bunga-bunga pun mekar. Setiap memori bersamamu, akan ku jadikan kenangan. Kicauan burung pun terdengar, semuanya mulai terbangun. Aku menyayangimu lebih dari apapun. Kupu-kupu mulai berterbangan, semuanya seperti menari. Aku akan terus menyayangimu, lebih menyayangimu esok hari. "Besok menjelang siang?" Tanya Elen setelah sampai di depan rumahnya. Zeth mengangguk. "Aku akan menjemputmu." Elen menggeleng. "Bagaimana jika di taman?" katanya, kemudian ia menggaruk kepalanya dengan gerakan canggung. "Besok, aku akan memberimu sesuatu." Zeth tersenyum. "Baik lah. Nona, aku akan menerima apa pun yang akan kau berikan padaku. Selamat malam." "Selamat malam," jawab Elen, kemudian berjalan menuju pintu rumahnya. Namun, ia berhenti, membalikkan tubuhnya dan berjalan cepat menuju Zeth. "Ada apa?" tanya Zeth heran. Elen hanya tersenyum, lalu ia mendekatkan wajahnya pada Zeth. Dengan cepat, Elen mendaratkan kecupan singkat di bibir Zeth. "Sampai bertemu besok!" Tanpa sadar, Zeth masih tercengang dengan serangan mendadak Elen. Sambil tersenyum dan menggaruk kepalanya canggung, ia mengayuh pedal sepedanya kembali ke rumahnya. . . . . Bibi Et dan Paman Josh sudah duduk di meja makan saat Zeth sampai ke rumahnya. Mereka menyuruhnya makan dengan cepat, sebentar lagi petugas akan datang untuk menyuntikan anti-virus. Zeth menelan sup daging tanpa ia kunyah terlebih dahulu, karena petugas itu sudah datang. Setelah semuanya rapi, dan ia ingin kembali ke kamarnya, tiba-tiba saja Bibi Et memanggil dirinya. "Ada apa, Bibi?" tanya Zeth saat berada di dekatnya. Petugas berbaju serba hitam masih di depan rumah mereka. "Sesuai catatan, kalian hanya tinggal bertiga di tempat ini, bukan?" tanya petugas itu. "Benar, kami hanya tinggal bertiga," jawab Paman Josh. "Dan, apa kau yang mendapat nomor C72 itu?" petugas itu bertanya pada Zeth. "Ya, aku mendapatkan nomor C72. Apa ada masalah?" "Berikan tanganmu nak," kata petugas itu. Wajahnya tertutup, Zeth tidak bisa melihat ekspresinya. Dia menaikkan lengan baju Zeth, dan cap itu masih ada disana. "Oh, kau sudah disuntik. Tetapi, namamu tidak ada di daftar yang sudah disuntuk, dan contoh darahmu tidak ada. Sepertinya petugas kami lupa menyimpannya. Boleh kami kembali mengambil contoh darahmu lagi?" Duh, pelayanan macam apa ini?  Batin Zeth. Petugas itu mengeluarkan selembar kertas, menuliskan nomor C72. Kembali telunjuk Zeth ditusuk dengan benda tajam. Darah mulai mengalir keluar, petugas menekankannya pada nomor itu, kemudian meneteskan sedikit ke tabung kecil yang ia bawa. "Baik, semua sudah selesai, terima kasih." Petugas itu membungkuk lalu berjalan pergi. "Tunggu!" Zeth menghentikan langkah kaki petugas itu. "Lenganku masih terasa panas di daerah yang disuntik anti-virus. Kemudian kepalaku mulai terasa pusing. Aku ... tidak apa-apa, bukan?" "Mungkin hanya efek samping dari anti-virus yang mulai menyebar di tubuhmu. Kalau begitu, kami permisi." Petugas itu membungkukkan tubuhnya kembali lalu berjalan pergi. "Benarkah kepalamu masih pusing, Zeth?” Tanya Paman Josh dengan raut wajah yang khawatir. “Iya paman.” “Aku rasa bukan karena alergi, ‘kan?” tanya Bibi Et. Zeth menggelengkan kepalanya. “Sepertinya bukan. Aku tidak ingat punya alergi apa pun…” Paman Josh mengerutkan keningnya bingung, kemudian menatap Bibi Et. "Apa hal ini pernah terjadi sebelumnya?" Bibi Et balas menatap Paman Josh. "Sepertinya ... tidak. Apa tahun lalu kau mengalami hal yang sama, Zeth?" Zeth berusaha mengingatnya. Tetapi entah kenapa, ingatan itu tidak bisa ia gali ... seperti menghilang begitu saja. Zeth membalas pertanyaan itu dengan menggelengkan kepalanya. Paman Josh mengelus pelan kepala Zeth. "Sebaiknya malam ini kau cepat-cepat tidur. Besok ada acara besar.." kata Paman Josh sambil tersenyum. Tidak lama kemudian, Bibi Et terkekeh pelan lalu mendorong Zeth untuk masuk ke dalam. Zeth ikut tersenyum setelah mengerti apa maksudnya, lalu mengucapkan selamat malam pada Bibi Et dan Paman Josh. Ia langsung kembali ke kamarnya, merangkak ke atas kasur, lalu memejamkan mata. Entah kenapa bayangan gadis yang ada di mimpinya kembali muncul, lalu digantikan oleh bayangan Elen dan yang lainnya. Pandangannya mulai memburam, matanya hampir tertutup seluruhnya. Tetapi ia belum tertidur sepenuhnya. Tidak lama kemudian, ada perasaan aneh yang muncul di dadanya. Perasaan sesak. Takut kehilangan. Kenapa ia merasa begitu khawatir? Kenapa ia merasa akan ... ditinggalkan? Terlebih lagi ... lengannya terasa lebih panas dari sebelumnya.[]  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN