7 | Bertemu Kembali

1028 Kata
Annisa tersedak saat mendengar sang anak menyebut nama keramat itu. "Kean tadi bilang siapa namanya?" Bertanya untuk memastikan. "Om Barra.'' "Kean tau dari mana?" "Tadi mbaknya panggil nama om itu." Annisa menelan saliva dengan susah payah, diam sejenak kemudian kepalanya menggeleng pelan. 'Tidak. Tidak mungkin dia. Dia tinggal di luar kota. Tidak mungkin ada di sini. Mungkin hanya namanya saja yang kebetulan sama.' Ia bicara dalam hati. "Ibu kenapa?" Kean bertanya ketika melihat sang ibu menggelengkan kepala. "Tidak apa-apa, Sayang. Ayo, cepat habiskan! Kita harus segera pulang ke rumah," sahut Annisa. Anak perempuan yang mengenakan kerudung berwarna putih itu pun mengangguk tanda mengerti. *** Meski sudah berusaha abai dan meyakinkan diri bahwa Barra yang dimaksud sang anak adalah orang yang berbeda dengan yang ada dipikiran, tetapi tetap saja hal itu tidak cukup untuk membuatnya tenang. "Apa mungkin dia juga ada di sini? Tapi Mbak Ika bilang dia dan Kenzo tinggal di luar kota." Annisa yang tidak bisa pejamkan mata, bulak-balik di samping tempat tidur yang ada di kamarnya. "Ah, kalau pun benar itu dia, mungkin dia cuma lagi nengokin orangtuanya di sini. Wanita itu terus saja menerka sekaligus meyakinkan diri sendiri agar rasa cemasnya sedikit berkurang. "Bu ... Ibu udah tidur belum?" Terdengar suara ketukan di pintu. Annisa segera berjalan menuju pintu dan membukanya. "Kenapa, Sayang? Kean kok belum tidur?" "Bu, aku boleh tidur sama Ibu?" tanya Keandra yang datang membawa boneka beruang yang biasa ia peluk saat tidur. "Memangnya kenapa gak tidur di kamar Kean?" "Aku kangen dipeluk sama Ibu." Gadis kecil itu memeluk ibunya dengan erat. Annisa tersenyum. "Baiklah. Ayo, masuk!" "Makasih, Bu." Keandra masuk ke dalam kamar sang ibu lalu naik ke atas tempat tidur. Begitu juga dengan Annisa. Keduanya bersiap untuk tidur dengan mengunakan selimut yang sama. Keandra mendekati sang ibu setelah meletakkan boneka besar kesayangannya di sisi ranjang. "Sini, peluk ibu!" Dengan senang hati anak perempuan itu mendekati sang ibu dan masuk ke dalam pelukan hangat wanita dewasa yang merawatnya sedari kecil. "Sayang, Ibu boleh tanya sesuatu?" Annisa mengecup puncak kepala sang anak. "Boleh, Bu. Memangnya ibu mau tanya apa?" "Kean ingat gak ciri-ciri om yang Kean bilang nyebelin itu?" Keandra berpikir sejenak, kembali mengingat sosok pria yang siang tadi dua kali bertemu dengannya dan memberi kesan menyebalkan. "Wajah omnya ganteng, rambutnya ... em, hitam kayaknya. hidungnya mancung. Apa lagi ya? Aku gak lihat jelas sih, Bu. Abisnya aku males liat omnya. Sombong banget deh." Keandra berceloteh. Annisa terkekeh. Ciri-ciri yang dikatakan sang anak terdengar relatif. Sama sekali tidak menggambarkan tentang seseorang dengan lebih rinci. "Memangnya kenapa, Bu?" Keandra menengadah menatap sang ibu." "Gak apa-apa, Sayang. Ibu cuma tanya aja. Abisnya ibu heran, kok ada sih orang yang berani ngomelin anak kesayangan ibu," sahut Annisa sambil mencubit pucuk hidung sang anak dengan gemas. Gadis kecil itu hanya tertawa kemudian memeluk tubuh sang ibu dengan sayang. "Tidurlah, Sayang. Biar besok gak kesiangan sholat subuh," ujar Annisa, mengusap punggung sang putri yang hanya mengangguk dalam pelukannya. *** "Habiskan sarapannya, Sayang. Ibu udah masukin bekal Kean ke dalam tas. Jangan lupa nanti tempatnya di bawa pulang lagi." "Oke, Bu. Jadi nanti aku pulang ke panti ya, Bu?" "Iya, Sayang. Kean tunggu di sana aja. main sama anak-anak di sana. Mereka pasti seneng ada temen baru." "Iya, Bu. Ibu juga 'kan udah pernah ajak aku ke sana." "Oh iya. Ibu lupa." Annisa terkekeh. "Ya udah. Ayo, makan!" Ibu dan anak itu sarapan bersama dalam diam hingga akhirnya makanan dalam piring pun habis dan keduanya bersiap untuk berangkat. "Belajar yang pinter ya, Sayang. Nanti pulang dijemput Om Wira. Tunggu di panti, baru sore ibu jemput pas pulang kerja. Oke?" Annisa berkata pada sang anak, saat mengantarnya ke sekolah—pagi itu. "Oke, Bu. Aku masuk dulu." Keandra mengecup punggung dan telapak tangan sang ibu. "Dah, Ibu!" Melambaikan tangan sembari berjalan mundur. "Dah, Sayang.'' Annisa membalas lambaian tangan anaknya, tersenyum seraya menatap punggung gadis kecil itu kemudian berlalu setelah memastikan sang putri sudah masuk ke dalam area sekolah. Wanita itu melajukan kendaraan di jalan raya yang ramai hingga beberapa saat kemudian ia pun tiba di tempat tujuan. "Bismillah. Semoga semuanya lancar." Ia pun turun dari dari mobil, melangkah dengan yakin menuju tempat kerja barunya. *** Annisa bersyukur karena akhirnya ia bisa pulang dan pekerjaan hari ini lancar tanpa ada hambatan berarti. Jam kerjanya memang hanya sampai sore. "Belum pulang, Nis? Jam kerja kamu udah habis lho," ujar salah seorang wanita yang baru saja tiba di sana. "Eh? Bu Rossi. Iya, Bu. Saya sengaja tunggu ibu." "Walah ... maaf, ya. Saya tadi agak telat dari rumahnya karena ada sedikit masalah." Wanita bernama Rossi itu merasa tidak enak hati. "Iya, Bu. Tidak apa-apa. Ya sudah, kalau gitu saya permisi dulu, Bu. Saya masih harus jemput anak saya di panti asuhan." "Lain kali, kamu bisa ajak anak kamu ke sini aja kalau dia pulang sekolah. Biar kamu juga tenang kerjanya," ujar Rossi. "Terima kasih, Bu. Mungkin suatu hari jika terdesak saya akan bawa anak saya ke sini," sahut Annisa. Ia bersyukur punya atasan seperti Rossi. Yang baik dan mau mengerti keadaannya sebagai ibu tunggu bagi putrinya. "Kalau gitu, saya pulang dulu, Bu!" pamitnya. "Iya, silakan, Nis. Sekali lagi maaf ya saya udah bikin kamu nunggu." Annisa tersenyum ramah. "Tidak apa-apa, Bu. Saya permisi. Mari, Bu." "Silakan, Nisa," angguk Rossi, ramah. Dengan tergesa Anisa segera keluar dari ruangan manager. Ia harus segera tiba di panti karena sudah janji pada sang anak untuk menjemput tepat waktu. Meski sebenarnya ia sudah memberitahu Keandra bahwa ia akan terlambat karena masih ada pekerjaan. "Semoga aja Kean gak marah karena aku telat jemput," gumam Annisa seraya mendorong pintu keluar rumah makan tempat ia berada saat ini. Wanita itu berjalan cepat sembari membuka tas dan hendak mengambil kunci dari dalam sana."Kunci mobil di mana ya? Perasaan tadi aku simpan di sini." Karena berjalan tanpa melihat ke depan, masih sibuk mencari kunci kendaraan roda empat, akhirnya ia pun tidak dengaja menabrak seseorang. "Aduh!" Annisa mendengar suara seorang pria mengaduh tepat ketika ia menemukan kunci mobil. "Maaf, Saya tidak senga—" Wanita itu bicara sembari mengangkat kepala tetapi tidak sanggup melanjutkan ucapan ketika melihat siapa orang yang kini ada di hadapannya. 'Mas Barra!' Dalam hati ia menyebut nama orang itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN