Kartika Sontak terbangun, saat merasakan remasan di kedua pantatnya. Matanya melotot dan bibirnya terbuka seakan menjerit, tetapi tidak ada sedikit pun keluar dari tenggorokannya. Wajah ayu gadis satu itu seketika memucat saat mengingat kejadian menakutkan tadi malam, disusul kejadian yang baru saja ia alami, membuat Kartika memikirkan hal-hal buruk. Sebuah tawa yang terdengar familier di telinga Kartika, membuat Kartika menoleh, masih dengan wajah syoknya. Venty terlihat tertawa keras, hingga wajahnya memerah. Venty tengah menertawakan ekspresi konyol yang ditunjukkan oleh sahabatnya itu.
Namun, begitu Kartika yang syok mulai terisak-isak dengan begitu menyedihkan, saat itulah Venty menghentikan tawanya dengan cepat. Venty segera naik ke atas ranjang, ia tak tahu jika tindakan jailnya yang meremas bongkahan p****t Kartika, bisa membuat sahabatnya itu menangis seperti ini. Padahal, Venty sering bercanda dengan cara seperti ini pada Kartika, tetapi sahabatnya ini tidak pernah bereksi seperti ini. "Ma-maaf Tika," sesal Venty. Namun Kartika tak menjawab dan memilih menangis keras, ia mungucek mata serta hidungnya yang memerah. Sungguh tindakan yang menggemaskan, tetapi Venty tidak bisa mengatakan hal itu atau Kartika akan menangis lebih keras dan membuatnya terkena marah.
Venty menggaruk kepalanya bingung. Apalagi saat ibu dan ayahnya masuk ke dalam kamarnya, menanyakan mengapa Kartika sampai menangis seperti itu. Tentu saja Venty malas untuk menjawabnya. Jika ia menjawab bahwa Kartika menangis sebab bokongnya diremas olehnya, sudah dipastikan jika dirinya akan mendapatkan cubitan pedas dari ibunya. Setelah Kartika kembali tenang. Akhirnya semua orang tahu, jika Kartika menangis bukan karena tingkah jail Venty. Melainkan, karena mimpi buruknya tadi malam yang terasa begitu nyata. Akhirnya, Venty bisa bernapas dengan lega.
Kartika menjelaskan setiap detail mimpi yang ia alami. Tidak ada satu pun kejadian yang ia lewatkan. Kartika sendiri masih yakin, jika semua itu bukan mimpi. Secara, semua sentuhan serta kelembutan yang ia rasakan tadi malam, benar-benar masih membekas di kulitnya. Sebenarnya, Kartika sendiri merasa malu untuk menjelaskan mimpinya ini. Jelas saja, karena Kartika merasa itu adalah pengalaman seksual yang menakutkan baginya.
Namun Venty dengan tegas menyatakan bahwa semua itu hanya mimpi. "Kamu cuma mimpi buruk, karena tidur terlalu lama. Tadi malem, kamu jagain Andrew kan? Pas aku ngangkat telepon sebentar, kamu ketiduran di rumah kucing. Andrew bisa jadi saksinya," ucap Venty berusaha untuk meyakinkan Kartika. Ia memang tidak mau sampai Kartika kembali paranoid dan mengurung dirinya sendiri lagi. Sudah bagus, kini Kartika mau membuka diri. Akan menjadi masalah jika Kartika kembali seperti Kartika yang dulu.
Pada akhirnya Kartika berusaha meyakini, apa yang dikatakan oleh Venty adalah hal yang terjadi sebenarnya. Itu artinya, semua hal buruk yang Kartika alami, hanyalah sebuah mimpi buruk semata. Setelah mandi, dan sarapan bersama, Kartika segera menuju tempat kerjanya. Masih dengan Venty, yang memaksa untuk mengantarkan Kartika karena tempat kerja Kartika, satu arah dengan kampusnya. Mobil yang dikendarai Venty berhenti di bahu jalan. Kartika mengucapkan terima kasih, lalu turun dari mobil mini berwarna merah tersebut. Venty berteriak, "Nanti kalo pulangnya kemaleman, telepon aku oke? Aku bakal jemput. Gak boleh ada penolakan!"
Mau tak mau, Kartika hanya mengangguk ringan. Setelah mobil Venty melaju, Kartika berbalik menuju bagian belakang restoran kecil di mana ia bekerja. Beberapa teman kerja Kartika, menyambut saat dirinya memasuki ruang ganti kecil. Semua orang terlihat menyambut Kartika dengan baik. Apalagi, Kartika merupakan bungsu di sana. Pekerja paling kecil yang otomatis menjadi kesayangan, ya walaupun pekerjaan Kartika termasuk berat. Kartika bertugas muncuci piring-piring serta peralatan makan kotor lainnya. Percayalah, pekerjaan yang kalian anggap sepele tersebut, tak semudah yang kalian pikirkan.
Bayangkan saja, kalian harus mencuci begitu banyak alat makan, dengan waktu yang sangat singkat karena alat makan tersebut akan segera dipakai kembali. Tentu saja, walaupun harus bekerja cepat, Kartika harus tetap memperhatikan kebersihan piring serta alat makan lain dengan benar. Tidak boleh ada jejak makanan, atau sabun yang masih tersisa di alat makan tersebut. Tangan, serta konsentrasi kalian harus bekerja sangat ekstra. Jadi, sudah dipastikan jika Kartika merasa hampir mati setelah selesai bekerja.
Setelah mengenakan seragam kerjanya yang berwarna biru gelap, Kartika dibantu salah satu seniornya untuk mengikat dan menggelung rambut panjangnya dengan rapi. Ini memang salah satu kewajiban bagi staf dapur yang memiliki rambut panjang. Mereka harus menggelungnya dengan rapi dan ketat, guna meminimalisir helaian rambut yang kemungkinan jatuh di atas menu atau bumbu. Saat dirinya merasakan rambutnya sudah dicepol dengan sempurna, Kartika tersenyum tipis sembari berucap, "Makasih Mbak Ailan."
Ailan tersenyum dan mengangguk. Senior Kartika tersebut, memang sangat baik padanya dan selalu membantu Kartika. Keduanya memiliki tugas berbeda di restoran. Jika Kartika bertugas sebagai pencuci piring, maka Ailan adalah pramusaji yang selalu tampil di muka umum dengan senyum ramahnya. Tentu saja tugas pramusaji agak sedikit lebih mudah dan ringan daripada tugas Kartika sebagai pencuci piring. Namun, Kartika sendiri bersyukur karena dirinya ditugaskan sebagai pencuci piring, alih-alih menjadi pramusaji yang harus tampil di tengah kerumunan orang.
Awalnya, Kartika juga akan ditugaskan menjadi pramusaji, tapi karena kondisi Kartika yang akan berubah canggung di tengah keramaian, dan merasa paranoid jika berdekatan dengan pria asing. Jadi, pengelola restoran pada akhirnya menempatkan Kartika sebagai pencuci piring. Tentu saja itu adalah keputusan terbaik yang bisa dibuat pengelola restoran buat, guna kenyamanan bersama.
"Iya sama-sama, ayo udah waktunya kita kerja," ucap Ailan. Kartika mengangguk saat mendengar perkataan Ailan, dan mengikuti langkah sseniornya yang sudah lebih dahulu masuk ke dalam dapur. Sebelum restoran dibuka, semua pekerja dimulai dari pramusaji hingga chef, akan berkumpul di dapur untuk berdoa demi kelancaran kerja. Ya, bukankah hal baik jika memulai segala sesuatu dengan doa? Apalagi, mereka semua bekerja di dapur yang dikenal sebagai area perang yang berbahaya. Kepala chef memimpin doa, setelah acara berdoa selesai, semuanya segera bersiap di tempatnya masing-masing.
Karena restoran baru dibuka, itu artinya belum ada alat makan yang kotor. Jadi, untuk sementara Kartika akan bertugas sebagai asisten para chef. Tugasnya tidak jauh dari membawakan atau mencarikan bahan-bahan yang mereka butuhkan. Karena pekerjaan inilah, Kartika bisa mengenali banyak bumbu serta bahan-bahan yang sering digunakan dalam masakan Prancis.
Ya, restoran di mana Kartika bekerja adalah restoran Prancis. Restoran khusus yang menyediakan masakan di mana menara Eiffel berdiri dengan indahnya. Namun sayangnya, lidah Kartika tidak cocok dengan masakan sejenis ini. Bukan karena makanannya tidak lezat, hanya saja Kartika memang tidak cocok dan tidak bisa memakan makanan seperti itu. Jadi, Kartika hampir tidak pernah makan masakan Barat sama sekali. Ia lebih suka masakan khas nusantara.
"Kartika, jangan melamum!" seru seseorang dengan nada tinggi dan menyentak. Tentu saja Kartika yang mendengarnya tersentak saat mendapatkan bentakan dari kepala chef. Kartika membungkuk, meminta maaf berulang kali. Dirinya mulai kikuk, saat para senior prianya menatap padanya dan berdecak pelan, merasa sedikit kesal karena tingkah Kartika itu. Bukan apa-apa, mereka tak mau saja jika Kartika celaka. Dapur adalah tempat perang. Siapa yang lengah, maka dia yang akan terbantai.
"Kartika, bawakan wine dari tahun 1990 dan scallop di ruang penyimpanan!" saat mendengar perintah baru dari kepala chef, Kartika mengangguk. Ia tidak membuang waktu dan segera berlari kecil menuju lemari pendingin yang sangat besar, sehingga disebut sebagai tempat penyimpanan. Dengan terburu-buru, gadis mungil tersebut membawa semua yang tengah dibutuhkan chef.
Setelah memberikan semua barang tersebut, Kartika kembali ke tempatnya, tempat cuci piring di sudut dapur. Setelah memakai celemek, Kartika mulai mencuci piring-piring bekas makanan pembuka. Ketika Kartika memulai mencuci, piring-piring yang lain datang dengan cepat. Wajar, karena meskipun restoran tersebut kecil, setiap waktu makan, restoran akan ramai oleh para pengunjung. Bahkan, tak jarang para pengunjung telah memesan tempat sebelum restoran di buka tiap harinya.
Kartika larut dalam pekerjaan yang melelahkannya tersebut. Hingga tiba waktunya, restoran ditutup sementara waktu. Dan akan kembali dibuka saat masuk waktu makan malam. Kartika sendiri, segera menyelesaikan pekerjaannya. Tentu saja Kartika ingin menikmati waktu istirahatnya yang biasanya terasa sangat singkat. Sementar itu, para chef juga mulai memasak makanan untuk makan siang bersama.
Khusus untuk Kartika, setiap harinya para chef hanya akan menggorengkan telur atau sosis untuk makan siangnya. Semua pekerja restoran terlihat begitu akrab saat mereka makan siang bersama. Tidak ada batas di antara mereka. Kesan kekeluargaan begitu kental terasa. Kartika juga terlihat begitu disayang di sana, jelas karena Kartika adalah si bungsu yang memang harus mendapatkan perhatian dan bimbingan lebih.
***
"Kartika, tolong bersihkan meja nomor sebelas ya!"
Kartika meremas kain lap di tangannya. Menguatkan hati, sebelum menuju meja yang perlu ia bersihkan. Dengan seragam cokelat muda yang tampak manis di tubuhnya, Kartika bergerak canggung dan mulai mengerjakan tugasnya. Kartika memang bekerja di dua tempat berbeda dalam satu hari. Jika siang hingga sore hari, ia bekerja di restoran sebagai seorang pencuci piring. Maka dari sore hingga malam, ia akan bekerja di kedai kopi di mana para pemuda-pemudi menghabiskan waktunya sebagai seorang pelayan.
Untuk kafe ini, Kartika baru bekerja sekitar satu tahunan. Bukan hanya untuk mencari uang, tetapi juga untuk mengobati rasa takutnya pada keramaian. Awalnya hanya coba-coba, tetapi karena pemilik yang merangkap sebagai barista tersebut, sangat ramah dan pengertian pada Kartika, hingga saat ini Kartika betah untuk bekerja di sana. Ya walaupun, terkadang Kartika harus pulang hampir tengah malam karena pengunjung kafe yang ramai.
Kartika tersenyum saat meja yang ia bersihkan telah rapi. Ia membawa gelas kotor dan lap yang barusan ia gunakan menuju bagian belakang kafe. Namun saat melangkah, Kartika merasakan seseorang tengah mengawasinya. Dengan refleks, Kartika menoleh ke dinding kaca yang menjadi bagian depan kafe. Tapi yang ia lihat hanya kendaraan yang berlalu-lalang. Kening Kartika mengerutkan keningnya, namun tak lama Kartika kembali melanjutkan pekerjaannya.
"Wah kemajuan pesat, ya? Kartika pintar," puji Janu sembari mengacak puncak kepala Kartika dengan lembut. Kartika yang mendapatkan pujian tersebut merasa senang. Ya, ia senang karena dirinya memang sudah melakukan kemajuan, walaupun dirinya harus berusaha selama satu tahun hingga mendapatkan keberanian seperti ini.
Janu inilah, pemilik kafe yang merangkap menjadi barista. Janu adalah sosok pria yang dewasa dengan senyum menawan. Kartika yakin, banyak orang yang jatuh hati karena pesona yang Janu miliki tersebut. Tapi yakinlah, Kartika bukan salah satunya. Karena Kartika selama ini hanya menganggap Janu sebagai kakaknya. Sikap lembut dan penuh perhatian yang diberikan Janu dianggap Kartika sebagai kasih sayang yang sering diberikan oleh seorang kakak pada adiknya. Lagi pula, Kartika sama sekali tidak berpikir jika Janu melihatnya sebagai seorang perempuan. Kartika lebih dari yakin jika Janu juga menganggapnya sebagai seorang adik yang perlu dikasihi.
"Makasih Kak Janu," ucap Kartika malu-malu. Hal itu menggelitik Janu untuk tertawa keras. Merasa gemas dengan tingkah Kartika yang berubah seperti kucing, yang merasa senang karena dimanja oleh pemiliknya. Jika saya Kartika benar-benar seekor kucing, Janu tidak akan berpikir dua kali untuk membawa karung dan menculik kucing satu ini. Janu akan membawa si kucing untuk tinggal bersamanya di rumah. Pasti sangat menyenangkan.
"Oh iya. Kak Janu, Kartika bawakan satu porsi menu spesial restoran buat Kakak,” ucap Kartika sembari menyerahkan kotak berisi makanan yang ia maksud.
Janu menerima wadah tersebut, dan tersenyum senang. "Wah makin hari, Kartika makin perhatian. Aku curiga, jika kamu benar-benar jatuh hati padaku," seloroh Janu setengah serius dengan apa yang dikatakan. Ia rasa, tidak ada salahnya untuk berharap. Toh, ia tahu jika Kartika sama sekali tidak dekat dengan pria mana pun, atau menjalin hubungan yang serius dengan seorang pria.
Kartika tersenyum tipis, ini bukan kali pertama Janu mengatakan hal tersebut. Kartika hanya menganggap Janu tengah berkelakar, dan tidak menanggapinya dengan serius. Kartika tak tahu saja, jika sorot mata Janu terlihat begitu serius.
Berbeda dengan pekerja kafe lainnya, mereka paham jika Janu terlihat memiliki ketertarikan lebih untuk Kartika. Dan diam-diam mereka berharap, jika Janu berjodoh dengan Kartika. Karena keduanya pasti akan menjadi pasangan serasi yang sangat manis.
Semua kembali melanjutkan pekerjaannya, begitu pula dengan Janu. Mereka larut dalam kesibukan masing-masing. Tapi Janu sesekali mengamati gerak-gerik Kartika. Gadis mungil tersebut, seakan memiliki magnet tersendiri untuk Janu. Membuat matanya sulit untuk berpaling dari sosoknya yang sangat menggemaskan dibalik sikapnya yang canggung.
***
"Serius tidak mau diantar?" tanya Janu sekali lagi pada Kartika sembari tangannya sibuk untuk mengunci pintu kafe.
Kartika menggeleng. Kartika agak bosan karena Janu terus saja mengulang pertanyaannya itu. Namun, Kartika tahu jika Janu memang berniat baik padanya. "Enggak perlu, Kak. Kartika pulang ya Kak, selamat malam!" Kartika tersenyum, lalu beranjak pergi menyusuri trotoar menuju rumahnya. Ah lebih tepatnya menuju rumah susun miliknya. Kartika sengaja tidak menghubungi Venty, dan memilih untuk pulang sendiri. Toh, lokasi kafe dan rumah susun Kartika, bisa ditempuh dengan jalan kaki.
Kartika menoleh ke belakang saat merasakan seseorang tengah mengikutinya. Jantung Kartika terasa berdetak lebih cepat. Pikiran-pikiran buruk menghampiri kepalanya, bersamaan dengan kilasan mimpi tadi malam yang membuatnya ketakutan. Karena itu, Kartika melangkah lebih cepat. Ia menyusuri jalanan kecil diantara dua gedung tinggi. Itu adalah jalan tercepat menuju kontrakannya.
Anehnya, saat ini Kartika merasa tak nyaman. Jalanan yang biasanya terang benderang, kini berubah remang-remang karena beberapa lampu di sepanjang gang kecil tersebut mati. Kartika berusaha mempercepat langkah kakinya. Namun, sesuatu menarik Kartika ke sela-sela gang kecil tersebut. Kartika diponjokkan dan dibekap dengan kuat. Napas Kartika tercekat. Matanya kembali berair karena rasa takut yang menjadi-jadi. Tubuh Kartika berubah kaku, dengan getaran samar disaat Kartika berusaha menarik napas.
Sosok gelap, tinggi dan besar di depannya terlihat menunduk mendekat pada wajah Kartika. Karena kurangnya pencahayaan, Kartika tidak bisa melihat wajah dari orang yang tengah menghimpit dirinya tersebut. Tapi Kartika yakin jika sosok tersebut adalah seorang pria. Terlihat jelas dari postur tubuh dan aroma khas pria yang memenuhi indra penciumam Kartika.
"Tika, Kartika Sayang. Sepertinya jauh dariku, membuatmu lupa diri."
Bulu kuduk Kartika meremang. Suara itu terdengar begitu menakutkan. Namun Kartika seakan-akan pernah mendengar suara itu, suara yang sangat familier namun tak bisa Kartika ingat, siapa pemiliknya?
Lamunan Kartika buyar saat bekapan di mulutnya terlepas saat teriakan keras terdengar di ujung gang. Samar, Kartika melihat Janu yang berlari dengan wajah menahan amarah. Sosok hitam yang semula menghimpit Kartika di dinding, segera melepaskan Kartika dan berlari menuju kegelapan yang tak berujung. Janu awalnya akan mengejar orang yang mengganggu Kartika tersebut, tetapi melihat kondisi Kartika yang tampak ketakutan. Ia mengurungkan niatnya, dan membantu Kartika yang linglung untuk melangkah menuju kontrakan Kartika.
Kartika akhirnya kembali sadar saat dirinya tiba di depan kontrakannya. "Kak Janu kok bisa di sini sih?"
"Aku tidak mungkin membiarkanmu pulang sendirian. Lagi pula, ini bukan kali pertama aku mengikutimu," ucap Janu jujur.
Kening Kartika mengernyit dalam. Janu yang melihatnya gemas bukan main. Ia mengusap kening Kartika dan berucap, "Jangan terlalu banyak berpikir. Sekarang masuklah, dan istirahat. Selamat malam." Lalu Janu berbalik dan pulang.
Kartika masih terlihat linglung saat masuk ke dalam rumah susun miliknya. Setelah memastikan pintu terkunci, Kartika memutuskan untuk membersihkan diri. Tak butuh waktu lama, sampai Kartika telah mandi dan berganti pakaian dengan gaun tidurnya yang telah lusuh. Kartika meminum air putih, sebelum berbaring di kasurnya yang tipis. Ia kembali mengingat kejadian menyeramkan yang ia alami. Tanpa sadar tangan Kartika bergetar pelan. Ah itu sangat menakutkan! Mungkin, itu bisa digolongkan sebagai pengalaman paling menakutkan bagi Kartika.
Karena dirinya yang kembali terserang panic, Kartika bangkit, dan meminum air putih agar kembali tenang. Entah mengapa, selain merasa tenang, Kartika juga merasakan kantuk yang teramat. Baru saja Kartika berbaring. Gadis tersebut telah masuk ke dalam dunia mimpinya yang indah.
Setelah Kartika terlihat begitu pulas, sosok yang sebelumnya mengganggu Kartika muncul dari balik lemari plastik yang berada di sudut kontrakan Kartika. Sosok tersebut duduk di samping Kartika, dan menggenggam tangan Kartika yang mungil. Ia mencium telapak tangan Kartika yang kasar, tanda jika kehidupan Kartika tak semudah gadis biasanya. Sosok itu mengelus kapalan yang berada di beberapa titik telapak tangan Kartika. Sosok tersebut terlihat terdiam. Sepertinya tengah memikirkan sesuatu yang sangat serius. Sebelum suaranya terdengar di tengah keheningan malam.
"Sepertinya saat diriku pergi, kehidupanmu semakin berat saja. Tapi tenang, kini sudah saatnya kau bahagia. Karena kini, aku telah kembali. Kembali, hanya untukmu. Bintang kecilku, yang kehilangan sinarnya."