Annisa pucat saat mendengar nama ibu mertuanya di sebut oleh Mita. Menelan saliva dengan susah payah. Benar-benar takut dikenali oleh wanita paruh baya itu. Segera menggunakan masker untuk menutupi sebagian wajah.
Rima yang berada di belakang punggung Annisa, berjalan mendekati meja yang dua sahabat itu duduki.
Mita pun segera bangkit berdiri dari posisi duduknya. "Bu Rima mau makan?" Mita bertanya.
"Saya cuma mau ketemu sama orang sambil ngopi, Dok." Rima menjawab seadanya. "Dokter Mita sendiri?" Melirik sekilas pada Annisa yang juga sedang berdiri dengan kepala menunduk.
"Saya sama teman kebetulan baru selesai ngopi, Bu. Mau pulang karena saya masih harus ke rumah sakit," jawab Mita.
"Oh. Begitu." Rima mengangguk tanda mengerti.
"Maaf, Bu Rima, saya dan teman saya pulang duluan," pamit Mita.
"Silakan, Dok." Rima mengangguk.
"Permisi, Bu. Mari." Sekali lagi Mita pamit sambil mengangguk sopan pada Rima. "Ayo!" Ia menarik tangan Annisa
Ibu dua anak itu sempat mengangguk pada Rima meski tidak berani mengangkat kepala karena takut ibu mertua mengenalinya.
"Teman dokter Mita itu aneh. Dari tadi nunduk terus.Liat apaan sih?" gumam Rima sambil menoleh ke bawah, bekas Annisa berdiri tadi. "Gak ada apa-apa di sana."
Sementara Annisa dan Mita, sudah tiba di depan cafe yang mereka datangi tadi.
"Jantung aku hampir copot tadi, Mit, gara-gara denger suara mama," ujar Annisa sembari mengelus da'da.
"Makanya aku langsung ajak kamu pulang, Ca. untung juga kamu pakai masker. kalau enggak, pasti udah ketahuan," sahut Mita.
"Makasih, Mit. Tapi kalau dipikir-pikir, aku ini udah kayak buronan ya?" Annisa tergelak.
"Lah? Emang iya. Kamu ini buronan keluarga Prasetya," cibir Mita, "untung aja mereka gak tahu kalau kita ini sahabatan. Kalau tahu, mereka pasti cari informasi lewat aku."
"Ngomong-ngomong, kita harusnya jadi artis kali ya, Mit. Soal akting pura-pura gak kenal kita udah jago," timpal Annisa.
Dua wanita itu tertawa bersama.
Di sisi lain tetapi masih di tempat yang sama dengan Annisa dan Mita, seorang pria tampan turun dari mobil yang beberapa saat lalu tiba di halaman di tempat itu. Berdiri sambil merapikan pakaian yang sedikit kusut.
Ia kemudian melangkah diikuti oleh seorang pria tampan lain. Tetapi tiba-tiba saja ia menghentikan gerakan kaki. Diedarkannya pandangan ke sekitar kala mendengar suara seseorang.
"Ada apa, Pak Barra?" tanya pria yang berjalan di belakang.
"Alan, kamu masuk duluan. Kalau mama saya tanya, bilang aja ada barang yang tertinggal di mobil. Saya juga gak tahu kenapa mama ngajak saya ketemu di sini."
"Biar barangnya saya yang ambil saja, Pak." Pemuda bernama Alan itu menawarkan diri.
"Gak usah. Saya bisa ambil sendiri. Lakukan saja apa yang saya perintahkan!"
"Baik, Pak." Alan mengangguk dengan patuh dan masuk ke dalam cafe yang tadi didatangi Annisa Dan Mita.
Sementara Barra, sekali lagi mendengar tawa itu. Tawa yang sudah hampir pupus dari ingatan tetapi kembali mengusik hati. Terdengar begitu jelas. "Annisa," gumamnya. Ia pun segera berlari ke arah di mana tawa itu terdengar.
Tepat saat Barra tiba, Annisa menutup pintu mobil yang ia naiki. Setelah berpamitan pada Mita, ia memutuskan untuk kembali ke rumah sembari menunggu putranya yang masih berada di sekolah.
Mobil yang ia kendarai sendiri pun akhirnya melaju meninggalkan tempat itu tanpa tahu bahwa orang yang selama ini ia hindari ada di sana.
Sedangkan Barra, terus berjalan tanpa arah mencari sumber suara yang kini tidak lagi terdengar. Ia yakin itu adalah suara istrinya.
Tetapi tidak ada orang di tempat parkir itu. Hanya ada mobil kosong yang berderet rapi karena pemiliknya berada di dalam cafe. "Apa mungkin aku berhalusinasi? Tapi rasanya suara dia terdengar sangat jelas." Ia bergumam.
Barra malangkah dengan tidak fokus. Kakinya berjalan tanpa tujuan yang jelas. Sementara netra memindai sekitar. Hingga tiba-tiba ia terkejut ketika mendengar bunyi klakson yang memekakkan telinga.
Pria itu membeku saat menyadari bahwa ternyata sebuah mobil hampir menabraknya. Hanya berjarak beberapa centimeter saja dari kakinya yang sedang berdiri di tengah jalan yang biasa dilalui mobil yang handak keluar dari area cafe tersebut.
"Anda tidak apa? Maaf saya tidak melihat. Anda tadi muncul tiba-tiba." Suara seorang wanita terdengar dari belakang tubuh Barra.
Merasa mengenal suara itu, Barra pun berbalik. "Dokter Mita?''
"Pak Barra?" Setengah bergumam Mita menyebut nama itu. 'Untung aja Icha udah balik duluan. Hampir aja mereka ketemu,' batinnya.
"Anda tidak apa-apa, Pak?" Mita bertanya sesaat kemudian.
"Tidak, Dok. Saya tidak apa-apa. Terima kasih," jawab Barra sembari menggelengkan kepala.
"Alhamdulillah." Dokter cantik itu berucap syukur. "Saya tadi kaget Pak Barra muncul tapi tiba-tiba."
"Maaf, Dok. Saya tadi lagi kurang fokus jadi tidak begitu memperhatikan jalan."
"Yang penting Anda tidak apa-apa, Pak."
Barra hanya tersenyum sambil mengangguk.
"Pak Barra bukannya tinggal di Jakarta?"
"Oh iya. Kemarin saya tiba di sini," jawab Barra, tanpa menjelaskan bahwa ia akan tinggal lebih lama di kota yang sama dengan Mita.
"Oh. Begitu."
"Oh iya, Dok. Dokter masih ingat 'kan sama donor ASI-nya Kenzo?"
"Donor ASI Kenzo?" ulang Annisa untuk memastikan apa yang ia dengar.
"Iya. Kalau bisa, tolong bantu saya untuk bertemu dengan Beliau. Atau mungkin Dokter punya kontak yang bisa dihubungi, atau alamatnya pun boleh."
"Maaf, kalau boleh saya tahu, untuk apa ya, Pak?"
"Tidak apa-apa, Dok. Saya belum sempat berterima kasih sama Beliau karena sudah membantu Kenzo mendapatkan ASI selama dua tahun," jawab Barra.
"Oh. Soal itu. Dulu Beliau pernah mengatakan, senang bisa membantu Kenzo. Kebetulan dia juga punya bayi dan ASI-nya juga banyak. Jadi sebagian bisa diberikan untuk Kenzo. Jadi, Pak Barra tidak perlu terlalu memikirkan hal itu. Dan lagi Pak Barra pun membayar untuk setiap kantung ASI yang Kenzo minum," sahut Mita.
"Saya tetap merasa perlu berterima kasih, Dok. Hanya ASI Beliau yang mau Kenzo minum. ASI dari ibu lain Kenzo gak mau." Barra bersikukuh ingin bertemu dan berterima kasih langsung pada ibu sussu putranya.
Mita hanya tersenyum menanggapi ucapan Barra. Karena untuk saat ini ia tidak bisa mengabulkan permintaan pria itu.
"Apa Dokter Mita punya kontak atau alamatnya?" Barra bertanya lagi karena sang dokter tidak juga memberi jawaban yang jelas.
"Saya coba cari dulu tahu dulu, ya, Pak. Soalnya itu udah lama banget."
"Iya, Dok. Tidak apa-apa. Jika nanti dokter sudah mendapatkannya, tolong segera hubungi saya."
"Baik, Pak," angguk Mita, "oh iya, Pak. Bagaimana kabar Kenzo sekarang? Dia pasti sudah besar ya?" tanyanya.
"Alhamdulillah, Dok. Lain kali saya bawa Kenzo bertemu Dokter. Biar dia tahu bahwa dokter yang membantunya lahir ke dunia."
Mita hanya terkekeh.
"Kebetulan banget. Saya dan Kenzo akhirnya memutuskan untuk tinggal lagi di sini."
"APA?" pekik Mita.
Tentu saja hal itu membuat Barra terheran karena Mita seperti terkejut mendengar apa yang baru saja ia sampaikan.