02 - Kehilangan

2374 Kata
Erik, Will, dan Zeth berhenti bermain saat matahari tepat berada di atas kepala mereka. Di akhir, Zeth memilih untuk tidak melempar bola lagi ke dalam ring. Kemampuan … keahlian … atau entah apa kata yang cocok untuk menyebutnya bisa dengan mudah membidik sesuatu dengan tepat membuatnya takut. "Kau.." kata Erik tersengal, "kenapa tidak mau melempar bola ke dalam ring lagi, hah?" "Betul!" sahut Will sambil menganggukkan kepalanya. "Sesekali aku ingin memberi kalian kesempatan untuk mencetak angka," jawab Zeth sambil memaksakan senyuman. "Oh.. jadi kau sangat yakin bahwa kau akan terus-menerus berhasil mencetak angka?" Will menyikut rusuk milik Zeth. Erik tersenyum sambil mengangkat satu alisnya. "Kalau di depan dia? Bagaimana?" Zeth melihat arah yang ditunjuk oleh dagu Erik, dan ternyata dia menunjuk ... Elen. Seorang gadis dengan rambut berwarna pirang yang lurus dengan warna mata semurni emas. Sungguh, matanya berwarna emas. "Hai," kata Elen singkat pada Will dan Erik. Kemudian ia mengedipkan matanya pada Zeth, yang membuat hatinya berdebar kencang. Zeth berdeham pelan sambil membereskan baju miliknya. "Hai, hari yang cerah bukan?" Elen tertawa yang membuat wajahnya semakin panas, tawanya sangat manis. "Benar, cerah sekali," katanya, lalu ia duduk di samping Zeth. "Kalian tidak bermain dengan yang lain?" "Kami sedang istirahat," jawab Will. Erik mengangguk. "Zeth mencetak angka terus-menerus tanpa meleset. Kami bosan tidak pernah jadi perhatian tim." "Ya, bosan tidak mendapat perhatian," kata Will membeo. Zeth memutar kedua bola matanya ketika mendengarnya. Bukankah tadi mereka sendiri yang menyuruhnya untuk terus mencetak angka? Elen mengangkat kedua alisnya. "Oh? Bukankah dia memang mahir membidik?" Elen merangkulkan tangannya ke lengan Zeth. "Hei, aku sudah lama tidak melihatmu bermain, Zeth." Elen menatap mata Zeth dengan lekat. "Aku ingin melihatnya." Will berdeham. "Ayo bung, kita perlihatkan kemampuan kita pada Nona ini," katanya sambil teresenyum memperlihatkan barisan gigi rapi yang dapat memantulkan sinar matahari. Erik ikut tersenyum, lalu berdiri dan mulai berlari ke arah lapangan. "Aku tidak akan lama," kata Zeth singkat yang dibalas oleh anggukan kepala dari Elen. Dengan cepat, Zeth berlari mengejar Erik dan Will. Erik langsung merebut bola dan mengopernya pada Will. Dengan gesit, Will menghindari usaha-curi-bola dari tim lawan. Zeth berlari menuju ring tim lawan, saat Will mengoperkan bola pada Zeth, ia langsung melemparnya tanpa membidik terlebih dahulu. Hei, saat kau dilihat oleh pacarmu. Kau ingin terlihat keren, bukan?  Kabar baiknya, bola itu masuk tepat ke dalam ring seperti biasanya. Mendengar sahutan Elen dari pinggir lapangan membuat jantung Zeth semakin berdebar. Entah sehabis berlari atau memang karena Elen. Lalu kabar buruknya, ia yakin setiap lemparannya yang tidak pernah meleset itu bukan sebuah kebetulan. Zeth berhenti bermain setelah langit mulai berwarna jingga dengan coretan tipis awan berwarna ungu. Elen masih duduk di pinggir lapangan, melihatnya bermain dengan mata yang bersinar. "Bosan?" tanya Zeth setelah berdiri di depannya. Elen menggeleng pelan. "Tidak, aku suka ketika melihatmu serius.” Ia pun berdiri lalu merenggangkan tubuhnya, mengambil sapu tangan dari sakunya, lalu mulai menyeka keringat Zeth. Zeth tersenyum sambil merebut sapu tangan milik Elen. Jika Erik dan Will melihat mereka pasti Zeth akan diledek habis-habisan. "Mau jalan-jalan sebelum pulang?" Elen tertawa pelan ketika melihat wajah Zeth semakin memerah. “Ayo ke tempat biasa,” jawab Elen sambil menggenggam tangan Zeth. . . . . Zeth dan Elen pergi ke tempat rahasia mereka berdua yang berada di akhir jalan utama. Di sana, ada pagar pembatas setinggi pinggang yang membatasi jalan setapak yang tertutup oleh semak-semak. Di baliknya ada anak sungai yang tepinya ditumbuhi oleh rerumputan halus, membuat tempat duduk alami, ada beberapa bunga liar yang tumbuh di sekitarnya. Biasanya, Zeth dan Elen berbicara sambil melihat matahari terbenam di tempat itu. Angin lembut menerpa wajah Zeth, dan membuat rambut Elen tertiup perlahan. Ia sangat menawan, rambutnya yang berwarna pirang seperti pantulan emas yang berkilau saat diterpa sinar matahari senja. Zeth sangat menyayangi Elen. Mengelus pelan rambutnya membuat dirinya merasa nyaman. Genggaman tangan mereka berdua masih terikat. Bahkan, genggamannya lebih erat dan memberikan kehangatan yang nyata. Terlebih ini bukan mimpi. Saat kehangatannya menyebar, Zeth tidak terbangun ... Elen tidak menghilang dari sisinya. Elen menyandarkan kepalanya pada bahu Zeth. "Kau lusa ulang tahun, bukan?" tanya Elen, "ingin sesuatu?" Zeth tertawa, membuat kepala Elen berguncang di bahunya. "Tidak, aku tidak menginginkan apa pun." Zeth merangkul bahu Elen, menyandarkan kepalanya pada pucuk kepala Elen. "Aku tidak menginginkan apa pun. Asalkan kau ada di sisiku.. semuanya sudah cukup." Elen menutup pipinya dengan bahu tangannya. Zeth melirik ke arahnya. Terlihat rona merah di pipinya. Dia sangat manis, untuk sesaat Zeth menariknya mendekat. Mendekatkan bibirnya pada milik Elen, berniat untuk menciumnya. Namun ia mengurunkan diri, dan mengecup kening Elen pelan sambil mengelus kepalanya. Elen terlihat terkejut, lalu ia memutar badannya. Menghadap tepat ke arah Zeth. "Zeth," katanya tajam, lalu menatapnya lekat-lekat. "Aku percaya padamu selama ini. Aku menyayangimu, dan seluruh hatiku hanya untukmu. Aku.. bisakah kita.. setidaknya.." Dia mengatupkan bibirnya, menghentikan perkataan selanjutnya. Zeth kembali mengelus rambutnya, jantungnya serasa akan meledak ketika ia mendengar apa yang dikatakan oleh Elen, wajahnya kembali memanas. Tentu ia merasakan hal yang sama, dan mengerti apa yang dimaksud oleh Elen. Tapi … karena Zeth juga ingin melindunginya, ia tidak bisa bertindak dengan gegabah. Melihat Zeth sepertinya tidak akan melakukannya, Elen menggembungkan pipinya lalu mencubit pelan pipi Zeth. Zeth terkekeh pelan lalu mendekatkan dirinya pada Elen, dan menyentuhkan bibirnya pada milik Elen dengan cepat, tidak sampai sedetik ia sudah menarik dirinya. Kedua alis Elen terangkat tinggi, ia mengusap bibirnya pelan. Kemudian tertawa keras sampai matanya mengeluarkan air mata. "Apa-apaan tadi?" Wajah Zeth semakin memanas, ia berteriak kencang sambil mengacak-acak rambutnya. Kemudian menutup wajahnya dengan bahu tangannya lalu berbaring di rerumputan. "Ayolah itu ciuman pertamaku ..." Terdengar suara Elen yang masih tertawa. Zeth terus menutup matanya dengan bahu tangannya. Kemudian ia merasakan tangan Elen yang mengelus pelan pipinya yang sebelumnya dicubit. Zeth mengintip dari celah-celah jarinya, melihat Elen yang tersenyum manis dengan rona merah di pipinya. "Itu juga ciuman pertamaku," katanya pelan. Zeth duduk dengan cepat, menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan kencang. "Okeee ... pengalaman pertama kita benar-benar memalukan." Elen kembali tertawa mendengarnya, kemudian mencubit pelan pipi Zeth sekali lagi. Zeth mengerutkan keningnya bingung sambil mengusap pelan pipinya. "Apa yang kau lakukan?" "Mencoba untuk menghapus ingatanmu. Aku ingin menggantinya dengan ingatan yang lebih manis," jawab Elen pelan. Zeth tertawa. "Cara itu tidak berhasil, kau tahu?" Ia mencubit hidung Elen pelan, membuat Elen memukul Zeth yang membuatnya semakin tertawa. Zeth menangkap tangan Elen yang masih memukulnya kemudian menggenggamnya erat. Menarik pelan Elen yang membuat wajahnya mendekat. "Akan lebih manis bila menutup mata, bukan?" bisik Zeth. Elen tersenyum cerah kemudian menutup matanya. Zeth mendekatkan bibirnya pada Elen, menciumnya dengan perlahan namun pasti. Bibirnya terasa hangat, Zeth masih bisa merasakan senyuman pada bibir Elen. Ya, pikir Zeth. Seperti ini yang benar. Ingatan yang tidak akan mudah untuk dilupakan. Zeth menarik pelan tubuhnya, melihat pipi Elen yang semakin merona merah. Kemudian secara bersama mereka berdua tertawa. Ciuman pertama mereka--atau mungkin yang kedua--kaku dan membuat mereka malu, tetapi sangat sempurna dalam segi manapun. Elen merebahkan tubuhnya di atas rerumputan, dan menarik Zeth memaksanya untuk ikut. Angin lembut masih setia menerpa wajah mereka yang masih terasa panas. Awan berwarna ungu tua berarak pelan di langit senja yang mulai meredup. Secara perlahan, matahari terbenam dan bintang di langit terlihat mengedip malu-malu. Mereka terus berbicara dan bercanda satu sama lain. Masih saling bergandengan tangan, kehangatan yang tidak mudah menghilang. . . . . Zeth mengantar Elen ke rumahnya saat bintang sudah menghiasi langit dan bulan purnama mulai menampakkan dirinya. Di sepanjang jalan jari mereka terus terikat, sambil menertawakan lelucon satu sama lain. Saat sudah sampai di depan rumah Elen, Ibu Elen membukakan pintu rumahnya seperti biasa. Setelah menyapanya singkat, Ibu Elen menggenggam tangan milik Zeth. “Bagaimana jika kau ikut makan malam dengan kami, Zeth?” Zeth menolak sambil tersenyum, pasti Bibi Et sudah menunggunya untuk makan malam di rumah. "Maaf, mungkin lain kali saya akan mampir." Ibu Elen tersenyum. "Baiklah, semoga lain kali itu akan datang secepatnya. Kalau begitu ayo masuk, Elen." "Aku akan menyusul," kata Elen. Ibunya tersenyum pada Elen yang entah kenapa Zeth rasa ada makna tertentu di baliknya. Elen mendorong ibunya masuk ke dalam rumah, lalu kembali berdiri di depan Zeth. "Sampai bertemu besok, Zeth." Zeth mengecup kening Elen. "Sampai bertemu besok." Elen tersenyum sambil berlari menuju rumahnya, sekali lagi ia melambaikan tangannya pada Zeth sebelum akhirnya menutup pintu rumahnya. Rumah Elen terlihat nyaman. Terdengar suara tawa Elen dan orang tuanya. Terkadang Zeth merasa iri melihat teman-temannya, mereka masih memiliki kedua orang tua. Tapi perasaan iri itu menghilang saat ia mengingat betapa baiknya Bibi Et dan Paman Josh. Menggelengkan kepalanya untuk menghilangkan perasaan itu, Zeth mulai berjalan menuju rumahnya. . . . . Zeth menutup pintu rumahnya, dan ia mendapati bahwa ruang tengah kosong, tidak ada siapa-siapa. Tetapi makan malam sudah tersaji lengkap di meja makan. Seperti biasa, Zeth melihat satu porsi lebih di sana. Kebiasaan Bibi Et terulang lagi ... Saat dirinya dan paman Josh tidak ada di rumah, Bibi Et selalu berada di kamar yang berada tepat di sebelah kamar milik Zeth. Kamar untuk seorang anak perempuan yang tidak pernah ada. Zeth pergi ke kamar itu, bahkan sebelum ia sampai di puncak tangga, tangisan Bibi Et dapat terdengar. Biasanya ia menunggu di luar rumah sampai terdengar suara Bibi Et di ruang tengah. Tetapi semakin lama, Zeth tidak bisa membiarkannya begitu saja. Ia mengintip dari celah pintu yang terbuka. Bibi Et sedang duduk di atas kasur yang berseprai biru muda. Ia memeluk bantal yang ada di atas kasur itu, sambil menggerakkan tubuhnya maju mundur mengeluarkan air matanya. "Bibi Et?" kata Zeth pelan, lalu masuk ke dalam kamar itu. Zeth tidak pernah memasuki kamar ini, sejauh yang ia ingat. Saat kakinya menginjak lantai kamar itu, entah kenapa tubuhnya seperti tersengat aliran listrik yang halus. Tiba-tiba dadanya merasa hangat, walaupun lantai kamar itu sangat dingin. Perasaan hangat itu terus menyebar ke seluruh tubuhnya, namun tiba-tiba dadanya sakit begitu saja. Terasa sesak. Kamar ini, entah kenapa mengingatkan Zeth pada sesuatu. Seperti ada kenyamanan yang menetap sangat lama, tetapi menghilang begitu saja. Bibi Et menengok ke arah Zeth, sambil mengusap air matanya cepat-cepat. "Oh.. Zeth? Kau sudah pulang? Aku tidak mendengarmu masuk." Ia berdiri sambil menyimpan bantal yang ia peluk sedari tadi, lalu merapikan seprai kasurnya. "Ayo kita turun, makan malan sudah siap," kata Bibi Et sambil memaksakan senyuman. "Maaf kalau aku terlambat pulang.. aku mengantar Elen pulang terlebih dahulu." Zeth berdeham, perasaan tidak enak itu masih ada, ia bergegas keluar dari kamar itu. "Ayo, aku sudah lapar,” katanya di luar kamar itu, lalu turun menuju meja makan. Zeth sudah duduk di kursi meja makan. Di sebelahnya ada piring dan perlengkapannya dengan isi sup daging hangat. Kali ini bibi Et tidak merapikannya. Perasaan canggung memenuhi diri Zeth setelah melihat Bibi Et menangis, ia berusaha keras untuk memfokuskan pikirannya pada sup daging yang ada di depannya. "Zeth," kata Bibi Et mengagetkannya. Zeth mengangkat wajahnya, dan melihat mata Bibi Et kembali berkaca-kaca, "mungkin kau tidak pernah tahu apa yang kulakukan.. saat kau dan Josh tidak ada di sini." Zeth berdiri dari kursinya, dan mendekati Bibi Et. Mengelus pelan punggungnya, berusaha sebaik mungkin untuk membuatnya lebih tenang. "Sebenarnya, aku sudah lama tahu kalau Bibi selalu ada di kamar itu.." "Aku.." Bibi Et terisak, "aku yakin, kita tinggal berempat di rumah ini. Dia anakku! Dia menghilang! Ke mana dia?" Bibi Et menangis sekarang. Zeth masih mengusap punggungnya pelan. "Mengapa aku bisa melupakannya? Mengapa semua orang melupakannya?" Ia mengingat perasaannya ketika memasuki kamar itu. Kehangatan yang terasa menghilang. "Bibi, aku juga merasakan hal yang sama saat aku memasuki kamar itu. Seperti ada sesuatu yang hilang. Tapi aku tidak tahu itu.. apa.. atau siapa." "Benarkan Zeth? Bukan hanya aku saja yang merasa begitu?" Zeth mengangguk, menyetujui Bibi Et. Pasti ada sesuatu yang terjadi. Ia harus mencari tahu kebenarannya. "Untuk saat ini.. Ayo kita makan terlebih dahulu, bibi. Aku yang akan membereskan sisanya. Kau bisa langsung tidur, menenangkan dirimu." Bibi Et mengangguk, lalu menghabiskan makanannya sambil terisak pelan. Setelah selesai, Bibi Et masuk ke kamarnya. Zeth merapikan piring-piring kotor itu. Ketika ia sedang mencucinya, terdengar pintu depan rumahnya terbuka. Paman Josh baru saja pulang. Ia terseyum pada Zeth, matanya terlihat lelah. "Oh, Zeth? Kau belum tidur?" Tanya Paman Josh. Dia melepas jaketnya, lalu menaruh tasnya di ruang tengah. Rambutnya yang mulai memutih dan menipis di beberapa sisi kepala terlihat jelas setelah melepas topinya. "Ingin kupanaskan makan malamnya?" tanya Zeth. "Tidak perlu, biar aku saja. Mana Etna?" tanya Paman Josh, wajahnya terlihat khawatir. "Bibi ada di kamar, ia butuh istirahat.” Paman Josh tersenyum, lalu berjalan mendekati Zeth dan mengelus pelan kepalanya. Apa ini yang dirasakan Elen saat ia mengelus kepalanya? "Terimakasih Zeth," kata Paman Josh pelan, lalu berjalan menuju kamarnya. "Sebaiknya aku menemui Etna terlebih dahulu, kau tidurlah. Kudengar besok akan ada penyuntikan anti-virus." Zeth tersenyum pada Paman Josh, "Baiklah. Selamat malam, Paman." Ia kembali mengeringkan piring-piring yang masih basah, menyimpannya di rak, lalu berjalan menaikki tangga. Di puncak tangga Zeth melihat pintu kamar itu masih terbuka. Ia berjalan ke depan kamar itu dengan rasa penasaran di dalam dirinya. Setelah mendekati pintu kamarnya, ia merasakan adanya dorongan untuk memasukinya. Ketika diperhatikan, kamarnya sangat rapi. Banyak buku yang terlihat sering dibaca berada di atas meja belajar di sisi kasur, lemarinya pun dipenuhi pakaian perempuan. Apa memang benar di kamar ini ada seseorang yang menempatinya? Jika benar, bagaimana Zeth tidak mengingatnya? Bagaimana bisa ia melupakannya? Ia menemukan sebuah buku harian di atas meja belajar. Dengan penasaran dan entah kenapa perasaan tegang, ia membukanya secara perlahan.  Tentu saja isinya kosong, dengan perasaan kecewa ia kembali menutupnya. Laci kecil yang ada di bawah meja belajar menarik perhatian Zeth. Ketika membuka laci itu, entah kenapa ia merasa sudah melanggar privasi seseorang. Di dalam laci itu, ada sebuah foto. Foto itu hanya ada dirinya seorang, dengan tangan yang terulur ke samping, seperti memegang sesuatu, atau menggenggam sesuatu. Ia menyipitkan matanya untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, memerhatikan tangannya baik-baik. Tidak terlihat apa-apa, ia tidak terlihat menggenggam apapun. Zeth melihat ekspresinya di dalam foto itu. Ekspresi yang sama seperti dirinya yang berada di foto sisi tangga. Tersenyum cerah pada kamera. Ia memasukkan foto itu ke dalam kantung celananya, lalu berjalan keluar kamar itu. Sekali lagi, ia mengedarkan pandangannya ke seluruh isi kamar itu. Entah kenapa, ia merasa tidak akan pernah memasuki kamar itu lagi. Ia pun menutup pintu kamar itu tepat di depan wajahnya. []  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN