Bab 6. Rujuk Kembali

1020 Kata
Yuda mendengkus kesal. “Omongan itu doa, hati-hati nanti kamu yang kena.” “Loh, bukannya doa itu sudah terkabul, ya? Buktinya kamu selingkuh, tuh.” Pria tersebut berakhir dengan helaan napas yang kasar, sering kali kalah telak jika sudah ada mulut dengan Luna. Yuda memilih duduk kembali di kursi dengan mata sempat menatap buku menu yang masih terbuka. “Harusnya aku biarkan dia memesan dulu, baru memulai bicara.” Yuda meraup wajah dengan sedikit adanya perasaan menyesal. Melihat dokumen di dekat buku menu membuat Yuda langsung mengambil dan menyimpannya ke dalam tas. “Bersabarlah, Luna! Hanya 7 bulan ke depan. Setelah Erna melahirkan, aku akan menikahi kamu lagi.” Yuda tersenyum senang, membayangkan bisa rujuk kembali dengan Luna. Wanita yang dicintai oleh Yuda. Sementara Luna berhenti melangkah begitu tiba di sisi jalan. Mata mulai mengaktifkan mode pencarian, ia harus segera temukan taksi di jam pulang karyawan yang bakal menyumbang kemacetan. Mendadak sebuah mobil warna hitam berhenti di hadapannya dengan pelan, seolah sudah diperhitungkan kalau Luna akan keluar dari café. “Luna.” Suara helaan napasnya meresap ke udara, mungkin bercampur antara dengan polusi atau angin. Sebab, matanya menemukan Bastian menunjukkan wajah melalui kaca mobil yang diturunkan. “Yuk naik!” Ajakan itu sama sekali tidak digubris olehnya. Pandangan Luna tetap saja beredar di sepanjang jalan yang ramai. Berharap ada sopir yang memiliki kepekaan hingga menghentikan mobil di hadapannya sekarang juga. “Percuma,” ujar Bastian, “sekarang tidak akan ada taksi. Daripada jadi patung di pinggir jalan, lebih baik ikut denganku, kan?” Luna masih tidak mau menurut, ia malah mengambil ponsel dan mulai mengoperasikannya. Bukan mencari ojek online, sejujurnya Luna tidak punya kuota. Kaya pun hanya sampul, selebihnya ia miskin kalau menyangkut data. Bastian yang biasanya emosian, mungkin akan langsung meninggalkan Luna begitu saja. Namun, Bastian langsung keluar dari mobil dan Nampak berjalan untuk membuka pintu di sebelah Luna. “Selagi para hantu belum berkeliaran, kamu masih punya waktu sebelum diserempet oleh mereka.” Tatapan Luna jatuh pada Bastian. “Aku sudah tidak takut seperti dulu.” Meski mulut bicara ia berhenti takut dengan hantu, namun melihat hari yang sudah sore, terbukti dari kemunculan lembayung di permukaan awan. Luna langsung menyimpan ponsel dan berjalan kea rah Bastian. Bibir otomatis mengulas senyum, menyaksikan Luna yang akhirnya masuk ke dalam mobil. Namun, ekspresi senang dari Bastian perlahan sirna setelah menemukan Yuda keluar dari café dan menghampiri parkiran mobil. “Kamu harus tanggung jawab, Luna.” Ocehan dari Bastian sembari mengitari mobil dan menduduki kursi kemudi membuatnya melirik. “Bicara apa sih?” “Mood aku sudah hancur karena kamu menemui Yuda.” Begitu mendengar Bastian tahu kegiatannya, kepala Luna langsung menoleh kea rah parkiran. Terlihat mobil milik pria itu sedang diarahkan keluar oleh petugas parkir. Bastian makin tidak senang, sebab Luna mengabaikan dia dan menatap ke arah pria lain. Luna sendiri memilih bungkam soal pertemuan mereka yang membahas peceraian. “Mau aku sewakan pengacara?” tawar Bastian tiba-tiba. “Untuk apa?” “Supaya kamu lepas darinya.” Mata Luna akhirnya saling bertemu dengan Bastian. “Jangan membantu wanita yang ingin cerai, itupun jika kamu tidak ingin dapat sial.” Pandangan Bastian begitu serius. “Sial juga akan aku tampung, lalu tidak akan membaginya denganmu selaku istriku kelak.” Mendengar omong kosong dari mantan kekasihnya ini membuat Luna tidak nyaman. Melihat gerak-gerik Luna yang ingin keluar dari mobil, terburu Bastian mengunci akses mobil dan mulai tancap gas. “Aku sudah memilihkan rumah yang bagus, dekat dengan tempat kamu kerja.” Luna langsung menoleh. “Kamu tahu dari mana, kalau aku Kembali bekerja?” “Rena yang memberi tahu aku.” Jawaban itu membuat Luna menarik napas, nama yang sudah muncul di otaknya ternyata tidaklah salah. Hanya Rena yang paling mendukung hubungannya dengan Bastian. “Kamu sudah makan?” tanya Bastian. “Tidak perlu,” tolak Luna sebelum mulut Bastian kembali berucap. Bastian yang gagal mengajak Luna makan malam bersama berakhir dengan menghela napas. Jari jemari Bastian mengetuk permukaan setir. “Kalau begitu, ikut denganku untuk melihat rumah yang aku belikan!” ajak Bastian. Luna melirik. “Hutang, aku tidak meminta darimu.” “Ya, hutang.” Bastian melirik jalanan yang padat, bahkan mereka berdua sudah mulai terjebak dalam kemacetan. “Nanti juga lunas, toh jadi istri sendiri,” gumam Bastian sangat pelan. Pandangan Luna beredar. Mobil dan motor mulai berbaris dengan asal di jalur yang sama. Akhirnya Luna tetaplah jadi penyumbang kemacetan bersama pengendara lainnya. “Apa kamu memikirkan tiba-tiba ingin naik pesawat setelah melihat kemacetan ini?” singgung Bastian. Kepala Bastian menoleh dengan mata menelisik. Tangan Luna yang sedang meremas perut serta napas yang ditahan. Bastian mulai memahami, kalau Luna berusaha menahan suara panggilan alam dari perut. Selagi macet, Bastian memanfaatkan momen itu untuk mengambil sesuatu dari kursi belakang. Luna berusaha tidak melirik dan ikut campur. “Makanlah!” Namun, sebungkus roti dan air mineral telah menimpa pangkuannya. Otomatis Luna menatap pada Bastian. “Aku tidak lapar,” tolaknya. “Makanlah! Aku tahu kamu haus dan lapar selepas pulang kerja.” “Aku bilang tidak–” “Menolak sekali lagi, aku bakal cium kamu.” Wajah Bastian yang serius membuat Luna yakin, kalau dirinya menolak lagi dipastikan bibir atau wajah menjadi korbannya. “Ini mendekati kadaluwarsa, aku terpaksa memakannya dari pada terbuang.” Bastian langsung tertawa mendengar alasan dari Luna. Padahal langsung dimakan atau mengatakan lapar pun, dia tidak akan mengolok. “Berikan saja kunci dan alamatnya, aku akan mengunjunginya dengan Rena.” “Rena sedang kerja, jangan ganggu dia. Lebih baik dengan aku saja.” Bastian yang menawarkan diri sama sekali tidak dilirik oleh Luna. “Kalau begitu aku akan pergi dengan ibuku,” ujar Luna. Mata Bastian menjadikan Luna sebagai objek selama beberapa detik. Jika saja dia tidak peduli dengan karir, mungkin sekarang mereka sudah memiliki anak berusia tiga tahun. “Aku menyesal,” akui Bastian sembari tertawa miris. “Meninggalkan kamu dan berpura tidak acuh, tapi saat mendengar kamu menikah,” ujar Bastian dengan mata menatapnya lekat, “aku serasa mau mati.” "Buktinya kamu masih hidup hari ini." Penghayatan yang Bastian lakukan lenyap sudah, begitu mendengar jawaban santai dari Luna sembari menggigit sebungkus roti.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN