Dalam Pelukan

2512 Kata
    Wajah Kartika terlihat memerah. Ia tampak begitu malu. Satu jam sebelumnya, di perpustakaan keluarga Sequis, ia terbangun dan mendapati Affa dan Senu yang menatapnya dengan cemas. Ia juga melihat Baskara yang tampak berkonsentrasi menatap buku yang berada di tangannya, serta tidak menunjukkan kepeduliannya pada apa yang terjadi di sekitarnya. Namun wajahnya yang acuh itu tampak sangat mengagumkan, apalagi ditambah dengan kacamata yang membingkai wajahnya dengan apik.     Kartika tersenyum malu. Ternyata Kartika tertidur di tengah acara belajarnya dengan Baskara. Dan Baskara tak mau repot-repot membangunkan Kartika yang tidur serta mengigau histeris dalam tidurnya itu. Untungnya Affa serta Senu datang pada waktu yang sangat tepat. Keduanya berusaha membangunkan Kartika yang merengek dan ketakutan. Kartika membuang napasnya lega. Meskipun sangat memalukan, tapi Kartika merasa senang. Karena situasi menyeramkan yang sebelumnya Kartika alami, hanyalah sepenggal mimpi buruk yang menghampiri tidur sore menjelang malamnya.     Kini, Kartika tengah dalam perjalanan pulang. Dengan takut-takut, Kartika melirik pada Baskara yang tengah fokus mengemudi. Kedua tangan Baskara yang kekar terlihat mantap saat bergerak memutar kemudi. Kartika merasakan pipinya memanas. Ia ternyata terbayang mimpinya tadi. Dalam mimpinya itu, kedua tangan kekar tersebut merengkuh pinggangnya dengan erat. Kartika menggelengkan kepalanya, memusnahkan pikiran kotor yang mulai merayap di benaknya. Ia berulang kali mencoba menenangkan diri. Tapi aroma khas Baskara yang memenuhi mobil, mencegah Kartika untuk bisa tenang. Aroma Baskara tersebut, seakan mengingatkan dirinya mengenai dua sosok misterius yang sempat mengganggu dirinya.     Kartika meyakinkan dirinya jika semua itu hanya bayangan yang terbentuk karena rasa takut Kartika. Ia yakin, jika pria ini sama sekali tidak akan melakukan apa yang dulu pernah ia katakan padanya. Kartika bahkan lebih dari yakin, jika Baskara sudah melupakan apa yang terjadi di masa lalu. Hanya Kartika saja yang masih terikat dan terbayang dengan masa lalu. Kartika menghela napas dalam hatinya. Sepertinya, Kartika harus lebih berusaha lagi. Kartika tidak boleh terus seperti ini. Kedua orang tuanya yang sudah berada di surga, pasti akan merasa sedih jika Kartika terus bersikap seperti ini.     "Apa kau mau menghabiskan malam denganku?"     Kartika tersentak dari lamunannya saat mendengar perkataan Baskara. Kepala Kartika secara otomatis menggeleng cepat. Wajahnya memucat dengan cepat. Baskara menatap Kartika yang kini beringsut menempelkan punggungnya pada pintu mobil. Wajah Kartika yang seukuran telapak tangan Baskara, terlihat begitu ketakutan, dan itu adalah hal paling menarik di mata Baskara. Hal yang tentu saja selalu berhasil membuat hatinya terhibur.     "Kau benar tak ingin turun?" Baskara melirik ke luar mobil, dan akhirnya Kartika sadar jika ia telah tiba di tepi jalan yang menuju kontrakannya.     "Makasih Kak Baskara. Kartika turun dulu. Selamat malam."     Tapi begitu Kartika turun, ternyata Baskara juga ikut turun dari mobilnya. Dengan salah satu tangan yang ia masukkan ke dalam saku celana jinsnya, Baskara melangkah mengikuti Kartika.       "Kakak gak perlu nganter Kartika lagi, kontrakan Kartika ada di ujung, udah deket kok. Lebih baik Kakak pulang aja," ucap Kartika meyakinkan Baskara. Ia memang enggan untuk menghabiskan waktu lebih lama dengan pria satu ini. Kartika masih tidak merasa nyaman, bahkan merasa takut dengan Baskara yang selalu menguarkan aura dingin yang menyeramkan.     Namun Baskara tak mendengar apa yang dikatakan Kartika. Ia malah menatap Kartika dengan datar dan berkata, "Tunjukkan jalannya!"     Jadi mau tak mau, Kartika melangkah ceoat menuju pintu kontrakannya. Ia tak mau menahan Baskara terlalu lama di sini. Bisa-bisa, akan ada gosip mengenai Baskara dan dirinya nanti. Ya walaupun tak terlihat ada orang yang duduk di luar kontrakan, tapi yakinlah para penghuni, pasti tengah mengintip dengan penuh keingin tahuan.  Setelah sampai di depan pintu kontrakannya, Kartika berbalik menghadap Baskara yang kini terlihat meneliti setiap sudut kontrakannya. "Kak Baskara makasih, tapi maaf Kartika enggak bisa ngajak Kak Baskara mampir, udah terlalu malam gak enak sama tetangga."     "Aku juga tidak ingin masuk ke dalam kontrakan kecilmu itu. Aku pulang," ucap Baskara. Kartika menghela napas lega saat melihat Baskara berbalik dan melangkah pergi. Hari ini sangat melelahkan. Padahal Kartika tidak bekerja. Baik restoran dan kafe tempatnya bekerja ternyata ditutup sementara. Jadi kini Kartika memutuskan untuk beristirahat saja. Ia harus menjaga kesehatannya, ujian paket akan berlangsung sebentar lagi.   ***           Hari yang ditunggu-tunggu oleh Kartika akhirnya tiba. Di mana ujian paket C berlangsung. Selama empat hari, Kartika akan serius mengikuti ujian berbasis komputer yang diselenggarakan oleh negara. Jadi, demi menjaga kefokusan dirinya, kedua tempat kerjanya dengan khusus memberikan libur. Dan Kartika hanya perlu fokus belajar untuk persiapan ujiannya.  Di hari H ujiannya, Kartika terlihat begitu serius mengerjakan soal-soal ujian. Ada banyak soal sulit yang menghabiskan waktu Kartika untuk memecahkannya. Namun hal itu tak membuat Kartika panik dan bertanya pada yang lain. Ia lebih memilih menjawab sebisanya, ketika waktu telah sangat mepet.     Waktu empat hari berlangsung dengan cepat. Senyum Kartika mengembang saat dirinya merampungkan ujian terakhirnya. Ia berlari pada Venty yang telah menunggu dirinya di lapangan parkir. Hari ini, Kartika sudah berjanji untuk ikut berbelanja dengan Venty. Keduanya terlihat senang saat memasuki sebuah pusat perbelanjaan besar. Terutama Venty, gadis itu terlihat begitu sangat bersemangat untuk memborong banyak barang. Berbeda dengan Kartika yang tampak sangat pemilih dan berhati-hati saat membeli barang.     Alhasil setelah dua jam berkeliling, Venty telah memenuhi kedua tangannya dengan begitu banyak paper bag. Sedangkan Kartika, hanya membawa dua paper bag kecil, yang satu berisi sabun mandi cair lalu yang satunya lagi berisi beberapa set pakaian dalam.     "Kita malam siang dulu ya?" venty sudah menarik tangan Kartika.     "Kita makan di rumah aku aja ya? Aku udah kehabisan uang." Kartika menolak saat Venty sudah menyeretnya menuju sebuah restoran. Kartika memang sudah kehabisan uang, dan dirinya sama sekali tidak bisa membeli apa pun lagi.     "Gak mau. Mau makan di luar aja," tolak Venty.     "Ka-kalo gitu makan mie ayam langganan kita aja yuk? Kan kita udah lama gak makan di sana," ucap Kartika memberikan usul. Ia tahu jika Venty pasti akan kembali membayarkan makanannya. Karena itulah, Kartika mengusulkan makanan murah yang tentu tidak akan membuatnya kesulitan untuk mengganti uang Venty nantinya.     Venty menghentikan langkahnya dan mengangguk setuju. Venty tidak memikirkan apa yang kini tengah dipikirkan oleh Kartika. Venty hanya merasa, jika dirinya juga ingin makan mie ayam yang sudah menjadi langganannya dengan Kartika sejak waktu SMP. Pada akhirnya, Kartika dan Venty makan siang di sebuah kedai  pinggir jalan. Venty dan Kartika terlihat sama-sama lahapnya menikmati satu mangkuk mie ayam yang super pedas. Ya, keduanya memiliki selera yang sama dalam makanan. Keduanya penyuka makanan pedas. Tidak pedas, maka tidak nampol, itu kata Venty.     Saat keduanya terlihat menikmati makan siang, sosok yang tak asing muncul dan menyapa. "Wah, lagi makan di sini juga ya? Kayaknya kita beneran jodoh deh. Kartika mau kan jadi pacar Kakak?"     Dan dengan polosnya, Kartika menggeleng dan menjawab, "Hehe enggak mau Kak Janu."     Venty tentu saja tertawa terbahak-bahak saat mendengar jawaban polos Kartika. Janu juga ikut terkekeh pelan, ia memang telah menebak jawaban Kartika pasti akan seperti itu. Namun, Janu tampak tidak tersinggung, walaupun dirinya berharap jika Kartika akan membalas guyonannya dengan positif. "Bagaimana ujiannya?" tanya Janu sembari mengusap puncak kepala Kartika dengan lembut. Terlihat dengan jelas, jika Janu dan Kartika memang memiliki hubungan dekat.     "Lancar Kak. Kartika yakin lulus. Tapi tidak yakin nilainya akan sebaik yang diharapkan," jawab Kartika pelan.     "Tidak apa-apa. Yang penting sudah berusaha. Ah, karena kafe masih tutup dan kau juga sudah menyelesaikan ujian, mengapa Kartika tidak ikut dengan Kakak saja?" tanya Janu lagi.     Kartika menelan mie, dan bertanya, "Ikut ke mana Kak?"     "Ke pelaminan," jawab Janu membuat Venty hampir memuntahkan mie yang sudah ia makan.     Venty yang mendengarnya tersedak. "Wah parah. Kak Janu haha!" Venty merasa geli sendiri, karena Janu tampak tak jera mengajak Kartika untuk menjalani hubungan serius. Venty juga merasa prihatin, karena Kartika tak menyadari hal itu. Meskipun Janu terkesan hanya memberikan gombalan, tetapi Janu menyelipkan keseriusan dalam perkataannya.     "Hehe enggak mau," jawab Kartika lagi.     "Hahaha Kak Janu udah berapa kali ditolak sama Kartika?" tanya Venty di sela tawanya yang makin keras saja. orang-orang yang melihat gadis seanggun dan secantik Venty tertawa dengan urakan tampak meringis. Tampilan cantik Venty benar-benar tidak cocok dengan tindakannya.     "Hem sekarang tepat yang keseribu," jawab Janu santai sembari mengaduk mie ayam pesanannya yang baru saja datang. Jawaban yang sukses membuat Venty kembali meledakkan tawanya yang keras.     "Sekarang serius, besok malam ada pesta dan Kakak tidak punya pasangan untuk menghadirinya. Kartika mau kan menemani Kakak?" tanya Janu serius.     Namun bukannya Kartika yang menjawab, Venty menyerobot dan menjawab, "Enggak bisa Kak. Soalnya besok Kartika juga akan menghadiri pesta denganku. Jadi Kakak gak boleh ngajak Kartika."     "Iya Kak, Kartika udah janji sama Venty."     Janu menghela napas. "Padahal Kakak sudah sangat berharap."     Venty mengerutkan keningnya saat melihat reaksi Janu. Memang bukan hal baru, tapi Venty masih belum terbiasa. Ia merasa jika ada yang aneh dengan Janu. Namun sampai saat ini, ia belum bisa menemukan keanehan apa yang dimiliki oleh Janu. Setiap Venty ingin mengorek dan mengamatinya, Janu sendiri tampak seperti membuat benteng pertahanan yang membuat Venty tak bisa melangkah lebih jauh.     Karena itu pula, Venty agak kurang setuju jika Kartika menghabiskan banyak waktu dengan Janu. Apalagi jika sampai Kartika jatuh hati dengan Janu. Venty belum bisa membiarkan semua itu, sampai Venty bisa memastikan jika Janu memang benar-benar baik untuk Kartika. Namun hingga saat ini, Venty memang masih belum yakin, jika Janu memang pria baik-baik yang bisa menjaga dan mengayomi Kartika dalam mengarungi bahtera rumah tangga.       ***         "Tika cobain deh, kue ini enak banget!" Venty menyodorkan sendok berisi potongan kue yang menggiurkan. Kartika menerimanya dengan senang hati.  Keduanya kini mengenakan gaun berwarna hitam yang berpotongan berbeda. Jika Venty mengenakan gaun bertali spaghetti selutut, maka Kartika menggunakan gaun berlengan panjang dengan rok mencapai setengah betis.     Namun, keduanya sama-sama cantik dan memesona. Apalagi Kartika, pesonanya yang selama ini tersembunyi, mulai terlihat. Sosoknya yang mungil beberapa kali menarik perhatian para tamu undangan yang juga mengenakan setelah hitam yang elegan. Ya, Kartika yang memang jarang berdandan, ketika sudah dipoles riasan tipis, serta menggunakan gaun yang cocok dengan karakternya, siapa yang tidak akan terpesona dengan sosoknya ini?     "Ven, acaranya kapan selesai?" tanya Kartika. Rupanya, Kartika sudah mulai merasa lelah dan bosan. Ia ingin segera kembali ke kontrakannya dan tidur dengan tenang di sana.     "Ah kamu, pestanya baru aja dimulai," jawab Venty santai.     Kartika mengerucutkan bibirnya. "Oh iya, Om Joni sama Om Hans gak pulang?" tanya Kartika mengingat kedua om yang merupakan sahabat dari Senu yang memang belum terlihat sampai saat ini.     "Enggak. Para tante cantiks lagi pada hamil muda. Dokter mereka bilang, kalau mereka belum boleh pergi jauh-jauh untuk beberapa waktu. Lagi pula, acara kali ini tidak terlalu penting, hanya pengenalan Kak Baskara sebagai penerus resmi kepada kolega bisnis. Nah kalau Kak Baskara nikah, pasti semua Om sama Tante usaha buat kumpul," jawab Venty sembari matanya bergerak lincah mencari menu yang akan ia cicipi kembali.     Kartika mengangguk mengerti. Matanya yang bulat kini menatap para tamu undangan yang berkumpul menikmati hidangan. Ia sama sekali tak melihat keberadaan Baskara yang memang menjadi bintang di pesta ini. Tampaknya setelah menyampaikan sambutan tadi, Baskara menghilang dari tengah-tengah pesta. Namun Kartika hanya mengangkat bahunya tak peduli. Toh ia datang ke sini hanya ingin menemani Venty dan mengisi perutnya dengan makanan-makanan yang menggoyang lidahnya.     Kartika memang tak senang dengan keramaian, apalagi jika bertemu orang asing, tapi di sini ada Venty, tidak akan ada hal buruk yang terjadi. Ditambah Venty juga mengajak Kartika untuk memisahkan diri dari para orang tua yang pastinya sibuk dengan perbincangan bisnis. Jadi, kini keduanya menikmati waktu untuk mencicipi banyak hidangan.     "Venty, Tika mau makan nasi," ucap Kartika merasakan perutnya yang mulai keroncongan. Venty mengangguk dan menggenggam tangan Kartika, sebelum menarik sahabatnya itu menuju meja panjang yang berisi berbagai macam makanan. Venty mulai mengisi piringnya dengan makanan yang ia suka, begitu pula dengan Kartika ia tampak mengambil nasi dan beberapa potong rendang.     "Kartika?"     Kartika dan Venty sontak menoleh bersamaan. Mata mereka membulat bersamaan saat melihat sosok Janu dengan tampilan barunya. Janu yang mengenakan jas hitam formalnya, terlihat begitu menawan bagi keduanya. Ditambah rambutnya yang biasanya hanya dibiarkan jatuh tanpa ditata macam-macam, kini ditata apik menjadikan tampilannya begitu segar dan menarik. Intinya, baik Venty atau Kartika sama-sama menyukai tampilan baru Janu seperti itu.     "Kak Janu kok bisa di sini?" tanya Kartika setelah tersadar dari rasa terkejut yang menjerat dirinya.     "Ini pesta yang kemarin Kakak maksud," jawab Janu sembari melirik pada seorang pemuda yang mengendap-ngendap di belakang Venty.     "Oh gitu, Kakak mau rendang?" tanya Kartika sembari mengangkat piring nasinya. Kartika memang berencana untuk makan nasi dengan menu rending dan capcai sayur. Janu mengangguk dan menemani Kartika karena sebelumnya Venty diam-diam telah ditarik oleh pacarnya, Windu. Yang merupakan putra satu-satunya dsri pemilik perusahaan Vanota, rival dari perusahaan yang dimiliki oleh Guntur. Maka dari itu, Venty serta Windu menjalani hubungan secara sembunyi-sembunyi.     "Eh Venty ke mana?" Tampaknya Kartika baru sadar jika sahabatnya itu sudah raib seakan-akan ditelan bumi. Kartika mengerucutkan bibirnya. Apa mungkin sahabatnya itu lupa dengan dirinya dan malah pulang sendiri? Sepertinya tidak, Kartika mentertawakan kekonyolan dirinya sendiri.     "Tadi dia pergi dengan seorang pria," jawab Janu sambil menarik Kartika untuk duduk di sebuah kursi.  Kartika mengerutkan keningnya, tapi saat ingat Windu, Kartika mengangguk mengerti. Sepertinya Venty pergi dengan Windu. Kartika kembali mengalihkan perhatiannya pada nasi dan rendang yang telah tersaji di piringnya.     Senyum Kartika mengembang saat menikmati rendang tersebut. Daging baginya sangat mahal, jadi terhitung hanya beberapa kali dalam setahun ia membeli daging. Jadi kesempatan seperti ini tak bisa Kartika lewatkan. Seorang pelayan tiba-tiba meletakkan gelas air putih di depan Kartika dan Janu. Pelayan tersebut tersenyum dan berkata, "Silakan airnya." Kartika menunduk tapi mengucapkan terima kasih dengan suara pelan. Kartika kembali menjadi malu tanpa sebab.     Pelayan tersebut mengangguk dan pergi. Kartika kembali makan bersama Janu. Kartika beberapa kali terkekeh renyah saat Janu memberikan lelucon. Janu juga dengan perhatian memberikan potongan rendang serta sayuran ke atas piring Kartika. Keduanya tampak seperti pasangan yang serasi. Sepuluh menit kemudian, Kartika berhasil menghabiskan makanan serta air putihnya. Tapi ia tampak nyaman menghabiskan waktu dengan Janu, membicarakan banyak hal remeh yang menurutnya sangat menyenangkan. Namun, tiba-tiba Kartika merasa kandung kemihnya penuh. Ia perlu kamar mandi.       "Kak, Kartika permisi ke kamar kecil dulu, ya," ucap Kartika sudah setengah tidak tahan, ingin segera berlari ke kamar kecil dan menuntaskan apa yang ia inginkan ini.     "Mau Kakak temani?"  tawar Janu.     Kartika menggeleng. "Gak usah Kak. Nanti kalo Venty nyari, tolong bilang kalo Kartika lagi di toilet." Setelah itu, Kartika tampak berlari kecil menuju pintu keluar area pesta, yang berlangsung di aula hotel mewah milik keluarga Sequis.     Setelah bertanya pada salah satu petugas keamanan di mana kamar kecil berada, Kartika melangkah menuju arah yang ditunjuk tersebut. Ia tak menyadari, setelah kepergiannya petugas keamanan tersebut segera menghubungi seseorang melalui alat komunikasi kecil di telinganya, "Target sedang menuju lokasi. Sekali lagi, target sedang menuju lokasi."     Kartika melangkah di sepanjang lorong berkarpet merah. Ia berkedip bingung saat tak menemukan kamar kecil, Kartika malah menemukan sebuah pintu besar di ujung lorong. Dan tiba-tiba pula, Kartika merasakan kepalanya pusing disusul dengan pandangan yang memburam. Karena kaki Kartika goyah, tangan Kartika secara refleks mencari pegangan.     Kartika menghela napas lega saat mendapatkan pegangan. Tubuhnya bersandar sepenuhnya pada bidang yang anggap sebagai dinding. Napas Kartika memberat seiring dengan kelopak mata Kartika yang menutup pelan. Tubuh Kartika entah mengapa terasa begitu lemas. Kartika tak lagi bisa mempertahankan kesadarannya, sedetik kemudian tubuhnya merosot tanpa daya. Tapi sebelum Kartika benar-benar kehilangan kesadaran, Kartika mendengar sebuah bisikan yang membuat jantungnya berdetak tak karuan.       "Saatnya Matahari, memiliki Bintang dalam pelukannya."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN