"Kamu tahu, dari perkataan kamu yang panjang lebar aku menyukai saat kamu memanggilku 'Mas'." wajah Harum menunduk "Terdengar lembut dan merdu."
Sekarang Harum mengerti kenapa kedua istri Abi mau- mau saja di madu, sebab selain kaya, pria itu juga pintar merayu.
Andai Harum bukan menjadi yang ketiga, dia pasti akan sangat tersipu, tapi, mengingat sebelum Harum ada dua istri yang pasti juga sering di puji oleh Abi, membuat Harum biasa saja. "Mas, berlebihan," kata Harum akhirnya, dia tak mungkin tidak menjawab perkataan Abi kan.
Abi mengambil sepotong daging sapi yang dibumbui khas padang dan meletakkannya ke piring Harum "Sekarang makanlah ..." Abi tersenyum saat Harum bergerak dengan gelisah "Jangan khawatir, sebelum aku memilikimu secara halal, aku tidak akan macam- macam, bahkan meski aku ingin, aku tidak akan menyentuh meski sekedar tanganmu."
Harum menghela nafasnya lega, bagaimana pun dia merasa takut sebab belum mengenal Abi sepenuhnya, belum lagi melihat tatapan m***m pria itu membuat Harum merasa harus waspada.
"Maaf Mas Abi, aku terlalu berpikiran buruk."
"Gak perlu terlalu formal, silahkan!"
Sepanjang Harum makan, Abi terus memperhatikan gerak geriknya, bagaimana cara wanita itu makan, dan minum juga gerakan yang nampak terus gelisah.
Abi tertawa geli melihat Harum begitu ketakutan padanya, padahal Abi jelas tidak akan menyakitinya. Ya, kecuali mungkin nanti saat mereka sudah menikah. Abi mengerti hati wanita mana yang ingin pernikahannya di madu, jelas jika nanti Harum tinggal satu rumah dengan Kartika dan Ratih pastilah dia akan merasakan sakit hati.
Tapi Abi yakin Harum mampu melewatinya.
Abi kembali tersenyum saat Harum mendongak "Mas tidak makan?" tanyanya.
Abi menggeleng "Aku baru saja makan."
"Tapi, aku jadi gak enak makan sendiri."
Abi menyeringai "Ya, kecuali kamu yang menyuapiku."
Harum tertegun, bukankah baru saja Abi mengatakan dia tidak akan macam- macam, kenapa sekarang minta di suapi?
Tapi Abi jelas bilang tidak akan ada sentuhan sebelum menikah, sedangkan hanya sekedar menyuapi ...
Sudahlah, lagi pula dia harus belajar menerima Abi, dan pernikahan ini.
Jadi dengan tangan sedikit bergetar Harum menyodorkan sendok berisi nasi dan daging ke arah Abi.
Abi menyambut suapan Harum, dengan tatapan yang tanpa kedip membuat jantung Harum berdebar- debar. Bukan hanya itu, Harum juga sebenarnya merasa malu bertingkah seperti ini dengan pria yang baru dia kenal, tapi jika tidak, entah sampai kapan Harum akan merasa canggung.
"Dalam waktu dekat aku akan menemui Bapak kamu."
Harum mengerti jadi dia hanya mengangguk "Bolehkah aku minta satu hal?" tanyanya.
"Apa?"
"Aku ingin pernikahanku dirayakan." tatapan Harum berubah datar.
"Ingin membalas mantan Hum?"
Harum tertegun "Mas tahu?"
"Tentu saja, Jeki memberitahuku kejadian beberapa hari lalu."
"Maaf, karena selain karena uang, aku menikahi Mas karena sakit hatiku."
Seharusnya Abi sakit hati karena ucapan Harum, sebab menikahinya karena uang. Tapi bukannya marah, pria itu justru tersenyum.
"Tidak masalah, apapun yang kamu butuhkan, untuk membalas mereka katakan padaku, aku akan selalu mendukung mu." setidaknya Harum jujur dengan perasaannya, begitu pikir Abi.
Harum menunduk "Gak balas dendam juga, itu cuma buang waktu, hanya saja aku harap setelah ini mereka tidak meremehkan keluargaku. Mereka bilang dengan uang bisa melakukan apa saja ... ."
"Benar, tapi mereka tak tahu, lupa diri karena uang bisa membuat mereka kehilangan yang berharga."
"Aku tak mengerti kenapa Firman memutuskan kamu, dia akan menyesal karena kehilangan wanita yang berharga seperti kamu."
Harum terkekeh "Bagus kalau menyesal, aku harap dia tidak akan melupakan aku setelah aku gak bisa lagi dia miliki, lalu dia akan gila karena gak bisa mencintai wanita lain."
"Ya, karena kalau kamu sudah menjadi milikku, aku tidak akan membiarkan kamu lepas lagi," timpal Abi.
"Lagian aku gak berniat kembali," cibirnya.
Abi tertawa, "Aku tidak sabar untuk datang melamar kamu." merasa Harum adalah gadis yang tepat, membuat Abi semakin tidak sabar.
Harum tersenyum kecut "Sayang aku jadi istri ketiga, kalau tidak, Firman dan keluarganya akan mati kutu karena aku menikah dengan Juragan empang."
Abi semakin tertawa mendengar gerutuan Harum.
Tidak disangka baru pertama kali bertemu Abi, Harum bisa melihat wajah pria itu dengan berbagai macam ekspresi, mulai dari senyum, tatapan m***m, datar dan kini pria itu tertawa terbahak, apa dia bicara hal yang lucu? Padahal Harum jelas merasa nasibnya sangat malang saat ini.
****
Harum di antar Jeki pulang setelah pertemuannya dengan Abi barusan, dengan menaiki mobil pick up yang biasa mengangkut ikan, Harum membawa beberapa kantung makanan yang sengaja Abi pesankan untuk bapak dan adik Harum di rumah, bukan hanya itu Abi juga membelikannya berbagai macam buah.
Poin bagus lagi untuk Abi, pria itu benar- benar perhatian pada keluarganya, hingga memikirkan buah tangan untuk mereka.
"Makasih Mas Jeki," katanya saat turun dari mobil pick up tersebut.
"Harusnya aku yang berterimakasih." Jeki tersenyum lebar, bagaimana pun jika pernikahan benar- benar lancar, dia akan kaya dan memiliki setengah empang Juragan Abi di desa ini. Jadi, tentu saja Jeki yang harus berterimakasih.
Harum mengerut tak mengerti "Hah?"
Jeki tertawa "Gak papa, sudah sana. Aku mau pulang." Harum mengangguk dan memasuki rumahnya.
Saat masuk Harum melihat bapaknya duduk di kursi rotan di ruang tamu "Bapak udah minum obat?" tanya Harum sambil meletakan bungkusan makanan di atas meja.
"Sudah."
"Apaan tuh, mbak?" tanya Soleh yang sedang duduk di depan tv.
"Makanan padang, buat kamu sama bapak," jawab Harum.
"Wah asik!" Soleh berseru senang dan mengambil piring ke dapur.
"Bapak mau makan sekarang?" tanya Harum saat melihat Soleh sudah siap dengan makanan yang dia tuang ke dalam piring.
"Nanti saja. Bapak mau tanya dulu, gimana pertemuan kamu sama Juragan Abi?"
Harum tersenyum "Gak buruk, dia juga gak tua kayak bayangan aku."
Bapak mengerutkan keningnya "Oh, ya?"
"Bapak gak akan percaya, dia lumayan ganteng. Oh, Mas Abi juga bilang akan segera menemui Bapak."
Bapak terus memperhatikan wajah Harum dan melihat Harum mengatakannya dengan ringan Bapak mengira Harum mungkin sudah menerima pernikahan ini.
***
Firman duduk lesu di kursi di kelasnya, di saat semua orang memperhatikan dosen yang tengah mengajar, Firman justru bolak balik melihat ponselnya, sudah satu minggu tapi Harum belum menghubunginya untuk minta maaf dan memohon untuk kembali.
Apakah Harum menganggap perkataannya serius, bagaimana kalau iya?
Tidak! Firman tidak bisa membayangkan kalau dia harus benar- benar kehilangan Harum.
Jadi saat ini Firman menggulir layar ponselnya dan mencari kontak Harum, baru saja akan menekan tombol hijau, seseorang menepuk pundaknya.
"Kenapa sih?" Sintia bertanya dengan dahi mengeryit. "Dari tadi aku lihat kamu gak fokus deh." Firman melihat ke depan ternyata dosen sudah keluar, jam pelajaran sudah selesai rupanya.
"Udah seminggu tapi Harum gak ada menghubungi ya," katanya dengan lesu.
Sintia menghela nafasnya "Baru juga satu minggu Man, kali aja Harum masih sibuk ngurusin bapaknya."
Ya, Firman juga dengar jika bapak Harum di rawat di rumah sakit, padahal dia ingin menjenguk, tapi, karena masalahnya dan Harum Firman harus menahan dirinya.
"Ya, sih."
"Tenang aja, Harum pasti balik lagi."
Semoga, tapi kenapa hati Firman justru tak yakin.
"Udah, jangan di pikirin. Mending kita belanja, beli baju buat ke pesta ulang tahunnya Mita."
Firman mengangguk, nanti malam teman kampus mereka memang ada yang merayakan ulang tahun.
"Oke."