Bab 7. Janda Miskin

1011 Kata
Bastian telah mengantar Luna dengan selamat sampai rumah, meski sedikit lebih lambat. Belum sempat Bastian Bersiap untuk keluar dan membantu membuka pintu, namun Luna sudah lebih dulu turun dari mobil. Tentu Bastian hanya bisa menatap dengan miris. Sikap jual mahal Luna ini mengingatkan diri sendiri sewaktu masih pacaran dengan Luna. Fix, Bastian makin percaya kalau Luna menyimpan dendam dan sedang membalik keadaan. “Meski aku tidak minta diantar, tapi terima kasih sudah mengantar.” Bagaimana pun, Luna masih tahu adab. Tidak mungkin ia asal masuk saja ke rumah. Jemari Bastian mengetuk permukaan setir dengan mata menatap padanya. “Besok aku belikan mobil, bagaimana?” Soal tawaran itu, Luna memang boleh menanggapi atau mengabaikan. Tentu pilihan yang Luna ambil adalah yang kedua, makanya sekarang ia langsung berbalik dan mulai berjalan ke pekarangan rumah. Bastian tersenyum miris. “Harus sujud 7 hari 7 malam kayaknya, biar dapat pengampunan.” Luna benar-benar mengabaikan Bastian, terbukti dari langkah kakinya yang memasuki rumah. Pintu ditutup oleh pembantu, wanita muda ini nampak ingin bicara dengannya tapi meragu. “Cari yang benar!” Suara itu bisa Luna dengar dengan baik di lantai atas, lebih tepatnya dari arah kamarnya. “Ada apa?” Luna melirik pada pembantu di belakangnya yang menundukkan kepala. “Anu, mba Hana kehilangan liontin.” Akhirnya pembantu berani bicara. Pandangan Luna tertuju pada kamarnya di lantai atas. Jika Hana merasa kehilangan dan sedang mencari, lantas kenapa adik tirinya itu menggeleda kamarnya? Luna melanjutkan langkah kakinya sembari menyeringai. “Apa mama Diana sedang pergi?” Luna menebak demikian bukan tanpa alasan. Hana akan bertindak sesuka hati hanya jika istri pertama ayahnya itu tidak berada di rumah. “Ibu Diana makan dengan teman-temannya, Mba.” Sudah dirinya duga. Kakinya memutuskan untuk menaiki anak tangga dan berakhir di hadapan kamar. Mata Luna bisa melihat Hana duduk di sofa kecil kamarnya, sementara pembantu sibuk mengobrak-abrik isi kamarnya. “Punya hak apa kamu, Hana? Bukan hanya memasuki kamarku tanpa izin.” Luna menatap lantai kamarnya. “Bahkan kamu membuat kamarku berantakan.” Hana mulai berdiri dari duduk, lalu berdiri menghadapnya. Wanita dengan tinggi tidak melebihi bahunya ini menunjukkan raut kesombongan. “Liontin dengan bandul berlian milikku hilang.” Lirikan Luna yang tajam perlahan membuat dua pembantu berhenti dari kegiatan mereka. Bagaimana pun, Luna tetaplah anak kandung dari ayahnya yang telah menggaji mereka selama bertahun-tahun. “Janda miskin yang kembali ke keluarga kayanya, pasti kalap dan mencuri liontin milikku,” tuduh Hana begitu enteng. Luna melipat tangan didada. “Wajah kamu ini, tidak mencerminkan manusia yang kehilangan berlian.” “Paling sebentar lagi juga ditemukan, karena pembantu yang menaruhnya sendiri.” Baru saja Luna menyindir, salah satu pembantu membuka laci dan mengambil liontin yang dikatakan Hana hilang. Luna tersenyum sinis, membuat Hana langsung menunjuk. “Lihat, kan? Kamu itu pencuri!” “Seorang pencuri itu harus diusir dari rumah ini!” Helaan napas terdengar dari Luna. Bukan karena ia kesal dengan kelakuan Hana, hanya saja malas menanggapi permainan adiknya ini selama bertahun-tahun. “Yang berhak mengusir bukan kamu, Hana. Tapi, papa.” Ekspresi wajah sombong penuh kemenangan mulai Hana tunjukkan. Wanita ini beranggapan kalau Luna akan didepak sebelum menjelaskan. “Oke!” Renda terpaksa harus meninggalkan dokumen senilai ratusan juta, hanya untuk menatapi kedua putri yang duduk saling berhadapan di ruang kerja. “Lihat ini, Pa! Luna mencuri liontin milikku.” Hana meletakkan liontin di atas meja. Sorot mata Rendra melirik sejenak. Liontin yang katanya mahal itu malah ditelantarkan tanpa box. Tentu membuat pria tersebut meragukan keasliannya. “Seyakin itu?” tanya Rendra. Hana yang semula begitu senang, mendadak menunjukkan reaksi heran. Biasanya sang ayah akan langsung mengamuk, kali tersebut malah begitu tenang. Luna memainkan kuku jemarinya dengan raut wajah yang tenang juga. Tentu Hana langsung melirik padanya. “Janda miskin ini, Pa. Aku menemukan liontin ini di kamar dia!” Tangan Hana sampai menunjuknya. Mungkin jika mereka berdua saling beriringan, maka jemari Hana telah mencapai bagian wajahnya. Perlahan Luna menghentikan kegiatannya dan mulai duduk dengan lebih santai. “Pa, besok aku akan melihat rumah dengan Bastian,” ujar Luna malah mengalihkan topik. Begitu mendengar nama Bastian disebut olehnya. Tatapan mata ayahnya langsung berubah tertarik. “Benarkah?” Kepala Luna langsung mengangguk. “Iya, Pa.” Persetan dengan dosa yang Luna terima karena telah membohongi ayahnya, perihal Bastian yang akan mengunjungi rumah dengannya. Padahal besok ia ada rencana pergi bersama Rena. “Rumah apa yang kamu inginkan?” Hana makin dibuat heran dengan sang ayah yang malah tidak memarahi Luna sama sekali. Justru larut dalam pembicaraan soal rumah dengan Luna. “Apartemen, Bastian yang belikan.” Luna kembali menyinggung Bastian yang membelikannya apartemen, padahal dirinya menghutang. “Kamu tidak punya mobil, kan? Bagaimana kalau papa datangkan pihak showroom?” Mendengar kata mobil, Hana langsung protes. “Pa! Luna mencuri liontin milikku!” Rendra langsung menggebrak meja dengan kasar, hingga liontin sempat bergerak. “Liontin palsu kamu jadikan alasan untuk menghasut Kakakmu!” Hana kaget dengan bentakan dari sang ayah. Terlebih ayahnya yang tahu kalau itu bukan liontin asli. “Kalau kamu mengganggu Kakakmu lagi! Papa akan keluarkan kamu dari kartu keluarga!” Ancaman yang tidak main-main itu membuat mulut Hana memilih diam. *** “Kamu sama Bastian mau nikah?” Luna yang sedang membuka balkon rumah, langsung terdengar helaan napas darinya. “Siapa yang mau menikah?” Kepala Rena langsung menyembulkan kepala di pintu balkon yang setengah tertutup. “Kamu sama Bastian.” “Tidak.” Luna melangkah mendekati pembatas balkon, kemudian menatap awan yang bergerak bebas di atas kepalanya. “Tidak ada gambaran masa depan antara aku dengan Bastian.” Rena ikut keluar dan berdiri di sebelahnya. Menyandarkan punggung pada pembatas balkon yang dipastikan bangunannya begitu kokoh. Mata Luna dimanjakan oleh beberapa gedung apartemen di sekitarnya. Tapi, tidak dengan Rena yang lebih tertarik untuk menatap ekspresi wajahnya. “Memangnya kamu ada niatan untuk balik sama mantan suami kamu itu?” tebak Rena ingin tahu. Luna diam sejenak, kemudian kepala menggeleng. “Kalau tidak, kenapa kamu tidak mau menerima Bastian?” Perlahan Luna berbalik dan mengikuti Rena, menyandarkan punggung pada pembatas balkon. “Menurutmu, apakah aku bisa bersama Bastian lagi?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN