>
Jakarta, 2012
Pagi ini tower eN Group diributkan dengan acara ulang tahun bos sekaligus pemilik gedung dan perusahaan tempat gue bekerja, Martin Natanegara. Semua kaum Hawa di kantor ini sseolah teralihkan dunianya dan membicarakan laki-laki berusia 50 tahun yang selalu bergaya flamboyan yang masih gagah, kata karyawan cewek eN Plywood, di usianya yang sudah memasuki separuh abad dan single. Duda keren istilahnya.
Sebenarnya gue kenal baik dengan Martin. Papa adalah sahabat baik bos gue itu. Namun, sebisa mungkin gue bekerja secara profesional. Gue nggak pernah marah apalagi nggak terima ditegur atasan, kalaupun memang gue berbuat salah. Sebisa mungkin gue nggak bertingkah sok bossy di kantor ini. Di luar kantor gue biasa memanggilnya om Martin, kalau di kantor sama kayak karyawan lain. Martin itu ramah dan baik orangnya. Beda banget dengan Arif Sakanada yang bisanya bikin gue sengak, cuma dengan melihat 'si bangke' dari jauh. Masih bagus gue nggak doyan bini orang. Kalau doyan, udah gue embat juga itu bininya si Arif. Dastan dan Alvin aman banget hidupnya, nggak pernah bersinggungan dengan si Arif itu.
"Ce, mojok yuk!" Gue menghampiri kubikel Cindy dan mengganggu kesibukannya.
"Lagi sibuk nih, Fan."
Cindy mengacuhkan ajakan gue untuk 'mojok', istilah antara gue dan Cindy jika ingin melakukan make out sampai have seks di dalam kantor. Biasa juga dia yang kegatelan menarik dasi atau jas gue menuju pantry, storage bahkan rooftop. Jangan kaget karena memang banyak tempat strategis di kantor ini yang bisa digunakan sebagai tempat mencari 'kesenangan' di sela penat dan kesibukan pekerjaan. Cuma gue yang berani melakukannya di sudut-sudut kantor. Yang lain nggak ada yang punya nyali segila gue.
"Ce, mumpung sepi nih!" Gue masih pantang menyerah membujuk Cindy.
Suara deheman mengalihkan perhatian gue dari belahan d**a Cindy. "Kerjaan kamu sudah selesai Haffandi? Malah enak-enakan nongkrong di sini. Saya tunggu revisi laporan dari divisi pemasaran sekarang juga!" ujar suara berat Arif menegur gue.
Setan! Gue sumpahi orang tua satu ini impoten seumur hidupnya. Hobi banget ganggu kebahagiaan hidup orang. Makian demi makian untuk Arif terus terlontar sampai gue kembali ke lantai 24.
♡♡♡
Malam minggu ini, Martin menggelar acara ulang tahunnya dengan sangat meriah. Semua pengusaha dan elite politik ada di rooftop hotel berbintang ini. Bahkan acara ini lebih meriah daripada acara ulang tahun perusahaan. Meski acara berada di ruangan terbuka, tetapi udaranya cukup membuat gerah. Gue butuh udara segar, mungkin sudut lain di rooftop bisa dipilih untuk mencari udara yang mampu menyegarkan paru-paru gue.
Setelah berputar, gue menemukan tempat dekat pagar pembatas. Sudah ada seseorang ternyata sebelum gue datang ke tempat ini. Tangannya sedang merentang di pagar pembatas. Seorang perempuan dengan gaun yang terbuka di bagian punggung dan meng-expose tulang ekornya yang membentang dengan sangat seksi di mata gue. Warna gaunnya merah menyala, sangat kontras dengan kulitnya yang putih. Rambutnya digelung dan menyisakan helaian anak rambut nakal yang beterbangan terkena terpaan angin malam. Gue semakin mendekati perempuan yang sedang berdiri seorang diri di tempat ini. Pendapat gue dua, dia niat bunuh diri atau perempuan jadi-jadian. Kalau sampai salah satunya benar, berarti gue apes seapesnya malam ini.
Saat semakin dekat dengannya, bisa gue lihat dari jarak saat ini, di bawah leher belakang perempuan itu terlukis sebuah tato seperti simbol. Gue mencoba mengingat simbol apa itu? Gue berpikir keras mencoba mengingat pernah melihat simbol seperti itu di mana. Beberapa menit kemudian akhirnya gue bisa tahu itu simbol apa. Simbol Omkara, lambang agama Hindu. Gue tahu karena dulu punya teman kuliah beragama hindu. Itu artinya perempuan ini pemeluk agama Hindu.
"Hotel ini terdiri dari 40 lantai. Cukup tinggi menurut gue. Tulang lo bakal remuk kayak ayam di presto kalau sampai jatuh," ujar gue sambil bersiul dengan iseng. Perempuan itu menoleh dan akhirnya gue tahu dia siapa.
"Lo pikir otak gue sejengkal, mau bunuh diri di tempat umum begini?" jawabnya dengan sarkas.
Ini perempuan kenapa coba, kenapa susah banget ramah sedikit saja sama gue. Mungkin dia kurang o*****e. Jadi bawannya muring-muring aja kalau berhadapan dengan laki-laki kayak gue. Gue bikin o*****e sampai ampun-ampun baru tahu rasa dia. Omel gue dalam hati.
"Nah lo ngapain coba di sini? Di sana acaranya meriah gitu malah menyendiri di sini?"
"Not your business!"
Gue masih bisa santai menghadapi sikap sinisnya. Justru perempuan macam ini yang bikin gue penasaran. Bukan hanya sekadar menyeret perempuan random ke ranjang, setelah sama-sama puas lalu say goodbye. Ada kesulitan tersendiri untuk mendekati Janny dan gue nggak perlu terburu-buru untuk melakukan itu. Janny berbeda dari perempuan-perempuan yang pernah have seks sama gue. Gue yakin Janny nggak perawan, tapi dia begitu berkelas daripada perempuan yang sok suci di luar sana, padahal mengobral selangkangannya demi rupiah.
Gue tersenyum tulus menanggapi ucapan sinisnya. "Lo nggak minum? Di sana ada banyak macam minuman. Lo mau apa? Gue ambilin ya."
Janny tertawa jengah. "Gue bisa ambil sendiri. Lagian gue nggak yakin minuman itu aman dari campuran obat aneh yang bikin gue berakhir di ranjang lo," ucapnya ketus.
Shit! Bisa-bisanya ini perempuan berpikiran sampai ke sana. Gue penasaran, apa yang ada di dalam otaknya sampai sepicik itu menilai gue. Emang gue ada tampang-tampang tukang pemerkosa apa? Gue lebih suka bercinta dalam kondisi sama-sama sadar kali, Neng.
Gue tersenyum kalem. "Tenang aja. Gue punya cara yang lebih elegan kok untuk menarik lo ke ranjang gue," ujar gue menahan kesal.
Janny malah tertawa lebar kali ini, lalu tersenyum mengejek beberapa saat kemudian. Membuat gue makin tertarik untuk mengenal pribadinya.
"Let's see!" tantang Janny seraya mengedipkan sebelah matanya.
"Dengan senang hati!" ucap gue seraya membungkukkan badan dan meletakkan sebelah tangan ke depan perut. Janny tersenyum kecil melihat tingkah gue.
Gue melangkah mendekati Janny lalu menarik tubuhnya. Setelah posisi kami sejajar, gue mengamit pinggang rampingnya dengan tangan kanan. Janny tersentak dan tubuhnya seketika menegang saat telapak tangan gue menyentuh kulit yang melapisi tulang iganya yang tanpa lemak. DAMN!!! She is so sexy.
Janny menatap gue heran. Kedua matanya membulat sempurna, siap melahap gue hidup-hidup. "Lo mau ngapain?" pertanyaan retorik itu muncul dari bibir mungilnya.
"Mau ngajak lo ke ranjang gue dengan cara elegan. Kenapa? Takut? Mau mundur?" tanya gue menantangnya.
Janny mencibir. "Gue bukan pengecut."
"Bagus!"
Tanpa kata, gue menarik tubuh Janny agar mengikuti langkah gue. Dia sama sekali nggak melanjutkan perdebatan kecil tadi. Good girl. Dapat dilihat dari sudut mata gue, Janny melangkah dengan tenang dan mengangkat dagunya dengan congkak. Gue hanya bisa tersenyum kecil melihat sikap angkuh perempuan satu ini. Setelah berbaur kembali dengan keriuhan pesta ini, gue membawa Janny ke tengah-tengah ruangan untuk gue perkenalkan kepada sahabat dan teman kantor gue yang lain sebagai kekasih. Look! Janny terlihat nggak keberatan sama sekali. Gue takjub dengan sikap tenangnya. Coba perempuan lain. Pasti sudah bertingkah kayak cacing kepanasan kalau sampai gue akui sebagai pacar. Janny menundukkan kepala hanya ketika berjabat tangan dengan Alvin, tapi cuma sebentar saja. Detik berikutnya dia kembali mengangkat dagunya dengan angkuh. Entah kenapa setiap senyum yang ditampilkan sejak tadi begitu menawan hati gue. Janny terlihat anggun dan berbeda dari perempuan yang hadir di pesta ini. Jesus!!! Fix, gue tertarik dengan Janny.
Janny ternyata kenal dekat dengan Martin. Karena Martin pernah menggunakan jasa Janny sebagai model untuk memasarkan salah satu bisnis property apartemen milik Natanegara Group. Penjualannya melesat setelah Janny yang mengisi acara comersial break pemasaran apartemen mewah Natanegara Group. Sejak itu pula, banyak pengusaha yang menggunakan Janny sebagai model untuk iklan pemasaran produk-produk perusahaan mereka. Pantas Janny nggak kesulitan beradaptasi dengan acara mewah seperti ini. Dia pasti terbiasa diundang ke acara-acara yang lebih bergengsi daripada acara malam ini.
Hal ini juga yang membuat gue semakin ingin mengenal sosok Janny lebih jauh. Bukan hanya menjadikan dia sekadar pemuas nafsu belaka. Meski setiap kali melihat lekuk tubuhnya, gue kesulitan menelan ludah. Maklum, gue hanyalah makhluk laki-laki yang lemah jika dihadapkan dengan pemandangan indah seperti ini.
---
^vee^