Zeth berada di sebuah pantai. Merasakan angin berhembus yang terasa nyata. Di sekitar pantai itu banyak orang-orang yang berbaring di atas pasir. Tetapi anehnya.. pasir yang mereka tiduri berwarna merah. Seperti merah darah.
Tiba-tiba ia merasakan pelukan dari belakang. Gadis berambut cokelat kemerahan memeluknya, gadis yang sering ia jumpai di dalam mimpi. Dia menyandarkan kepalanya ke punggung Zeth. Zeth menggenggam tangan gadis yang merangkulnya dari belakang, entah kenapa kali ini terasa dingin.
"Zeth! Tolong aku!" sahutnya.
Zeth membalikkan tubuhnya, tetapi gadis itu sudah tidak ada. Ia mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, mencari gadis itu. Orang-orang yang berada di sekitarnya pun mengilang. Gadis itu kembali berada di depannya. Kali ini ia baru melihat ekspresinya yang ketakutan, pertama kali ia melihat wajahnya. "Jangan lupakan aku, Zeth!" Tiba-tiba dunia terasa jungkir balik, dan semuanya menjadi gelap.
.
.
.
.
Zeth terbangun dengan kepalanya yang berada di lantai, dan sebagian tubuhnya masih di atas kasur. Ia melihat sekeliling. Gelap gulita. Apa ia masih bermimpi?
Matanya mulai terbiasa, lalu melihat jendela kamarnya yang diterangi sinar bulan. Sambil mengusap pelan kepalanya yang terasa sakit, ia berjalan menuju jendela itu dan membukanya. Seketika angin malam yang dingin menerpa wajahnya. Ia duduk di bingkai jendela itu, menatap langit yang dihiasi oleh bintang-bintang.
Tiba-tiba ia mendengar sebuah ketukan. Ia menengokkan wajahnya ke sumber suara, dan terkejut melihat seorang gadis yang ikut duduk di jendela kamar di sebelahnya. Dengan rambut ikal berwarna cokelat kemerahan, senyumannya hangat, matanya terlihat bersinar melihat bintang di langit. Gadis itu mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Seperti ingin memetik bintang.
Zeth terkesima dengan kecantikannya. Matanya seperti memantulkan bintang yang ada di langit. Apa ia masih bermimpi? Gadis itu benar-benar sama dengan gadis yang.. ada di mimpinya selama ini. Tapi itu tidak mungkin, pikirnya. Lalu ia mengusap matanya.
Bayangan itu menghilang saat ia selesai mengusap matanya. Ternyata memang mimpi, ya? Ia turun dari jendela itu, kembali menutupnya, dan berjalan ke kasurnya. Sebaiknya ia kembali tidur.
Saat membenarkan posisi bantalnya, ada sesuatu yang jatuh dari balik bantalnya. Ia melihat ke bawah kasurnya, ternyata foto yang tadi ia ambil dari kamar yang ada di sebelahnya terjatuh. Foto dirinya yang tangannya sedang terulur.
Seketika kepalanya seperti dibenturkan oleh benda keras. Sekilas penglihatannya merabun, dan digantikan oleh suatu tempat yang sepertinya ia kenal. Gambaran itu terus berjalan, dan sakit di kepalanya semakin terasa. Ia mengenali tempat itu. Jalan menuju tempat rahasianya dengan.. seseorang. Hanya dirinya dan orang itu yang tahu.. tapi, siapa?
Semakin berusaha ia mengingat, semakin sakit kepalanya.
Gambaran itu masih terus berjalan. Ada seseorang. Seorang gadis. Ia berlari di depan Zeth, dengan tangan yang terulur.
Keadaannya berubah lagi. Ia sedang menggenggam seikat bunga, dan Zeth yang berada di sisinya.
Terjadi perubahan lagi. Dia merangkulkan tangannya pada Zeth, mereka berdua duduk di bawah sebuah pohon. Dia.. siapa? Seakan namanya sudah berada di ujung lidahnya. Tetapi kenapa ia tidak bisa menyebutkannya?
Ingatan apa ini? Sebenarnya apa yang terjadi dengan dirinya? Dengan Bibi Et dan Paman Josh? Dengan orang-orang yang ada di sekitarnya? Apa yang menghilang dari kehidupannya?
Meski kepalanya seperti terbentur oleh benda keras, Zeth mencoba untuk melihat gambaran itu lebih jelas. Dia tahu tempat ini … dia tahu jalan menuju tempat ini. Apa ia harus memeriksanya? Mungkin, ingatan yang hilang itu akan kembali padanya.
Setelah sakit kepalanya sedikit mereda, dengan kaki yang dijinjit ia keluar dari kamarnya. Perlahan-lahan menuruni anak tangga satu persatu, dan melewati kamar Bibi Et dan Paman Josh. Untunglah, sepertinya mereka berdua sudah tidur.
Zeth mengambil jaketnya yang terakhir kali ia gunakan ketika musim dingin. Dengan perlahan, Zeth mengunci pintu rumahnya dan membawa sepeda milik Paman Josh ke tempat ‘itu’.
Hanya ada sedikit orang yang berpapasan dengannya, yang kebanyakan darinya mengenal Zeth dan bertanya mau ke mana dia tengah malam begini. Zeth hanya tersenyum dan membalas singkat ingin cari angin. Meski jalanan sudah cukup sepi, ia bisa mendengar suara tawa yang kencang dari bar yang ada di dekat jalan utama.
Meski udara malam ini masih terasa dingin, ia terus mengayuh sepedanya.
Akhirnya ia sampai di perbatasan desa. Entah harus merasa lega atau kesal, Zeth tidak melihat satu orang pun yang menjaga gerbang desa. Bagaimana jika ada bandit atau sekumpulan hewan buas yang menyerang desa mereka? Untuk saat ini, ia memilih untuk merasa lega.
Perjalanan selanjutnya sedikit sulit jika dilanjut oleh sepeda, karena ia harus memasuki hutan. Akhirnya ia menyembunyikan sepeda tua itu di balik semak-semak. Zeth terus mengikuti jalan setapak sesuai ingatannya yang sedikit kabur.
Dengan mengandalkan cahaya dari bulan purnama, akhirnya Zeth melihat sebuah pohon yang sangat ia kenal. Kenapa ia bisa melupakannya sebelum ini? Pohon ini … ia sering duduk di bawahnya bersama gadis itu …
Ia kembali berjalan memasuki hutan itu lebih jauh. Di depannya, ada sebuah pohon yang terlihat habis terbakar. Entah karena api atau tersambar petir. Masih mengandalkan ingatannya, ia berjalan ke balik pohon itu.
Hampir seluruh tubuh pohon itu hangus terbakar. Tetapi, ada bagian yang tidak terbakar sama sekali, dan bagian itu berbentuk seperti telapak tangan. Zeth menatap bagian itu cukup lama, jika bisa mungkin ia sudah melubangi pohon itu dengan tatapannya.
Ia kembali memasuki hutan itu lebih dalam. Akhirnya ia menemukan sebuah pohon yang cukup besar. Di tengah-tengahnya ada sebuah lubang yang cukup besar, dan ada tumpukan jerami yang sudah tidak karuan di dalamnya.
Selama ini, ingatan itu nyata. Bukan mimpi atau khayalan Zeth saja. Gadis itu … apa benar gadis itu anak dari Bibi Et dan Paman Josh? Zeth mencoba untuk mencari bukti lain untuk memperkuat ingatannya. Tetapi hasilnya nihil.
Akhirnya ia kembali ke desa dengan sepedanya. Bar yang sebelumnya dipenuhi oleh tawa sudah terlihat sepi. Sepertinya ia terlalu lama di luar. Setelah menyandarkan sepedanya di dekat pintu masuk, Zeth kembali menjinjitkan kakinya agar tidak membangunkan Bibi Et dan Paman Josh.
Seperti sebelumnya, di puncak anak tangga itu Zeth melihat pintu kamar yang tertutup rapat. Jika benar orang itu memang ada … setidaknya Bibi Et dan Paman Josh harus mengetahuinya. Tetapi, tanpa bukti yang nyata bahwa dia ‘benar-benar’ ada, Zeth tidak tega mengatakannya. Bukankah itu sama saja dengan memberi mereka harapan palsu?
Bahkan, jika memang orang itu ada … bagaimana dia bisa menghilang? Bukan hanya dia saja yang menghilang, bahkan orang-orang lain melupakannya.
Zeth mengacak-acak rambutnya karena bingung. Ia kembali merebahkan tubuhnya di atas kasurnya. Kemungkinan karena kelelahan, Zeth tertidur dengan cepat, tanpa mimpi. []