PASRAH

1095 Kata
"Anak kecil nggak usah kepo," jawab Mariam ketus. "Ada apa sih, Bu?" tanya Ammar yang baru saja pulang dan mendapati istrinya cemberut. "Itu, si Melina. Semenjak pulang dari bulan madu, kerjanya cuma enak-enakan. Mentang- mentang di rumah ini ada pembantu. Nggak pernah bantu ibu di dapur, padahal dia kan tau, kalo pembantu kita nggak pernah ibu suruh masak. Siska juga tidak pernah dia urus dengan baik. Padahal ibu maunya dia urusin Siska, supaya nggak tanya Halimah terus." "Loh, kemaren yang mau punya menantu terpelajar Ibu sendiri, kan?" ujar Ammar sambil duduk dan mulai menyalakan televisi. "Bapak ini ... kalo ibu ngeluh nggak pernah didengar." "Loh, yang nggak denger siapa?Ibu inget nggak waktu Halimah mengadu kalo si Dasep selingkuh sama si Melina, ibu yang malah duluan setuju. Ibu bilang, bagus kalo Dasep sama Melina." "Lah, tadinya ibu pikir-" "Ibu pikir apa?" "Ya, ibu pikir Halimah itu pendidikannya nggak tinggi pak. Kita ini keluarga pengusaha, malu sama relasi bisnis." Komar hanya menggelengkan kepala mendenger ocehan sang istri. Komar memang tipe suami yang terserah apa kata istri. Karena dia paling malas berdebat. Meskipun memberi saran istrinya akan mengambil keputusan sesuai dengan apa yang ia mau. "Eyang, kok mama Siska nggak pulang juga sih? Emang mama ke mana?" "Siska sayang, mamanya Siska itu lagi kerja. Nanti kalo Siska udah sekolah, udah pintar, mama pasti pulang. Jadi, sekarang Siska harus nurut sama eyang sama amih,ya," jawab Komar. Seketika wajah gadis kecil itu mendung. Ada riak air mata yang ditahannya. Ada seribu pertanyaan tentang sang ibu yang berbulan- bulan tidak ia temui. Seperti biasa, Dasep pulang di sore hari. Setelah mandi dia menyempatkan untuk ke kamar Siska putrinya. Saat Dasep masuk, Siska sedang bermain boneka sendirian. "Siska kok sendiri?" tanya Dasep. "Semua sibuk, Siska nggak ada yang perhatiin. Maunya sama mama, tapi mama nggak pulang-pulang," jawab gadis kecil itu. Dasep hanya diam, sampai hari ini ia masih bingung bagaimana menjelaskan pada Siska mengenai Halimah. "Ya sudah. Siska main dulu ya, sebentar lagi makan malam kita makan sama- sama." Dasep pun beranjak mencari Mariam ibunya. Seperti biasa jika sore hari, Mariam berada di dapur untuk menyiapkan makan malam bersama bi Atun, pembantu mereka yang sudah lama bekerja. "Kamu sudah pulang?Istrimu belum juga," celetuk Mariam saat melihat Dasep memasuki dapur. "Jam berapa Melina pergi, Bu?" "Dari siang. Dia itu ... Ibu nggak minta dia jadi babu di rumah ini. Tapi, apa tidak bisa bangun pagi? Siapkan keperluan suami dan anak." Dasep menghela nafas panjang. Baru saja sebulan ia menikah, masalah sudah timbul. Melina pulang, tepat saat mereka sedang makan malam. Melihat menantunya pulang, Mariam hanya mencebik sebal. "Baru pulang, Lin?" sapa Komar pada menantunya. "Iya Pak, maaf pulang agak malam. Insya Allah, senin depan Melina wisuda. Nanti ... semuanya datang, ya," jawab Melina sambil duduk bergabung di meja makan. "Wisuda itu apa, Mama Melina?" tanya Siska. "Wisuda itu tanda kalo saya udah lulus sebagai mahasiswi," jawab Melina yang terdengar agak ketus. "Anak tanya jawabnya jangan ketus, Siska kan masih kecil. Tiga tahun aja belum," ujar Mariam akhirnya buka suara. Mariam memang tidak menyukai Halimah, tetapi ia sangat menyayangi Siska. "Ah, sudahlah aku udah kenyang, duluan," demi melihat ibunya yang siap berperang, Dasep memilih untuk menyudahi makan dan langsung beranjak pergi masuk ke kKomarnya. Sementara Melina terpaksa tetap duduk dan makan bersama tanpa berani membantah. Namun, sesekali mendelik ke arah Siska yang membuat gadis kecil itu agak takut. Tiba- tiba bel berbunyi, bi Atun tergopoh-gopoh berlari ke arah pintu depan untuk membuka pintu. Dan saat melihat siapa yang datang, Siska seketika berlari menyambut. "Mama pulaaaaaang!" jeritnya langsung menghambur ke dalam pelukan Halimah. Mendengar jeritan anaknya, Dasep langsung keluar dari kKomar. Matanya nyalang melotot pada Halimah. "Siapa yang mengizinkanmu ke sini?!" hardik Dasep. Halimah yang tengah memeluk Siska memandang Dasep kesal. "Berbulan- bulan kau tidak pernah mengizinkan untuk bertemu anakku sendiri, Mas. Bukankah pengadilan juga memutuskan kalo aku boleh menemui anakku kapan pun. Tapi, kalian semua tidak pernah mengizinkan aku untuk bertemu Siska," jawab Halimah geram. Melihat Papanya memarahi sang Ibu, sontak Siska memeluk sang ibu lebih erat. "Mama ke mana aja? Mama jangan pergi lagi. Siska mau ikut Mama!" pekik Siska. "Dengar sendiri, kan?" ujar Halimah kesal. Tiba- tiba saja, Mariam dengan kasar merebut Siska dari pelukan Halimah yang membuat gadis kecil itu meronta-ronta. Mariam langsung memberikan Siska pada Melina untuk digendong. "Bawa dia masuk ke kamarnya, jangan sampai keluar!" perintah Mariam tegas. Perintahnya yang langsung dilakukan Melina. Hal itu tentu membuat Siska menjerit-jerit memanggil Mamanya Halimah yang berusaha untuk menggapai Siska langsung dicekal Dasep. "Kamu jangan pernah berani untuk datang ke sini lagi!" seru Dasep. "Kalian ini keterlaluan. Aku hanya diam ketika kamu selingkuh dengan temanku, Mas. Apa kalian tau bagaimana kecewanya aku. Aku ikhlas dan berusaha untuk menerima. Tapi, tolong jangan pisahkan aku dengan anak kandungku sendiri!" "Dia bukan anakmu lagi!" bentak Mariam. "Bagaimana bisa ibu berkata dia bukan anakku lagi? Ibu sebagai seorang ibu juga, seharusnya bisa mengerti posisiku, Bu." "Pokoknya aku tidak mau tau, kau tidak boleh bertemu lagi dengan Siska!" sentak Mariam lagi sambil mendorong Halimah keluar. "Sudah! sudah!" akhirnya Komar bersuara juga setelah melihat anak dan istrinya mengusir Halimah dengan kasar. "Halimah, pulanglah dulu. Besok pagi bapak antar Siska ke rumahmu," ujar Komar lembut. Sontak saja Dasep dan Mariam tersentak kaget mendengar ucapan Komar. "Pak!" "Sudahlah, Ibu diam sekarang. Kau juga, jangan kasar sama perempuan. Pulanglah dulu nak," ujar Komar lagi. Halimah pun mengangguk pilu, tanpa mengucapkan apa pun ia segera melangkah pergi. "Bapak apa- apaan?!" ujar Mariam kesal. "Iya, Bapak ini kenapa? Susah payah aku memenangkan hak asuh anak ... bapak bela si Halimah itu!" "Kalian boleh saja bercerai, tapi tidak ada yang namanya bekas anak atau bekas Ibu. Dengar itu! Selama ini aku diam, bukan berarti aku setuju dengan apa yang kalian lakukan pada Halimah. " "Tapi pak-" "Tidak ada tapi - tapian lagi! Sudahlah, jangan lagi kalian menghalangi si Halimah kalo mau bertemu anaknya. Apa kalian tidak lihat tadi, Siska sampai menjerit begitu!" Komar pun melangkah pergi menuju Komar cucunya. Saat membuka pintu, tampak Siska sedang menangis di lantai, sementara Melina hanya duduk tanpa melakukan apa pun untuk menenangkan gadis kecil itu. Komar hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelakuan menantunya itu. "Siska, jangan nangis lagi, ya. Besok kita ketemu sama Mama, ya," bujuk Komar sambil membawa Siska dalam gendongannya. Melihat Komar sudah menggendong Siska, Melina pun segera beranjak keluar kKomar. "Amih sama papa jahat," isak Siska. "Iya, tadi eyang sudah marahi kok. Besok kita ke rumah Mama. Sekarang jangan nangis lagi." Siska pun mengangguk sambil memeluk eyangnya kuat- kuat. Komar mengusap kepala gadis kecil itu penuh rasa sayang, sampai akhirnya Siska pun tertidur dalam gendongannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN