SABAR

1017 Kata
Halimah saat ini hanya bisa pasrah dalam menghadapi masalah yang saat ini datang menerpa kehidupannya. Anak dan suaminya sudah direbut begitu saja. Bahkan oleh orang yang sangat ia percayai. Melina adalah teman baik Halimah. Bahkan saat gadis itu pertama kali menginjakkan kakinya di kota Bandung, Halimah adalah teman pertama Melina. “Kenapa malah ngelamun atuh Imah?” tanya ceu Kokom salah seorang teman Halimah yang bekerja bersamanya. Halimah bekerja di sebuah perusahaan konveksi rajutan di kota Bandung. Hanya konveksi kecil rumahan saja. Tetapi, sejak masih gadis Halimah memang sudah pandai merajut. “Nggak apa-apa Ceu, saya hanya ingat anak. Kemarin saya datang ke rumah mantan mertua tapi, malah diusir. Padahal saya hanya mau ketemu anak,” kata Halimah. "Duh, meni kelewatan pisan, ya? Sing sabar, ya. Pasti ada jalannya nanti, Mah. Kamu doa aja, pasrah sama Allah." "Iya Ceu. Abis mau gimana lagi." "Aneh ya mitoha( mertua) kamu mah, udah tau anaknya selingkuh teh malah didukung bukannya dikasi nasehat," kata Euis salah satu pegawai juga. Halimah hanya bisa diam dan tersenyum. Hidup memang seperti itu. "Padahal mah, saya teh kemaren ke sana hanya mau nengok anak. Da karunya atuh ya b***k teh meni ceurik.(kasian anaknya nangis)" "Pasti aya jalanna, sabar," kata Kokom. "Muhun, Ceu." Sementara itu, di kediaman Dasep, Komar tampak sedang duduk karena merasa kesal kepada anaknya. Sejak awal ia memang kurang setuju jika Dasep selingkuh. Tapi, memang anaknya itu sedikit keras kepala. "Seharusnya teh kemarin kamu nggak usah usir Halimah, wajar kalau dia mau ketemu anaknya. Siska itu kan anaknya dia," kata Komar kepada Maryam. "Iya tapi nantinya nggak akan bakalan mau sama ibu tirinya. Melina Itu kan ibu tirinya harusnya dia bisa lebih dekat sama Siska." "Percuma deket juga Dasep kan di Bali. Seharusnya dia tuh kerja di Bandung aja, Bapak pusing lihat kelakuan anak itu." "Ikutin aja lah apa maunya Pak. Lagian juga Melina itu kan orangnya baik, keluarganya juga orang kaya. Beda atuh sama si Halimah yang nggak punya orang tua lagi. Kerjaannya juga cuman tukang rajut," kata Mariam. Komar hanya bisa terdiam, sebenarnya Ia juga tidak menyukai Melina. Yang merasa kasihan kepada cucunya yang kehilangan kasih sayang ibunya. Sebaik-baik ibu tiri tentu saja akan lebih baik lagi ibu kandung. Tetapi istrinya itu kalau punya keinginan pasti selalu harus tercapai. Termasuk juga menikahkan Dasep dengan Melina. "Anak salah mah nggak usah dibela Bu. Kita orang tua seharusnya bisa mengarahkan anak, jangan mentang-mentang dia menginginkan sesuatu terus udah gitu kita ikutin. Termasuk juga ketika dia bercerai sama istrinya. Sebaik-baik ibu tiri itu lebih baik ibu kandung. Halimah itu kan anaknya juga baik, selama ini dia nggak pernah ngelawan. Anak juga dia urus dengan baik. Seharusnya ibu jangan gitu sama dia." "Ya kalau anak kita udah nggak suka mau gimanain lagi?" "Ya udahlah terserah Ibu aja. Yang penting Bapak mau bawa Siska ketemu sama ibu kandungnya. Kasihan anaknya mau ketemu ibu sendiri kok nggak boleh." "Tapi nanti kalau Dasep marah gimana? Dia kan nggak izinin Siska ketemu ibunya?" "Terus kamu mau ikutin aja anak kamu? Ya ga gitu juga, Bu. Coba dibalik kalau kamu ada di posisi Halimah nggak bisa ketemu sama anak sendiri enak nggak?" Maryam pun tidak bisa berkata apa-apa lagi. Iya tahu betul sifat suaminya kalau marah. Jadi ya lebih memilih untuk mengalah saja dan membiarkan Komar membawa Siska bertemu dengan Halimah. Halimah baru saja makan siang ketika ceu Kokom tergopoh-gopoh menghampirinya. "Halimah di depan ada mantan mertua kamu bawa Siska. Coba deh kamu lihat dulu ke depan," kata Ceu Kokom. Mendengar nama anaknya disebut Halimah pun langsung bergegas melangkah ke ruang depan. Pabrik rajutan Ceu Kokom hanya di rumah biasa. Rumah rumah miliknya memang besar cukup untuk memuat beberapa mesin rajut dan juga mesin yang lainnya. Pegawai Ceu Kokom hanya ada 8 orang termasuk Halimah. Dan saat Halimah menuju ke ruang tamu ternyata benar Komar dan Siska sudah menunggunya. Melihat sang ibu di hadapannya Siska pulang langsung memeluk Halimah dengan erat.. "Mama pulang ke rumah yuk, aku nggak mau sama tante Melina. Kata amih disuruh panggil mama. Aku nggak mau tapi aku takut dimarah sama papa. Papa kan galak," kata Siska. Halimah merasa dadanya begitu sesak. Tidak pernah ada wanita yang menginginkan perceraian termasuk dirinya. Tetapi, apa boleh buat? Suaminya sudah memilih wanita lain untuk mendampingi hidup. Meskipun rasanya sesak Halimah harus bisa menerima. Lagi pula dia memang merasa jika hanya sebatang kara di dunia ini. Kakak kandungnya nasibnya sama. Bahkan kakaknya sering mengalami KDRT dari sang suami. Halimah merasa jika di dunia ini uang adalah segalanya. Jika memiliki uang dan pendidikan tinggi Pasti akan disanjung dan dipuja-puja. Apalah arti dirinya yang hanya tamatan SMP? "Saya cuman pengen bisa nengok Siska setiap waktu Pak. Saya nggak akan bawa anaknya, saya juga tahu kalau Siska tinggal sama saya nggak ada yang nungguin karena saya harus kerja. Tapi tolong supaya saya bisa ketemu anak saya." "Maafin Bapak ya. Bapak nggak bisa ngedidik anak. Selama ini Dasep selalu dimanja sama ibunya. Apa aja yang dia mau selalu dikasih. Jadi anaknya ya begitu. Kamu tahu sendiri lah sifatnya. Tapi kalau kamu mau nengokin anak, biar bapak aja lah yang bawa Siska ke sini. Daripada nanti kamu berantem lagi sama Dasep." Halimah hanya bisa menganggukkan kepalanya. "Begitu juga nggak apa-apa Pak. Bapak kan tahu saya kerja di mana, jadi bisa tolong bawa Siska ke sini untuk nengokin saya." "Tapi aku maunya tinggal sama mama aja," kata Siska. Halimah memeluk anaknya sambil mengelus kepala Sang Putri dengan lembut. Rasanya sedih sekali mendengar perkataan anaknya seperti itu. Tetapi, apa daya hidupnya sendiri saat ini belum stabil. Iya belum memiliki rumah sendiri pekerjaan pun masih pas-pasan. Sementara jika Siska tinggal bersama kakek dan neneknya, hidupnya akan lebih terjamin. Meskipun bukan orang yang kaya raya tetapi Komar memiliki rumah sendiri. "Sabar ya, Nak. Doain aja mamanya dapat rezeki yang banyak. Nanti kalau mama punya rumah sendiri Kamu bisa tinggal sama mama. Sekarang mah tinggal sama amih sama apih dulu. Jangan bandel nurut apa kata Papa. Tante Melina juga baik kok," kata Halimah kepada Siska. Gadis kecil itu hanya menatap sang ibu dengan penuh tanda tanya. Iya masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang sudah terjadi diantara kedua orang tuanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN