Masih pagi, tetapi Kartika telah ketakutan dan bersembunyi di sudut rumah—ah bukan, lebih tepatnya sudut kamar kontrakannya yang memang begini adanya. Karena sebenarnya, rumah yang ia tempati hanya terdiri dari satu ruang kamar yang disekat-sekat, dan bimsalabim jadilah rumah yang mini yang Kartika rasa sangat nyaman untuk ditinggali. Kartika kembali menutup telinganya, dengan kuat mencoba untuk menghindari suara yang kini sangat menakutkan bagi Kartika. Suara dering, tanda pesan singkat yang masuk ke ponselnya.
Tadi, saat Kartika baru saja bangun tidur, ponselnya berdering beberapa kali. Tanda jika ada pesan beruntun yang masuk, setelah mengeceknya, Kartika menjadi ketakutan. Ternyata pesan-pesan tersebut datang dari nomor yang disembunyikan. Namun yang membuat Kartika ketakutan adalah isi pesannya yang berupa ancaman dan peringatan baginya.
Jangan pulang malam lagi, atau aku akan melakukan hal yang lebih menakutkan lagi bagimu Tika-ku Sayang!
Ah, dan jangan dekat pria banci itu lagi!
Atau kupotong tangannya.
Berhenti bekerja di kafe itu!
Apa kau tak mau menurut padaku?
Jika iya, maka siapkan dirimu untuk mendapatkan hukuman yang tak pernah kaubayangkan!
Dan satu lagi, jangan takut padaku Sayang. Aku mataharimu. Dan matahari tak akan pernah melukai bintang kecil yang ia cintai.
Kartika meremas dan menjambak rambutnya sendiri, saat mengingat pesan-pesan menakutkan itu. Ia ingin melupakannya, itu terlalu menakutkan untuk ia simpan dalam memorinya.
"Tika! Kamu di rumah kan? Buka dong pintunya!"
Kartika mengurai remasan rambutnya dan mengangkat kepalanya saat mendengar teriakan Venty, disusul ketukan di pintu kontrakannya. Ia juga baru sadar jika dering ponselnya sudah tak terdengar lagi. Venty, ya itu Venty, sahabatnya. Kartika bisa meminta bantuan Venty saat ini. Kartika bangkit dari kasurnya, dan melangkah gontai menuju pintu. Ia membukanya dan melihat Venty yang berdiri di sana dengan wajah kesal. Tapi ekspresi wajah Venty segera berubah saat melihat bagaimana pucatnya Kartika.
"Kamu kenapa? Kamu sakit?" Venty langsung menempelkan punggung tangannya ke kening Kartika. Tentu saja Venty merasa sangat cemas dengan kondisi sahabatnya itu. Namun suhu tubuh Kartika normal, tidak ada tanda-tanda sakit kecuali wajah Kartika yang memang terlihat pucat pasi.
Venty segera membawa Kartika ke dalam rumah dan membuatkan teh hangat, seakan-akan jika dirinyalah tuan rumahnya. Kartika sendiri dengan takut meraih ponselnya, ia menguatkan hati untuk mengecek semua pesan masuk yang belum ia baca. Namun betapa terkejutnya Kartika, saat tak menemukan pesan-pesan misterius dari nomor tersembunyi yang sebelumnya telah ia terima. Bagaimana bisa pesan tersebut hilang begitu saja? Sebenarnya, siapa yang mengiriminya pesan seperti itu, dan apa alasannya? Sepertinya, Kartika harus mengganti nomor ponselnya.
Ini benar-benar aneh dan menakutkan tentunya. Orang yang melakukan semua ini pada Kartika benar-benar menyeramkan. Apakah selama ini, Kartika tanpa sadar pernah menyinggung seseorang? Dan kini orang tersebut, kini mengganggunya demi membalas dendam? Oh tidak, kini Kartika mulai paranoid dan berpikir yang tidak-tidak. Lamunan Kartika buyar saat Venty kembali dengan dua gelas teh hangat. Kini Venty duduk di hadapannya dan merebut ponsel di tangan Kartika.
Diam-diam, Kartika menghela napas lega karena pesan misterius yang ia terima telah menghilang. Karena jika Venty sampai tahu, Venty pasti akan memaksa dirinya untuk tinggal bersama di rumahnya, dengan alasan tidak aman bagi Kartika tinggal sendiri. Anggi dan Guntur, bahkan Affa dan Senu tentu sudah dipastikan akan ikut merasa panic dan memaksanya untuk tinggal di salah satu kediaman mereka. Karena itulah, Kartika agak merasa lega karena pesan menakutkan yang datang dengan kesan misterius itu, kembali menghilang dengan cara yang tak kalah misterius.
"Masa sms sama telepon aku dicuekin. Nyebelin banget!" seru Venty kesal.
"Maaf, aku baru bangun," ucap Kartika membela diri.
Venty seketika memicingkan matanya. Mencoba menelisik sahabatnya itu. Karena bagi Venty, suatu keanehan jika Kartika bangun siang. Sepertinya ada sesuatu yang terjadi, dan Kartika tak mengatakannya. Venty menghela napas. Kartika masih saja bersikap seperti ini. Padahal, Venty sama sekali tidak merasa terganggu jika Kartia merepotkan dirinya. Venty malah merasa jika Kartika memang menganggapnya berarti dan mempercayainya jika dirinya melakukan hal itu.
"Aku tadi malem lembur," ucap Kartika lagi. Ia tahu, jika Venty tengah curiga padanya. Mendengar perkataan Kartika, Venty mengernyitkan keningnya dan menelisik kemungkinan jika Kartika berbohong padanya. Pada akhirnya Venty mengangguk, membuat Kartika menghela napas lega.
"Ya udah, sana mandi! Aku bawa sarapan buatan Papah. Kamu suka, ‘kan?" tanya Venty lagi sembari membuka satu set kotak bekal yang disiapkan oleh Guntur—papahnya.
Kartika mengangguk, tentu saja ia senang dengan masakan Guntur yang memang terasa lezat. Tanpa pikir panjang, Kartika bangkit untuk segera membersihkan diri. Ia harus melupakan masalah pesan aneh tersebut, karena ia tak boleh membuat Venty khawatir padanya.
***
"Eh ini kan jalan--" Kartika terlihat terkejut saat menyadari jika jalan yang tengah dilalui mobil Venty, tidak menuju restoran tempatnya bekerja.
"Hehe, iya ini jalan ke rumah Tante Affa," ucap Venty pada Kartika.
"Kan aku mau kerja, nanti kalau telat gimana?" protes Kartika.
"Tenang, restorannya libur kok."
"Sok tau kamu. Emang tau dari siapa kalo restoran libur? Aku aja yang kerja gak tau," gerutu Kartika.
"Tadi Mbak Ailan sms, aku baca pas kamu mandi. Hehe maaf."
Kartika menghela napas. Selalu saja seperti ini. "Terus kenapa kita ke rumah Tante Affa?" tanya Affa lagi. Toh tidak ada gunanya jika dirinya meminta untuk putar balik, Venty dan keinginannya sama sekali tidak bisa dilawan.
"Kita kan belum makan siang," jawab Kartika santai dan mengendarai mobilnya untuk memasuki pekarangan luas milik Affa dan Senu.
"Tunggu, kita mau numpang makan siang?! Ih Venty, kalo laper ngomong dong sama aku. Tadi aku pasti masak sesuatu buat makan siang kita. Aku gak mau ngerepotin Tante sama Om," ucap Kartika pada Venty begitu mobil yang sahabatnya kendarai tiba di pelataran kediaman Sequis yang tak lain adalah kediaman dari Affa dan Senu.
"Apaan sih? Om Senu sendiri yang ngundang kita makan siang, jadi gak usah mikir begitu. Udah ah, ayo masuk. Pasti kita udah ditungguin."
Venty segera turun dari mobil dan menarik Kartika untuk masuk ke dalam mansion keluarga Sequis yang kemewahannya tak perlu dipertanyakan lagi. Seorang pelayan menyambut kedatangan keduanya, dan memimpin jalan menuju ruang makan. Kedatangan keduanya memang telah ditunggu oleh Affa dan Senu yang telah duduk di tempat mereka masing-masing di meja makan. Tepatnya, Senu duduk di kepala meja. Lalu Affa dudu di samping kanannya. Venty duduk di samping kiri Senu, sedangkan Kartika duduk di samping Venty.
Affa terlihat sangat senang, karena Venty berhasil membawa Kartika untuk makan bersama. Entah mengapa, sejak pertama kali bertemu dengan Kartika, Affa memang telah menyukai Kartika. Ia menyayangi Kartika dengan sepenuh hati. Bahkan Affa sempat terpikir untuk menjodohkan Kartika dengan putra kesayangannya. Bukan sempat, sampai saat ini pun Affa masih memiliki pemikiran seperti itu. Affa menepuk tangannya saat mengingat putranya itu. Senu yang melihat tingkah menggemaskan Affa, tak bisa menahan diri untuk mencuri kecupan di pipi istrinya itu.
Affa tak berhasil menghindari kecupan itu dan berakhir mengerucutkan bibirnya. Dua hari ini, Affa memang tengah berusaha mendiamkan Senu. Hal itu tak terlepas karena Senu bekerja sama dengan putranya. Dan membuat Affa kesal bukan main. Senu mencubit pipi Affa, dan mengalihkan perhatiannya pada Venty yang kini terkekeh bersama Kartika. "Apa kalian sudah lapar?" tanya Senu.
"Venty belum terlalu laper sih," jawab Venty sedangkan Kartika, menjawab dengan suara perutnya yang berbunyi keras. Pipi Kartika memerah karenanya. Ia sungguh malu. Perutnya tak bisa diajak kompromi.
Tingkah menggemaskan Kartika membuat orang-orang terkekeh renyah. Senu berdehem untuk menghentikan tawa, dan berucap, "Kartika, Om harap bersabar dulu ya. Kita harus menunggu seseorang yang juga akan bergabung dengan acara makan siang kita."
Keempatnya kembali berbincang ringan, membiarkan para pelayan hilir mudik menyiapkan makan siang untuk mereka. Tapi ruang makan yang cukup ramai tersebut, tiba-tiba hening seiring dengan aura dingin yang menyebar di ruang makan tersebut. Kartika menoleh pada sumber aura dingin tersebut. Matanya membulat saat melihat sosok yang telah lama tak ia temui. Sosok yang merupakan perwujudan nyata dari ketakutan terbesar milik Kartika.
Tubuh Kartika bergetar hebat. Wajahnya yang mungil memucat dengan cepat. Sepertinya kondisi Kartika tersebut luput dari perhatian orang-orang. Karena semua orang, juga tengah menatap pada seseorang yang kini melangkah menuju meja makan. Seseorang dengan aura dingin serta dominan yang begitu kuat. Sosok tersebut kini duduk tepat di seberang Kartika. Getaran tubuh Kartika bertambah kuat, saat dirinya di tatap dengan intens oleh orang tersebut.
"Nah, karena orang yang kita tunggu sudah datang. Sekarang kita mulai makan siangnya."
Venty menyadari keanehan Kartika dan segera menggenggam tangan Kartika. Menenangkan sahabatnya tersebut. "Om sama Tante kok gak bilang," ucap Venty kesal.
"Bilang apa Sayang?" tanya Affa bingung.
"Nggak bilang kalau Kak Baskara ...."
"Sudah pulang? Itu maksudmu?" tanya seorang pria yang barusan Venty sebut namanya.
Ya. Sosok yang selama ini selalu Kartika takuti adalah Baskara. Putra satu-satunya dari Senu dan Affa. Yang juga, merupakan pewaris sah satu-satunya dari kerajaan bisnis dan teknologi Sequis. Baskara Prins Sequis, itulah nama panjangnya. Tapi semua orang menyapa dirinya dengan nama Baskara. Sosoknya sangat sempurna. Wajahnya tampan dengan lesung pipit yang terukir manis di pipinya. Lalu sorot matanya yang tajam, mampu mengintimidasi siapa pun yang melihatnya. Namun manik matanya yang tajam itu juga mengundang siapa pun untuk berulang kali mencuri pandang.
Kecerdasan serta seluruh prestasi yang telah ia raih, tanpa nama besar orang tuanya menjadi nilai plus dari Baskara. Sosoknya memang layak menyandang nama itu. Sang Matahari. Yang menjadi pusat semesta. Begitu agung, dan menarik perhatian. Namun begitu sulit untuk didekati.
Venty yang mendapatkan tatapan mengintimidasi dari Baskara, mengerut takut. Baskara ternyata berubah lebih menyeramkan setelah lama tak bertemu. Ketakutan Kartika sendiri belum membaik. Tubuhnya masih bergetar hebat. Kepalanya menunduk dengan napas yang tersendat. Menyadari ketakutan kedua gadis tersebut Affa mencubit perut liat Baskara dengan kesal. Dari kemarin, dirinya masih kesal pada putranya itu. Setelah hampir tujuh tahun tak pernah pulang ke rumah, dan hanya memberikan kabar singkat, kemarin tiba-tiba Baskara telah berada di kamarnya.
Affa tak tahu tepatnya kapan Baskara pulang. Namun ia bisa menyimpulkan jika Senu membantu Baskara. Itu sungguh membuatnya kesal. Bagaimana tidak? Tujuh tahun bukan waktu yang singkat untuk berpisah dengan putra yang begitu Affa sayangi. Ia hanya bisa bertukar kabar lewat sambungan telepon, dan melihat foto terbaru yang putranya kirimkan. Selama tujuh tahun itu, Affa merasa sangat tersiksa. Tersiksa oleh rindu pada putra satu-satunya itu. Dan saat putranya pulang. Affa tak bisa memberikan sambutan yang pantas. Sambutan yang telah lama ia rencanakan, jika putranya pulang. Kekesalan Affa masih berlangsung hingga saat ini.
"Babas, jangan menatap Kartika dan Venty seperti itu! Kamu membuat mereka ketakutan."
Baskara tak bereaksi saat mendapatkan cubitan pedas dari Affa. Ia masih menatap pada Kartika di seberangnya, gadis itu tampak menunduk dalam tak berani untuk beradu tatap dengannya. Senu mengetuk meja makan untuk memperingatkan putranya. Baskara yang mengerti sinyal dari Senu, hanya mendengkus dan mengalihkan pandangannya.
"Karena semua orang sudah datang. Mari kita mulai makan siangnya. Ayo Kartika, makanlah!" ucap Senu mencoba untuk mengurangi ketakutan gadis satu itu.
Venty menepuk tangan Kartika dan berbisik, "Tenang. Kak Baskara gak jahat kok, dia cuma sedikit galak doang. Lagian ada Tante Affa di sini, Kak Baskara gak mungkin macem-macem. Tante kan pawangnya Kak Baskara."
Venty merasa menyesal. Jika dirinya tahu, jika Baskara telah pulang, ia tak akan mungkin membawa Kartika ke sini. Karena dirinya tahu, bahwa Kartika sangat takut, dan akan berubah seperti ini ketika bertemu dengan Baskara. Venty sendiri tak tahu, mengapa Kartika bisa setakut ini pada Baskara. Ketika Venty menanyakan alasannya, Kartika selalu bungkam. Dan Venty juga tak ingin memaksa, ia membiarkan Kartika membuka dirinya sendiri, tanpa paksaan dirinya.
Makan siang dimulai. Semua orang makan dengan santai, kecuali Kartika. Tangannya yang bergetar kesulitan membawa sendok menuju mulutnya. Ia terlalu terintimidasi dengan kehadiran Baskara didekatnya. Hingga makan siang selesai. Kartika hanya makan beberapa suap nasi. Tadinya, Kartika sudah akan meminta untuk segera diantar pulang oleh Venty. Namun Affa lebih dahulu menarik dirinya dan Venty menuju perpustakaan keluarga Sequis yang sangat lengkap koleksi bukunya.
Affa yang tahu jika Kartika akan segera mengikuti ujian paket C, memaksa agar Kartika belajar di sana dengan Venty yang mengajarinya. Kartika jelas tak bisa menolak kebaikan dari Affa, tetapi ternyata Venty tak bisa menemani Kartika, karena dirinya baru saja mendapatkan telepon bahwa ada kuis dadakan. Jadi Venty harus segera menuju kampusnya. Saat itu pula, Kartika panik karena ditinggal oleh Venty. Awalnya Venty tak akan meninggalkan Kartika di sana.
Namun, Affa dan Senu tak mengizinkannya membawa Kartika pergi. Mereka ingin agar Kartika belajar di perpustakaan mereka. Yang suasananya sangat mendukung untuk belajar. Dan Venty tak bisa menolak apa yang diinginkan Affa serta Senu. Mungkin nanti, ia akan menghubungi Kartika untuk mengucapkan maafnya.
Saat Venty pergi, Senu juga segera kembali ke perusahaannya, karena waktu istirahat makan siangnya telah selesai. Masih banyak pekerjaan yang harus ia urus, hanya saja tadi ia pulang untuk memenuhi jadwal hariannya untuk makan siang bersama dengan Affa. Dan karena Affa tidak mau mengantar makan siang ke kantor, maka Senu yang pulang untuk makan siang bersama.
Affa terlihat antusias, ia membawa Kartika menuju lantai dua perpustakaan yang di tata menjadi ruang baca yang sangat nyaman, dan suasananya sangat mendukung untuk belajar. "Nah, karena Kartika gak punya guru buat belajar, gimana kalau Baskara aja yang jadi guru? Kartika mau kan?" tanya Affa sembari menarik Kartika untuk duduk di atas karpet lembut yang menghampar di sepanjang lantai dua.
"Ah gak usah Tante, Tika gak mau ngerepotin," jawab Kartika cepat. Ia tak mau berduaan dengan Baskara. Ia belum siap.
"Enggak kok, iya kan Bas? Babas lagi gak sibuk kan? Bisa bantuin Kartika belajar buat ujian?" tanya Affa sambil menatap lurus ke belakang punggung Kartika.
Kartika berubah kaku. Ia tak berani menoleh. Karena ia yakin, bahwa di sana Baskara telah berdiri dengan tatapan mengintimidasi khas miliknya.
"Aku senggang hari ini."
Dan jawaban Baskara membuat Affa tersenyum senang, berbeda dengan Kartika yang mulai bergetar ketakutan lagi.
"Ya sudah, ayo ajari Kartika. Mamah, mau buat cemilan buat kalian dulu. Jangan galak-galak ya ngajarinnya. Nanti Tika makin takut." Affa bangkit dan mengelus tangan Baskara, sebelum pergi ke dapur. Baskara melangkah dan mengambil tempat di samping Kartika. Ia menatap buku yang terbuka di hadapan Kartika. Baskara mendekatkan wajahnya pada Kartika yang masih menunduk dalam.
Baskara berbisik rendah tepat di telinga Kartika, "Belajar, Kartika."
Dengan gerakan kikuk, Kartika mulai membuka bukunya dan mencoba belajar di bawah tekanan Baskara. Namun banyak materi yang belum dikuasai oleh Kartika, jadi Baskara harus berkali-kali menjelaskan. Dan sepertinya, Baskara mulai kesal karena Kartika tidak paham-paham juga. Baskara menutup buku Kartika dan mengetuknya dengan jari-jarinya. "Apa kau sedang mempermainkan aku?"
"E-enggak Kak," jawab Kartika sembari mencoba bergeser, bergerak sejauh mungkin dari sosok tinggi besar Baskara. Namun Baskara dengan sigap menahan pinggang Kartika agar tak berhasil menjauhkan diri. Ia memeluk pinggang ramping Kartika dengan erat, kepalanya bergerak otomatis menuju leher dan telinga Kartika.
Baskara mengembuskan napasnya di telinga Kartika sebelum berbisik, "Jangan main-main denganku Kartika. Saat aku perintahkan untuk belajar, maka belajar. Jika kau tidak menurut, kau jelas tahu, apa yang akan aku lakukan padamu."
Lalu Baskara mengakhiri ucapannya dengan kecupan di daun telinga Kartika. Berlanjut dengan kuluman lembut yang memberikan sensasi hangat di sana. Kepala Kartika mulai terasa pening. Apalagi, aroma kuat dari Baskara seakan mengingatkan dirinya pada kejadian-kejadian buruk yang sebelumnya ia alami. Tubuh Kartika yang semula bergetar hebat, mulai melemah dan berakhir lunglai tak sadarkan diri. Baskara terdiam saat menyadari jika Kartika telah tak sadarkan diri. Ia memperbaiki posisi Kartika agar bersandar padanya. Tangannya yang bebas mulai menyusuri relief wajah Kartika. Baskara menyeringai senang.
"Bintang kecil ternyata masih sama. Dan matahari sudah tidak sabar untuk memilikimu seutuhnya. Mengurungmu, di bawah bentangan kuasanya."