Bab 8. Nama Yang Bisa Dijual

1002 Kata
Rena mengacungkan jempol dengan raut serius. “Bisa.” Helaan napas terdengar dari Luna. “Aku merasa kami sama sekali tidaklah cocok.” “Kenapa!” Lirikan Luna sedikit heran, mendengar nada suara temannya ini yang berubah drastis. Melihat reaksinya, Rena langsung menurunkan emosi. “Maksudku, kenapa kamu merasa tidak cocok? Apa karena masa lalu?” Mulut Luna membisu untuk sesaat. Apakah keraguan ini berasal dari masa lalu? Ketika rasa takut ditinggalkan itu akan kembali singgah. “Bukan,” sangkal Luna. “Lalu? Asal kamu tahu, Luna. Semua wanita di dunia ini,” ujar Rena dengan tangan membentuk bulatan besar. “Mereka merasa iri saat kamu dan Bastian bersama dulu, karena kalian ibarat Romeo dan Juliet.” Bibir Luna sedikit mengulas senyum, sahabatnya ini benar-benar sangat berlebihan menurutnya. Luna menarik napas amat pelan, mencoba merasakan udara di rumah barunya ini. “Sudah dapat kontak dari Antonio?” Rena berdesis karena dirinya yang tiba-tiba mengalihkan topik. “Pelukis ‘silent sea’ itu sangat angkuh, berapa banyak pesan pun yang aku kirim. Sama sekali tidak ada respon.” Keluhan Rena yang diucapkan dengan cepat, membuat Luna menganggukkan kepala, dirinya masih bisa menangkap artinya. “Besok aku akan temui dia langsung.” Kaki Luna mulai memasuki rumah lagi. “Mungkin saja, dia berubah pikiran dan karyanya itu mau dipamerkan.” Rena mengikutinya, menutup pintu balkon dan berjalan beriringan dengannya. “Aku akan memberikan nomornya padamu.” Setelah mendapatkan kontak dari Antonio, seorang pelukis yang karyanya diminati olehnya. Luna langsung menghubungi melalui ponselnya. “Dia sedang aktif, tapi kenapa tidak membalas?’’ Lelah menunggu, membuat Luna bangun dari duduknya. Kaki berjalan santai dengan tangan membuka pintu balkon di kamarnya. Luna bisa memandang ribuan bintang yang bersembunyi di antara langit, hanya menyisakan kegelapan di dekat rembulan. Luna memejamkan matanya sejenak. “Besok pindah ke apartemen.” Harapan Luna saat lembaran baru dirinya buka, hidupnya menjadi lebih baik. *** “Keamanan apartemen hingga unitnya juga terjaga.” Pandangan Luna tertuju pada ibu tirinya yang meletakkan kotak berisi keperluannya. Diana menegakkan tubuh dan melihat seluruh pelosok apartemen yang benar-benar elit. Kamar tidur utama yang luas disertai toilet dengan sentuhan kemewahan, tentu membuat mata iri jika meniliknya. Rena meletakkan koper miliknya yang besar dengan sedikit terengah. “Bastian yang memberikannya, Bibi.” Ibu tirinya ini melirik dan mengangguk sembari tersenyum, karena telinga mendengar dari suami juga kalau Bastian punya tujuan pada Luna. “Kamu harus belanja sedikit untuk memenuhi rumah ini,” ujar Diana sembari menyerahkan kartu berwarna hitam padanya. Mata Luna menatap sejenak, kartu yang pernah dirinya pegang sebelum menikah, lalu dikembalikan setelah keluar dari rumah. Rena yang melihat dirinya hanya diam, langsung mendorong tubuhnya. “Kalau sampai minggu ini, mama tidak terima notifikasi pengeluaran darimu,” ujar Diana setelah Luna menerima kartunya, “mama akan menyeretmu untuk belanja.” Luna langsung tersenyum. “Aku akan memakainya, Ma.” Kepala Diana mengangguk, kemudian mengusap rambutnya sebentar. “Nah, ayo mulai bekerja!” Luna kembali tersenyum, Diana sungguh sangat menggantikan peran ibu kandung baginya. Apalagi kasih saying dari Diana bukanlah kepalsuan baginya. *** “Aku sudah putus dari Bastian.” Ucapan yang Ayu lontarkan sembari mengunyah camilan dengan santai, rupanya telah mengejutkan ibu dan sang kakak. Yuda bahkan sampai menghentikan kegiatan dari mengaduk kopi. “Kamu bilang apa barusan?” Ayu memandang pada Yuda. “Memangnya Mas tidak punya telinga?” “Kenapa bisa putus? Kamu kira pertunangan itu hal sepele?” tanya Yuda nampak kesal. Sang ibu menghela napas panjang, pantas saja Bastian tidak pernah lagi memunculkan batang hidungnya. Bahkan Ayu selalu menghindar ketika wanita tersebut meminta Bastian untuk datang menemani ke acara tertentu. “Kenapa tidak bilang sama ibu, hm? Hal sebesar itu kamu sembunyikan,” komentar sang ibu. Ayu menarik napas. “Mau bagaimana lagi, Bastian terlahir dari keluarga kaya, cucu satu-satunya lagi.” Kemudian Ayu menunjuk diri sendiri. “Aku hanya anak dari keluarga sederhana, Ibuku tidak berpenghasilan dan Mas-ku hanya karyawan kantor kecil.” Ibu Ayu terlihat mengamuk. “Terus apa hubungannya sama harta! Banyak tuh orang yang tidak sepadan menikah, mereka bisa hidup Bahagia.” Ayu melirik. “Ibu masih tidak sadar? Hukum alam, Bu. Ikan yang kecil saja bakal masuk ke pencernaan, jika ikan lebih besar membuka mulut mereka.” Helaan napas antara tidak terima dan menyadari fakta sederhana yang melekat sejak zaman dulu pada keluarga mereka. Ayu berpikir, memang Luna kandidat terbaik untuk bersanding dengan Bastian. Terlepas dari status anak haram atau tidak, tapi darah yang mengalir pada Luna tetaplah orang kaya. “Ngomong-ngomong, sudah kamu temui Luna?’’ Ibu Yuda tiba-tiba bertanya. Yuda menoleh, mengambil secangkir kopi sembari berjalan mendekat dan duduk di sisi Ayu yang masih sibuk mengunyah camilan. “Sudah, Bu.” “Kamu yakin ingin cerai dari Luna? Dia menantu terbaik ibu, meski kita tidak pernah merasakan cipratan uang dari keluarganya.” Yuda diam sejenak dengan mata focus pada kopi yang mulai diam setelah bergoyang selama diaduk. Jemari Yuda perlahan meletakkan kopi yang hangat di atas meja. “Aku berencana rujuk setelah Erna melahirkan dan aku dapat hak asuh Hafiz.” Bocoran atas rencana itu membuat ibu dan Ayu langsung menarik napas kesal. Jika saja bukan kakak sendiri, sudah Ayu pukul kepala Yuda. Sementara di apartemennya. Luna meletakkan secangkir teh hangat di atas meja, mata Diana pun tersita sejenak kemudian kembali focus pada televisi selebar lemari dua pintu, itu menurut Diana. “Mama dengar, Bastian melamar kamu?” Luna tak segera menjawab, ia memilih menyeruput teh dengan terburu. Diana nampak menantikan suara darinya yang masih saja bungkam, bahkan setelah cangkir kembali pada tatakannya di atas meja. “Itu hanya gosip yang papamu buat saat iseng?” tanya Diana penasaran. “Benar, Ma.” Jawaban yang ambigu ini membuat Diana menatap lama dengan mulut membisu. “Setelah bercerai, terima dan jadilah istri Bastian.” Tiba-tiba ibu tirinya memutuskan, mata Luna tak memindahkan penglihatannya pada cangkir teh. “Dengar, Luna. Jadikan Bastian sebagai batu loncatan bagimu, ini bukan soal negatif.” “Bastian, hanya dia seorang. Nama yang bisa dijual dan digunakan untuk melindungi kamu dari dunia yang berisi orang-orang kejam.”

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN