6 | Om Nyebelin

1051 Kata
"Kenapa, Dok? Apa ada masalah?" Barra bertanya, menatap wanita itu dengan penuh tanya. "Oh ... tidak, Pak Barra. Saya hanya tiba-tiba teringat bahwa saya harus segera kembali ke rumah sakit," jawab Mita, mencari alasan. "Baiklah kalau begitu. Tolong kabari saya nanti kalau Dokter sudah mendapatkan informasi tentang ibu suusu Kenzo." "Baik, Pak." Mita mengangguk. "Kalau begitu, saya permisi, Pak Barra. Mari!" "Silakan, Dok." Mita kembali masuk ke dalam mobil yang bahkan tidak sempat ia matikan mesinnya tadi saat hampir saja menabrak Barra. Membunyikan klakson sekali ketika melewati Barra yang sudah menyingkir dari jalan. "Aku harus ngasih tau Icha kalau suaminya balik lagi ke sini. Bisa samaan gitu ya? Icha balik lagi ke sini, Barra juga. Takdir emang ajaib," gumam Mita. Ia membawa kendaraan roda empat yang dikemudikan sendiri itu ke bahu jalan dan berhenti di sana. Tetapi sebelum sempat menghubungi Annisa, ponselnya sudah lebih dahulu berdering. Ada panggilan dari rumah sakit. "Aku hubungi Icha nanti aja deh. Sekarang aku harus buru-buru ke rumah sakit." Dan ia pun kembali melajukan mobil karena ada hal mendesak di tempat ia bekerja. *** "Hai, Sayang." Annisa menyapa sang anak yang baru saja keluar dari area sekolah, menghampirinya yang sedang berdiri sambil bersandar pada badan mobil. Keandra tidak menjawab, ia meraih tangan sang ibu dan mengecupnya. "Bu, boleh aku makan es krim dulu sebelum pulang?" tanyanya. "Tapi jangan banyak-banyak." "Siap, Bos." "Ayo, masuk mobil!" Annisa membuka pintu kendaraan itu dan membiarkan sang anak masuk dan menutup pintu setelah memastikan putrinya duduk dengan nyaman. Setelahnya segera ia masuk melalui pintu pengemudi. Mobil pun melaju meninggalkan tempat itu. "Gimana sekolah baru? Udah punya teman?" tanya Annisa pada Keandra. "Udah sih, Bu." "Kok udah sih? Kayak gak yakin gitu." ''Abisnya tadi 'kan baru kenalan aja, Bu. Belum benar-benar tau bisa dijadiin teman atau enggak. 'Kan Ibu sendiri yang bilang, cari teman yang bisa bikin aku jadi orang yang lebih baik." "Itu kalau Kean mau cari temen baik, Sayang. Tapi kalau temen biasa, siapa pun bisa Kean jadikan teman asal Kean gak sampai terbawa arus pergaulan gak baik." "Iya, Bu. Aku juga ngerti maksud Ibu." "Ya Sudah. Namanya juga baru hari pertama sekolah, wajar kalau belum punya teman," sahut Annisa, "Ayo, turun, Sayang! Kita udah sampai." "Tadi aku ketemu om-om nyebelin, Bu, di sekolah." Dengan tangan saling berpegangan, Keandra bercerita pada sang ibu sambil melangkah masuk ke dalam sebuah toko yang menjual es krim dan juga kue basah. "Nyebelin gimana?" Annisa bertanya dan menoleh sesaat pada sang anak sebelum akhirnya kembali menatap lurus ke depan. "Nyebelin aja, Bu. Aku diomelin gitu karena aku gak sengaja nabrak. Waktu itu aku lagi ngobrol sama teman satu bangku aku sambil jalan." "Namanya siapa? Guru di sana atau gimana?" "Aku gak tau namanya siapa. Tapi kayaknya bukan guru deh. Temen baru aku yang udah lama sekolah di sana juga gak kenal. Katanya baru lihat." "Tapi Kean minta maaf 'kan?" "Udah, Bu. Tapi omnya malah ngomelin aku. Katanya aku gak sopan sama orang yang lebih tua." "Ya udah gak apa-apa, Sayang. Yang penting Kean udah minta maaf sama omnya." "Tapi aku sebel sama omnya, Bu. Masa aku minta maaf malah omelin. Ayah aku gak kayak Om Itu 'kan, Bu? Aku gak mau punya ayah yang nyebelin kayak Om Itu.'' Annisa hanya terkekeh mendengar ucapan sang anak. "Selamat siang, Bu,'' sapa seorang pegawai saat pasangan ibu dan anak itu membuka pintu masuk. "Silakan." "Makasih, Mbak." Annisa menjawab seraya mengangguk sopan. "Mau makan di sini atau di mobil?" Kali ini ia bertanya pada sang anak. "Di sini boleh, Bu?" "Boleh dong, Sayang. Makanya ibu tanya." "Ya udah. Di sini aja." "Oke. Kean duduk di sana, tunggu ibu." Annisa menunjuk salah satu kursi kosong yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri saat ini. "Ibu antri makanan dulu ya? Kalau ada apa-apa yang mencurigakan, Kean teriak ya?" "Iya, Ibu." Gadis kecil itu mengangguk patuh. "Bu, aku boleh pinjem HP Ibu? Mau maen game sambil nunggu Ibu." Annisa membuka tas dan merogoh ponsel dari dalam sana lalu memberikannya pada sang anak. "Makasih, Bu." "Iya, Sayang. Ya udah. Ibu antri dulu ya?!" "Iya, Bu." Sementara Annisa, meningalkan putrinya untuk mengantri makanan, Keandra pergi menuju meja yang tadi ditunjuk oleh sang ibu dan duduk menunggu di sana. "Eh? Kamu lagi." Tiba-tiba terdengar suara seseorang. Keandra pun mengangkat kepala dan menoleh pada seorang pria yang sedang berdiri di samping meja yang kursi ia duduki. "Om Nyebelin lagi," sahut Keandra seraya memutar bola mata. "Om sengaja ya, ngikutin aku?" tudingnya. "Ih! Gak usah kegeeran ya! Yang ada juga kamu yang ngikutin saya." Sang pria balik menuding Keandra. "Gak kebalik tuh, Om? 'Kan yang duluan nyampe ke sini itu aku. Berarti Om yang ngikutin aku." Keandra berkilah. "Dasar—" "Maaf, Pak Barra. Ini pesanan Anda." Salah seorang pegawai menyodorkan paper bag pada pria yang sejak tadi berdebat dengan Keandra. "Terima kasih." Barra berucap pada pegawai wanita tadi. "Sama-sama, Pak," balas sang pegawai, mengangguk sopan kemudian berlalu, kembali pada tugasnya. Sebelum pergi, Barra menoleh pada Keandra yang masih duduk di kursinya sembari memainkan ponsel. Menatap anak perempuan itu sesaat kemudian berlalu pergi. Sedangkan Keandra yang masih menunduk memandang layar ponsel, dengan ekor mata ia melihat Barra menjauh dari mejanya. Baru setelah itu ia mengangkat kepala. Kepala gadis itu berputar mengikuti ke mana pria dewasa yang menurutnya menyebalkan itu melangkah. "Huh ... dasar Om Nyebelin! Pasti ngikutin aku tuh, sampai ke sini," gerutunya sembari menatap Barra yang sudah berada di luar toko. "Ada apa, Sayang?" tanya Annisa yang melihat sang anak sedang asik melihat ke luar toko kue itu. "Itu, Bu. Om Nyebelin itu tadi datang juga ke sini. "Oh iya?" "Iya, Bu," angguk Keandra, "Ibu tau gak omnya bilang apa?" "Bilang apa memangnya?" "Katanya aku yang ngikutin omnya. Padahal 'kan kita yang duluan sampai ke sini. Ada juga omnya yang ngikutin kita 'kan, Bu?" cerocos Keandra, bercerita pada sang ibu. "Hem ... bisa kebetulan ketemu terus ya?" tanggap Annisa. "Tau deh. Aku juga sebenarnya males ketemu sama Om Nyebelin itu." "Ya udah, biar Kean gak kesel lagi, nih ... makan es krim vanilla kesukaan putri ibu yang paling cantik." Annisa menyodorkan es krim dalam mangkuk pada sang anak. "Makasih, Bu." "Sama-sama, Sayang." Annisa mengusap rambut sang anak dengan penuh kasih sayang. "Eh, iya, Bu. Aku sekarang udah tau nama Om Nyebelin itu siapa." "Siapa?" tanya Annisa kemudian memasukkan es krim ke dalam mulut. "Om Barra."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN