9 | Aku Laporin Ibu!

1032 Kata
"Terima kasih, Bu Rossi," ucap Barra setelah wanita itu mengizinkan dirinya memeriksa rekaman kamera pengawas. "Sama-sama, Pak Barra. Kalau Bapak butuh bantuan saya, tidak perlu sungkan," sahut Rossi, senyum ramah tidak pernah luntur dari bibir wanita dua anak itu. "Terima kasih sekali lagi. Saya permisi," pamit Barra. "Silakan, Pak." Rossi mengangguk. Barra berlalu dari tempat itu. Masuk ke dalam mobil dan duduk diam di sana, menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan. "Apa mungkin aku salah lihat tadi? Tapi aku yakin itu dia. Biarpun pakai kerudung tapi aku masih sangat ingat wajahnya. Dia tidak berubah. Masih tetap cantik seperti dulu." Dengan frustrasi ia memukul kemudi. "Argh ... Annisa ... sampai kapan kamu akan terus menyiksaku seperti ini?" Bunyi ketukan di kaca mobil, membuat Barra terkejut dan menoleh. Menekan tombol untuk menurunkan kaca kendaraan tersebut. "Ya?" "Maaf, Pak. Bapak menghalangi jalan orang lain," ujar seorang pria berseragam rumah makan tersebut. Barra menoleh ke luar dan ternyata benar, kendaraan miliknya kini berada di jalur maju. Karena tidak fokus ia sampai tidak sadar telah mengeluarkan mobil dari tempat parkir dan tiba-tiba berhenti begitu saja di sana. "Oh. Iya. Maaf, Mas. Tadi saya sedikit pusing. Jadi berhenti sebentar." Barra berkilah untuk menutupi rasa malu kemudian melajukan kendaraan, segera. "Kok bisa-bisanya aku lupa." Saat sedang mengemudi tanpa arah, ponselnya berdering. Ada nama putranya di sana. "Iya, Ken," sapanya saat menerima panggilan sang anak. "Ayah di mana? kenapa belum pulang?" "Ini lagi di jalan mau pulang, Nak." "Cepat pulang, Yah. Aku tunggu." "Baiklah. Tunggu ya ... sebentar lagi ayah sampai." "Iya, Ayah." Panggilan pun terputus. Barra menambah kecepatan kendaraan karena ingin segera tiba di rumah dan memeluk putranya yang selalu menjadi pengobat untuk setiap lara. *** "Kean, maaf, Sayang. Ibu telat," ucap Annisa penuh sesal ketika tiba di panti asuhan. "Ibu kenapa panik gitu? aku gak apa-apa kok, Bu." "Kean gak marah sama ibu?" "Enggak, Bu. Aku seneng kok di sini. Banyak teman-teman," sahut Keandra. Annisa menghela napas lega. "Syukurlah. Tadi ibu takut Kean marah karena ibu telat jemput." "Tapi aku seneng Ibu cepat pulang. Aku kangen sama Ibu." Keandra memeluk sang ibu yang duduk di sampingnya. Wanita itu tersenyum. "Ibu juga kangen sama Kean," balasnya sembari mengecup puncak kepala sang anak dengan sayang. "Nak Icha gak usah khawatir, Kean aman di sini." Seorang wanita paruh baya menepuk pundak Annisa lalu duduk di sampingnya. Annisa tersenyum pada wanita itu. "Maaf, ya, Bu Lilis. Aku jadi merepotkan Ibu." "Sama sekali enggak. Ibu malah senang kalau Kean bisa main di sini. Nak Icha juga udah banyak bantu panti ini," sahut wanita bernama Lilis itu. "Cuma itu yang bisa aku lakukan untuk bantu Ibu dan anak-anak di panti." Ponsel Annisa berdering. Ia mengambil benda itu dan memeriksa siapa yang menelepon. "Sebentar ya, saya angkat telpon dulu." Ia pergi ke halaman depan panti "Assalamualaikum." 'Waalaikum salam. Icha, kamu di mana?' Suara di seberang sana sudah lebih terdengar camas. "Aku lagi di panti. Jemput Kean. Tapi udah mau pulang sih," jawab Annisa. 'Gawat, Cha!" "Hah? Gawat? Apanya yang gawat, Mita?" 'Barra.' "Ada apa sama dia? Sampai kamu bilang gawat segala." 'Aku ketemu sama dia. Dia ada di sini. Makanya aku kasih tau kamu. Biar kamu tau.' "Telat!" 'Kok telat? Apanya yang telat?' "Aku juga tadi ketemu sama dia." 'Hah? Serius kamu? Terus gimana?' "Ya aku pergi aja." 'Dia ngenalin kamu?' "Entah! Dia cuma diem aja kok." 'Dia ngejar kamu?' "Ya enggak lah, Mita. Ngapain juga dia ngejar aku. Kayaknya dia juga gak peduli. Buktinya waktu ketemu sama aku juga dia biasa aja." 'Tapi, Cha. Apa kamu tau kalau sekarang dia juga bakalan tinggal lagi di sini?' "APA?" pekik Annisa. "Kamu tau dari mana?" 'Dia sendiri yang bilang.' Annisa diam. Entah itu kabar menyenangkan atau sebaliknya. Tetapi hati kecil senang karena ia bisa bertemu dengan putranya. Meski itu berarti ada kemungkinan ia akan bertemu lagi dengan Barra. *** "Semua udah siap, Ken?" Barra bertanya pada sang anak. Pagi itu ia akan mengantar putranya ke sekolah sebelum berangkat ke kantor. "Udah, Yah." Kenzo mengangguk. "Habiskan dulu sarapannya. Ayah antar Ken ke sekolah. Nanti pulang sekolah dijemput dan pulang ke rumah oma. Nanti pulang kerja ayah jemput Ken di rumah oma." "Oke. Ayah." Setelah selesai sarapan, Barra mengantar putra semata wayangnya ke sekolah. "Nanti kalau ada yang jahil atau usil, Ken lapor aja sama guru." "Iya, Ayah." "Jauhi juga yang namanya perempuan kalau Ken gak mau kena masalah." "Apa hubungannya, Yah?" "Ada, Ken. Perempuan itu suka sekali bikin masalah tapi gak mau disalahkan." "Apa ibu seperti itu?" Barra diam sejenak ketika mendapat pertanyaan dari sang anak. "Enggak. Ibu Ken baik. Cuma gak tau jalan pulang aja." Menghela napas panjang. "Yah ... 'kan sekarang ada maps. Kenapa ibu bisa tersesat?" tanya anak laki-laki itu. Barra terkekeh kemudian melihat jam yang melingkar di pergelangan. "Sebentar lagi waktunya masuk sekolah. Ayo, cepat turun! Ayah antar Ken sampai depan kelas." "Gak usah, Yah. Malu lah. Masa udah gede masih diantar sampai kelas." "Gak usah malu-malu. Pokoknya ayah antar Ken sampai—" "No, Ayah. Kalau Ayah antar, aku lebih baik gak sekolah. Titik!'' potong Kenzo sebelum ayahnya menyelesaikan kalimat. Barra menghela napas pasrah. "Baiklah. Ayah gak akan antara sampai kelas. Sampa gerbang sekolah aja." "Ayah ... kita ini lagi di tempat parkir sekolah. Gerbangnya udah kelewat," gerutu anak itu. "Oh iya." Barra tertawa. "Ya udah. Belajar yang rajin. Ingat pesan ayah." Mengecup puncak kepala sang anak. Tanpa bicara lagi, Kenzo turun dari mobil sang ayah, melambaikan tangan lalu berlari menjauh. Saat hendak melajukan kendaraan, perhatian Barra tertuju pada seorang gadis kecil yang entah kenapa membuatnya tertarik dan senang melihat anak itu kesal padanya. Barra turun dari mobil. Tepat saat anak perempuan yang ia incar melintas, gegas menarik tas anak itu hingga sang empunya pun berhenti melangkah dan berbalik menghadapnya. Barra tersenyum jahil ketika melihat anak perempuan yang memakai kerudung itu bercakak pinggang sambil melotot padanya. "Heh! Om Nyebelin! Ngapain tarik-tarik tas aku?" Siapa lagi kalau bukan Keandra yang bicara dan memanggil Barra seperti itu. Ia sudah menyadari kehadiran Barra di sana tetapi abai karena malas bicara tetapi ternyata pria itu mencari masalah dengannya sekarang. "Aku laporin ibu aku. Biar Om dijewer sama ibu!" imbuh Keandra dengan kesal. "Laporin aja! Saya gak takut. Mana ibu kamu? Ayo! panggil ke sini!" tantang Barra.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN