8 | Mencari Tahu

1033 Kata
"Annisa." Pria yang bertabrakan dengan Annisa pun bergumam lirih dengan raut wajah antara sadar dan tidak. Rasanya seperti mimpi ia bisa melihat kembali wanita itu meski dengan penampilan yang berbeda. Annisa yang sudah lebih dulu mampu menguasai kesadaran, segera pergi dari sana tanpa berkata apa pun. Barra baru tersadar tepat saat mobil yang dikemudikan oleh Annisa pergi dari tempat itu. Ia pun segera berlari untuk mengejarnya tetapi tentu saja tidak berhasi menyusul. "Argh ...!" Ia mengerang kesal. "Dia ada di kota ini tapi kenapa anak buahku tidak ada yang melapor? Awas aja mereka!" Niat untuk makan di tempat itu pun Barra urungkan. Selera makannya sudah hilang sekarang. Kembali masuk ke dalam mobil dan melakukan panggilan melalui pinsel pintanya. "Kumpulan semua orang! Saya mau bicara dengan kalian semua. Sekarang juga!" titah Barra pada seseorang di balik telepon sana dan langsung menutup panggilan setelah bicara, tidak mau tahu apa yang dikatakan orang yang ia hubungi. *** Ayah dari anak bernama lengkap Kenzo Aryasatya Adriano, kini tengah duduk di kursi kerja. Di hadapanya berdiri beberapa orang pria yang ia tugaskan untuk mencari wanita yang melahirkan anaknya. Tatapan tajam ia layangkan pada mereka yang lebih suka melihat ke bawah. Entah apa yang menarik di sana hingga mereka enggan mengalihkan pandangan dari lantai yang dipijak. "Apa kalian tahu kenapa saya kumpulkan kalian semua di sini?" Nada dingin terdengar begitu jelas dalam suara pria yang kini berusia tiga puluh tujuh tahun itu. "Tidak, Pak!" Dengan kompak para pria itu menjawab. "Bagaimana pekerjaan kalian? Apa kalian sudah berhasil menemukan istri saya?" "Maaf, Pak. Kami belum berhasil menemukan Bu Anissa." Salah seorang dari orang-orang itu, menjawab. BRAK! Tiba-tiba saja Barra memukul meja yang ada di hadapannya dengan cukup kencang sehingga menimbulkan bunyi berdentum yang terdengar nyaring. "KENAPA KALIAN BISA TIDAK TAHU KALAU DIA ADA DI KOTA INI? APA SAJA YANG KALIAN LAKUKAN?" Barra berteriak dengan marah seraya menatap nyalang pada orang-orang suruhannya. Tentu saja tidak ada satu pun dari mereka yang menjawab. Karena jika dilakukan, itu berarti mereka menyerahkan nyawa. Bos mereka tidak suka jika ada yang bersuara saat ia meluapkan emosi. "Keluar kalian semua!" titah pria itu lagi. Tidak dengan teriakan tetapi nada bicaranya penuh penekanan. Para pria itu pun mengangguk patuh. "Baik, Pak. Permisi!" Satu persatu mereka pun keluar dan kembali menutup pintu. "Argh ...!" Barra mengerang frustrasi sembari menyapu permukaan meja hingga apa pun yang ada di atasnya jatuh berhamburan hingga tercecer, berserakan di atas lantai. Ia memutar kursi yang diduduki. Menatap lurus ke depan di mana dinding kaca yang berada di belakang meja kerjan memperlihatkan pemandangan kota dari ketinggian. Kembali teringat kejadian tadi, saat ia bertemu Annisa. Wanita itu tampak lebih cantik meski dengan pakaian muslim yang tetutup. Dan terlihat lebih dewasa setelah enam tahun tidak bertemu. Barra segera bangkit berdiri dan keluar dari ruangan. "Bereskan ruangan saya!" titahnya sambil lalu pada sang sekretaris ketika ia melewati meja kerja yang ada di depan ruangannya. "Baik, Pak." Gadis cantik itu pun mengangguk dengan patuh dan sopan. Barra segera berjalan menuju lift. Menunggu beberapa saat hingga akhirnya pintu benda bergerak itu terbuka. Ia masul dan menutupnya kembali. Segera, lift membawanya turun hingga berhenti di salah satu lantai. Saat pintunya terbuka, beberapa orang yang sedang menunggu seseorang di depan pintu pun hendak masuk tetapi urung ketika melihat Barra ada di sana. Mereka hanya menganggukkan kepala dengan sopan. Salak seorang dari mereka menekan tombil hingga pintu lift kembali tertutup. Tidak ada satu pun yang berani mendekati bos besar mereka yang terkenal dingin. Beberapa menit kemudian, pintu lift yang membawa Barra turun, terbuka ketika tiba di lobby kantor. Gegas ia keluar dan berjalan cepat menuju pintu tanpa peduli sapaan para karyawan yang berpapasan dengannya. Ayah satu anak itu pun melajukan kendaraan meninggalkan gedung perkantoran tersebut. Tujuannya saat ini adalah rumah makan yang ia datangi tadi dan tanpa sengaja mempertemukan dengan Annisa. Wanita yang telah membuat Barra jatuh sejatuh-jatuhnya ketika ia pergi. Saat itu lah Barra sadar bahwa Annisa bukan hanya sekedar ibu pengganti baginya. Tetapi terlambat karena sang wanita bak menghilang ditelan bumi. Begitu pintar wanita itu menyembunyikan diri hingga ia dan orang-orang suruhan tak pernah berhasil menemukan. "Ke mana sebeneran kamu selama ini pergi? Kenapa aku tidak pernah menemukan jejakmu?" Ia bergumam. Beberapa saat kemudian, Barra tiba di tempat tujuan. Gegas masuk. Berdiri sesaat di dekat pintu sembari mengedarkan pandangan. Ia bingung sekarang harus melakukan apa. "Selamat sore, Pak Barra. Ada yang bisa saya bantu?" tanya salah seorang wanita yang mengenal Barra sebagai pengunjung tetap di tempat itu. "Selama sore, Bu Rossi," balas pria itu, "Apa ada yang sedang Anda cari?" Wanita itu kembali bertanya. Barra mengangguk. "Ya, saya sedang mencari seseorang. Mungkin dia ada di sini." Sekali lagi ia memindai sekitar tetapi tidak menemukan apa yang dicari. "Baik jika begitu. Saya permisi." Rossi yang merasa tidak perlu ada di sana, pamit untuk kembali. Tadi ia menghampiri karena melihat Barra berdiri hingga beberapa menit lamanya di sana. "Tunggu, Bu!" cegah Barra saat wanita itu akan pergi. Rosi pun mengurung niatnya yang sudah hendak pergi. "Iya, Pak? Ada yang bisa saya bantu?" "Bu Rossi, apa saya bisa melihat rekaman CCTV di sini?" Ia bertanya tanpa basa-basi. Rossi mengerutkan dahi. "Jika boleh saya tahu, untuk keperluan apa ya, Pak?" "Saya tadi bertemu seseorang yang selama ini saya cari di tempat parkir. Sepertinya dia baru keluar dari rumah makan Ibu ini. Saya ingin bertanya pada Ibu. Barangkali Ibu tau sesuatu tentang dia." Pria itu menjawab seadanya. "Tentang?" "Ya mungkin ... seperti dia tinggal di mana atau mungkin juga Ibu kenal dia dan punya kontak yang bisa saya hubungi." Rossi mengangguk tanda mengerti dengan penjelasan Barra tetapi tidak mengatakan apa pun. "Bu Rossi, tolong bantu saya. Orang itu istri saya. Saya harus menemukan dia." Pria itu berkata lirih sembari menatap Rossi dengan wajah memelas. Sang pemilih rumah makan pun sempat bingung dan terkejut karena ini kali pertama melihat pria dingin dan terkesan angkuh itu memelas hingga memohon. "Tolong, Bu ...." Barra kembali bersuara saat orang yang ia ajak bicara tidak mengatakan apa pun. Rossi menatap Barra untuk sesaat tetapi akhirnya ia pun mengangguk setuju. Sang pria tersebut lega. "Terima kasih, Bu," ucapnya dengan tulus. Ia sungguh senag sekarang karena merasa selangkah lagi ia akan menemukan sang istri yang selama ini dicari. "Mari! Ikut saya!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN