4 | Bertemu Rima

1011 Kata
"Mita?" "Ternyata benar. Ini kamu, Cha." Mita tersenyum lebar. Kedua wanita itu saling memeluk dan melepas rindu karena sudah lama tidak bertemu langsung meski sering berkomunikasi melalui media sosial. "Aku kira kamu gak akan ngenalin aku sekarang," ujar Annisa sambil terkekeh. "Sekalipun penampilan kamu berubah banyak, memakai kerudung panjang, busana muslim, pakai masker juga yang nutupin wajah kamu, aku tetap kenalin kamu karena kamu sahabat aku, Icha," sahut Mita. Annisa hanya terkekeh. "Kita cari tempat buat ngobrol, yuk! Atau kamu lagi buru-buru?" tanya Mita. "Enggak. Hari ini aku masih santai, kok, Mita." Annisa menjawab. "Ya udah, yuk! Ada cafe di depan sana. Kita ngobrol di sana aja." Annisa mengangguk setuju. Dua wanita yang saling bersahabat itu pun memutuskan untuk bicara di sebuah cafe agar lebih leluasa untuk saling bertukar kabar dan cerita. "Kenapa kamu gak ngabarin aku kalau kamu jadi pindah ke sini, Cha?" Mita memulai obrolan ketika minuman yang mereka pesan sudah tersedia di atas meja. "Maaf, Mita. Aku lupa. Beberapa waktu terakhir ini aku sibuk ngurusin surat menyurat untuk pemindahan. Jadinya malah gak sempat ngabarin kamu," balas Annisa. "Kean gimana kabarnya? Dia pasti makin cantik sekarang." "Alhamdulillah baik. Tadi aku abis anterin dia ke sekolah." "Yang tadi itu? Kean sekolah di sana? Sekolah swasta itu cukup mahal 'kan?" "Iya, Mita. Aku ingin memberikan yang tebaik buat dia. Insya Allah tabungan pendidikannya masih cukup. Untung waktu itu aku nurutin kamu untuk simpan uang yang dikasih sama dia selama satu tahun kami hidup bersama. Dia juga kasih aku uang banyak setelah aku melahirkan Kenzo. Semua itu yang aku gunakan untuk membiayai Kean. lagi pula aku juga kerja." Annisa menjelaskan panjang lebar. "Aku paham kamu pasti ingin Kean mendapat yang terbaik, Cha." Annisa menggenggam tangan temannya. "Makasih, ya, karena selama ini kamu udah bantu aku, Mita. Aku gak tau deh kalau gak ada kamu, aku harus minta tolong sama siapa lagi," ucap Annisa dengan haru. "Sama-sama, Cha. Kita 'kan sahabat. Udah sepantasnya aku bantu kamu. Kamu juga 'kan sering bantu aku waktu kita masih kuliah," sahut Mita, membalas genggaman tangan sang teman. "Apa pun itu, Mita. Aku tetap makasih banget sama kamu. Karena bantuan kamu aku bisa sama Kean sekarang. Jadi aku gak kesepian karena harus jauh dari Kenzo." "Iya, Cha. Sama-sama," balas Mita, "terus sekarang gimana cara kamu tau kabar Kenzo? Selama ini 'kan pengasuh Ken yang merupakan kenalan aku yang selalu kasih kamu kabar soal Ken. Sekarang dia udah resign karena mau nikah." Annisa menghela napas panjang seraya melepaskan genggaman tangan mereka. "Itu dia masalahnya, Mita. Udah satu bulan sejak Mbak Ika resign aku gak tau gimana kabar Kenzo." "Tapi, Cha. Mau sampai kapan kamu sembunyi dari Barra? Cepat atau lambat mungkin saja kalian akan bertemu." Lagi. Annisa membuang napas berat. "Aku juga gak tau, Mita. Tapi ... untuk sekarang aku memang belum siap untuk ketemu lagi sama dia. Meskipun sebenarnya di sisi lain aku juga kengen sama Kenzo. Aku pengen ketemu sama dia. Biar bagaimanapun dia adalah putraku. Aku yang mengandung dan melahirkannya meski sejak awal pernikahan kami adalah sebuah kesalahan," lirihnya dengan sendu, "untung ada Kean yang nemenin aku selama ini." "Kamu bisa perjuangkan hak asuh buat anak kamu kalau kamu mau." Anissa menatap sang teman seraya tersenyum getir. "Menurut kamu, apa posisi aku kuat di mata hukum? Dia pasti nyari-nyari kesalahan aku, Mita. Lagi pula dia punya kekuasaan. Apa sih gak gak bisa dia dapatkan dengan semua yang keluarganya punya?' "Iya sih. Lalu apa rencana kamu sekarang?" "Aku belum tahu, Mita. Untuk sekarang aku jalani aja semuanya toh orang itu juga tinggal di Jakarta 'kan sekarang?! Ya setidaknya menurut kabar yang aku dengar dari Mbak Ika terakhir kali sebelum dia resign, satu bulan yang lalu orang itu dan Kenzo masih tinggal di sana." "Tapi kamu yakin dia udah gak nyari kamu?" "Entah. Tapi memangnya buat apa lagi dia nyariin aku? Dia sendiri yang minta aku pergi setelah aku melahirkan anaknya. Aku udah lakukan semua sesuatu kontrak yang kami tandatangani di awal pernikahan meskipun aku terpaksa menyepakatinya.'' "Siapa tahu aja dia berubah pikiran. menurut Mbak Ika, dia tidak pernah mengatakan bahwa kamu udah gak ada pada Kenzo. Barra cuma bilang sama Kenzo kalau ibunya lagi tersesat di luar sana." "Memang gak waras itu orang. Bilang aku tersesat. Dia kira aku ini orang lupa ingatan yang gak tau jalan pulang—apa?!" Suara Annisa terdengar dipenuhi emosi saat mengingat pria itu. Barra memang tidak pernah melukai fisiknya. Selama hamil pun sang suami menjaganya dengan baik. Tetapi ia tahu itu semua dilakukan hanya demi anak yang ia kandung. Dan lagi ucapan pria itu kerap kali menyakiti hatinya. Mita hanya terkekeh mendengar Annisa menggerutu. "Sayang aja dia gak pakai suster lagi setelah Mbak Ika resign. Padahal kalau dia pakai suster lagi, aku bisa minta tolong Mbak Ika buat mintain kontaknya jadi aku masih bisa tahu kabar tentang Kenzo," ujar Annisa, menyesalkan keputusan Barra yang merugikan dirinya. "Kamu pernah gak sih, Cha, bayangin apa yang akan terjadi kalau kalian bertemu lagi?" "Sering. Itu salah satu hal yang mengganggu pikiranku. Dia bener-bener bikin aku hidup gak tenang selama ini." Annisa menjawab seraya menatap kosong. Mita menghela napas panjang. "Memang isi hati seseorang itu kita tidak pernah tahu. Barra yang terlihat baik di awal itu ternyata menyembunyikan niat gak baik pada akhirnya," komentar dokter cantik bernama Paramitha itu. "Aku yang salah. Aku yang mudah percaya sama bujuk rayu orang itu." "Mertua kamu gimana? Mereka baik 'kan?" "Tetap saja, Mita. Mereka pasti akan berpihak pada anaknya. Aku yakin di mata mereka aku yang salah karena meninggalkan anak dan cucunya. Orang itu gak mungkin cerita soal perjanjian awal kami." Raut wajah Annisa terlihat sendu. "Udah, ah. Gak usah lagi bahas soal itu. Bukan waktunya untuk menyesali semua. Apa pun yang terjadi sekarang memang itulah yang seharusnya terjadi. lebih baik kamu sekarang fokus pada Kean aja." Mita tidak ingin melihat sahabatnya bersedih. "Iya, kamu benar, Mita. Untung ada Kean. Setidaknya aku gak merasa kesepian setelah aku harus kehilangan Kenzo." Annisa tersenyum. "Dokter Mita?" Sang empunya nama menoleh saat mendengar namanya disebut. Bola mata membulat seketika. "Bu–Bu Rima?" Terbata saat melihat ibunda Barra ada di sana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN