3 | Tahun Berlalu

1007 Kata
Tujuh tahun kemudian. "Kenzo lagi liat apa?'' tanya seorang pria pada putranya yang berusia enam tahun dan tengah duduk di kursi sofa sembari menatap layar ponsel. "Ini, Ayah. Ada anak umurnya sama dengan aku tapi dia pintar. Udah jadi juara lomba lukis tingkat nasional," jawab anak laki-laki bernama Kenzo itu. "Benarkah? Coba ayah lihat," sahut sang ayah. "Ini, Ayah!" Kenzo menyodorkan ponsel pada sang ayah. Pria dewasa itu pun menerimanya. Melihat sebuah artikel yang memuat tentang berita yang disampaikan sang anak. Ia pun menggeser layar hingga ke bawah tetapi tidak menemukan foto anak yang konon juara melukis itu. Karena penasaran ia pun mencari artikel lain yang berhubungan. Tetapi sama saja, tidak ada foto yang bersangkutan sebagai pelengkap. Hanya ada foto dari hasil lukis yang memang bagus. "Dia pintar 'kan, Ayah?" tanya Kenzo dengan tatapan polosnya. Sang ayah tersenyum. "Ken juga pintar. Masih enam tahun tapi sudah pandai mengoperasikan komputer, sudah pandai membaca apalagi menulis. Ken juga pandai menggambar digital," pujinya. "Maaf, Pak Barra, mobilnya sudah siap," ujar seorang pria dengan sopan. "Ayo, Boy. Kita harus berangkat sekarang," ajak pria yang ternyata adalah Barra. "Ayah, kenapa kita harus pindah?" Kenzo bertanya seraya menatap wajah ayahnya, penuh tanya. Barra tersenyum sambil membingkai wajah sang anak. "Ayah ada kerjaan, Sayang. Terus nanti di sana Ken gak sendirian lagi. Ada oma dan opa yang memenin Ken kalau ayah kerja. 'Kan sekarang Sus Ika udah gak kerja." "Benar, Ayah? Kita akan pindah ke rumah oma dan opa?" tanya anak itu dengan antusias. "Iya, Sayang." Barra mengangguk. Ia akhirnya memutuskan untuk kembali ke kota kelahiran setelah empat tahun terakhir ini tinggal di ibu kota karena urusan pekerjaan dan membawa serta sang anak. Dua tahun pertama sejak anaknya lahir dan Annisa pergi, ia masih tinggal di kota Bandung karena donor ASI yang cocok untuk sang anak ada di sana. Setelah Kenzo tidak lagi membutuhkan ASI, ia pun membawa serta anak itu pindah ketika ada perusahaan milik keluarga yang membutuhkannya. "Ayo! Kita berangkat, Sayang. Oma dan opa pasti senang Ken tinggal sama mereka," ajak Barra seraya bangkit berdiri. "Tapi, Ayah ... apa aku bisa ketemu ibu di sana?" Pertanyaan Kenzo membuat Barra tertegun. Ia pun tidak tahu di mana wanita itu berada. Dua hari setelah melahirkan, Annisa pergi tanpa pamit, meninggalkan Barra bersama putranya. Ia sudah mengerahkan semua anak buah untuk mencari Annisa, tetapi nihil. Wanita itu hilang bak ditelan bumi. "Ayah! Kenapa Ayah diam aja? Aku bisa ketemu ibu di sana 'kan, Ayah?" Kenzo menggoyangkan tangan sang ayah, manatap penuh harap. Barra yang sudah berdiri kembali duduk di samping putra semata wayangnya. "Ken berdoa saja kalau mau ketemu ibu," ujarnya sambil mengusap puncak kepala sang anak kemudian mendaratkan kecupan di kening anak itu. "Iya, Ayah," angguk Kenzo dengan patuh, "aku akan berdoa terus supaya aku bisa ketemu ibu." "Anak pintar!" Barra sekali lagi memuji anaknya. "Ayo! Ken sudah siap bertemu oma dan opa 'kan?" "Siap, Bos!" seru Kenzo dengan rasa riang. Pasangan ayah dan anak itu pun akhirnya berangkat dengan menggunakan mobil pribadi meninggalkan ibu kota, menuju kota asal yang penuh dengan kenangan bagi Barra. *** "Oma!" pekik Kenzo ketika tiba di rumah sang nenek. "Ken? Cucu kesayangan oma," sahut Rima—ibunda Barra. Memeluk sang cucu dengan erat, melepas rindu karena cukup lama mereka tidak bertemu. "Oma, di mana opa?" tanya Kenzo, mengurai pelukan. "Ada. Di dalam lagi minum kopi. Opa pasti terkejut lihat Ken ada di sini," jawab Rima. "Aku ke dalam dulu, Oma. Mau kagetin opa," pamit Kenzo kemudian berlalu, berlari tanpa menunggu jawaban sang oma. "Jangan lari-lari, Sayang," teriak Barra yang baru saja tiba di depan rumah dengan membawa koper. ''Ma, sehat?" "Alhamdulillah, mama sehat. Gimana? Kamu udah nenuin istri kamu?" Barra menggelengkan kepala sebagai jawaban. "Belum, Ma." "Kamu pasti melakukan kesalahan besar sampai dia pergi," tuding Rima, menyalahkan anaknya. "Mama kenapa selalu nyalahin aku sih? Dia yang pergi tanpa pamit lho. Kenapa harus aku yang Mama salahkan terus?" protes Barra dengan sebal, tidak rela disalahkan meskipun benar, Annisa pergi karena dia yang meminta. "Karena mama tahu dia wanita baik-baik. Jika dia pergi itu pasti salah kamu. Tidak mungkin ada wanita mau meninggalkan anak kandungnya sendiri tanpa alasan yang jelas. Apalagi waktu itu Ken masih bayi," balas Rima. Barra hanya memutar bola mata mendengar ucapan ibunya. Tetapi tidak membalas karena akan percuma. Meski ayah dan ibu tidak pernah bertanya masalah dalam rumah tangganya, bagi mereka tetap saja ia yang salah karena Annisa adalah menantu kesayangan. *** "Sayang! Ayo, cepat! Kita hampir kesiangan. Ini hari pertama Kean sekolah di sekolah baru lho," teriak seorang wanita berkerudung yang tengah menyiapkan sarapan di meja makan. "Iya, Bu," sahut seorang anak perempuan yang baru saja keluar dari kamar. "Kenapa sih, Bu, kita harus pindah ke sini? Aku 'kan jadi harus nyari teman baru." Ia dan ibunya baru satu bulan yang lalu pindah ke kota ini. Sebelumnya mereka tinggal di sebuah kota kecil. "Kean ... ibu 'kan ada kerjaan di sini, Sayang. Ini juga kota kelahiran kita. Apa Kean lupa?" "Aku ingat, Bu." "Ya sudah. Cepat makan dan habiskan. Ibu antar Kean ke sekolah. Hari ini insya Allah ibu yang jemput. Tapi besok Kean dijemput Om Wira." "Oke, Bu." Setelah selesai makan, Anak perempuan bernama Keandra berangkat ke sekolah diantar oleh sang ibu. "Jangan lupa pakai maskernya kalau di luar sekolah, Kean." Sang ibu mengingatkan anaknya. "Iya, Bu. Aku juga lebih nyaman pakai masker kalau ke luar rumah," balas Keandra. ''Baiklah anak ibu yang cantik, ibu pulang dulu. Kean jaga diri. Ingat pesan ibu. Jangan bicara sama orang yang gak Kean kenal. Oke?!" "Siap, Bos," sahut Keandra sembari mengangkat tangan ke posisi hormat. "Pintar," puji wanita itu kemudian mengecup kening putri yang ia besarkan seorang diri itu. "Masuk, sana!" Keandra pun berlari menuju gerbang masuk sekolah. Ia berhenti sesaat kemudian berbalik, melambaikan tangan pada ibunya. "Dah, Ibu!" "Dadah, Sayang! Sampai ketemu lagi nanti!" balas wanita cantik berkerudung panjang itu, melambaikan tangan seraya tersenyum pada putrinya. Ia pun masih berdiri di tempat sembari memandang punggung sang anak yang berlari kian menjauh. "Icha!" panggil seseorang, membuat ibunda Keandra itu menoleh ke arah dari mana suara itu terdengar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN