6. Dancing With You

2205 Kata
> Jakarta, 2012 Demi Farhat akhirnya aku berada di sini sekarang, di tengah pesta yang cukup mewah. Seharusnya aku merasa bangga berada di tengah-tengah kalangan sosialita begini. Namun, entah mengapa rasanya pesta ini begitu membosankan. Kedatangan Fandi memberi udara segar di tengah penatnya pesta. He's not bad, lah. Laki-laki dengan tampang di atas standar, meski tidak setampan laki-laki yang ada dalam mitos Yunani kuno. Ya, diantara satu sampai sepuluh dia mendapatkan poin delapan untuk tampang. Paling tidak aku mempunyai teman yang senasib di pesta ini. Tidak perlu mengamit lengan om-om ganjen kenalan Farhat sialan itu. Mengingat laki-laki itu selalu mampu membuat emosi bisa melonjak drastis keluar dari ubun-ubun. Setelah Fandi mengajakku berkenalan dengan rekan kerjanya sebagai kekasih, ini gila, aku lebih memilih duduk di antara meja berbentuk bulat dengan empat kursi dilapisi kain satin warna putih gading. Fandi menghampiriku dengan membawa segelas champagne dan sepiring Cheese cake. "Lo pasti belum makan apa-apa sejak tadi?" tanya Fandi yang langsung menyodorkan sesuap kue dari piring ke mulutku. Refleks, aku memundurkan kepala sedikit menjauh dari sendok kecil yang saat ini sudah berada di depan mulutku. "Apaan sih, gue bisa sendiri kok?" Aku berkilah dan meraih piring ceper dan sendok dari tangan Fandi. Mataku melirik ke sekitar dan mendapati banyak perempuan menatap dengan tatapan tidak suka terhadapku. Fandi seolah tidak peduli dan biasa saja tanpa menghiraukan mereka. Aku tersenyum meledek. "Nggak usah sok care deh, kita cuma kekasih boongan. Lagian, nanti fans lo pada ngacir tuh kalo lo nempel gue mulu," ucapku setelah menyuapkan sesendok chesse cake ke mulutku. Fandi tergelak hingga matanya mengecil dan membuatnya semakin terlihat menawan jika sedang tertawa seperti ini. "Fans? Apaan?" tanyanya sok polos setelah menyesap minuman dari gelas berbentuk piala di tangannya. "Iya, fans, penggemar," ucapku sekali lagi sambil memberi kode kepada Fandi melalui kedua bola mataku untuk melihat ke arah gerombolan perempuan yang sedang berdiri tak jauh dari tempat kami saat ini. Mungkin mereka adalah fresh graduate atau pegawai magang di kantor Natanegara. Entahlah, bukan urusanku. "Oooh ..., ya beginilah kalau jadi orang ngetop, duduk di pojokan toilet juga dilihatin orang," jawab Fandi sambil nyengir kuda. Aku hanya bisa tersenyum menanggapi kelakarnya. Biasanya aku paling eneg jika menghadapi laki-laki dengan tingkat ke-pede-an tinggi. Entahlah, menghadapi Fandi seperti sebuah hal baru bagiku. Aku anggap sikap narsis Fandi tadi sebagai bentuk gurauan lucu. Membuatku merasa silly saat ini. Ke mana mulut pedas Zaneeta yang selalu berkomentar tidak menyenangkan terhadap sesuatu yang tak disukainya. Tiba-tiba saja Fandi sudah menarik tanganku dengan lembut. "Let's go dancing," ucapnya sambil tersenyum. Tanpa menunggu jawaban dariku, Fandi sudah menarikku ke lantai dansa. Diiringi suara merdu dari Mariah Carey yang melantunkan My Hero. Untuk pertama kalinya, Fandi membuatku tertawa ceria ketika sedang bersama orang baru. Semua rasa canggung yang biasa aku rasakan seolah menguap hilang tak tersisa. Fandi ternyata seorang dancer yang cukup handal. Aku hanya perlu mengikuti langkahnya. Fandi meletakkan tangan kirinya di pinggangku dan tangan kanannya menggenggam tangan kiriku. "Lo sadar, besok bakal muncul di headline news dengan gambar berisi kita?" bisikku tepat di telinga Fandi. "Lo takut pamor lo turun kalau digosipin sama gue?" Fandi bertanya balik. "Nope," jawabku dengan santai. "so why?" desak Fandi sambil mengeratkan pelukannya. "Males berurusan dengan mereka-mereka yang suka usil sama kehidupan orang lain," jelasku. Fandi merenggangkan pelukannya, merentangkan tanganku dan tubuhku berputar di bawah tangannya yang terulur, lalu dia menarikku kembali ke dalam dekapannya. "Jangan terlalu bersikap apatis terhadap orang lain. Siapa tau suatu hari nanti kita butuh bantuan orang tersebut," jawab Fandi dengan nada menggurui. Aku tersenyum sinis menanggapi ucapan Fandi. "Gue ngerasa nyaman sama elo. Gue yakin cuma lo satu-satunya perempuan di sini yang nggak akan minta gue untuk ketemuan selanjutnya setelah acara ini," ucap Fandi dengan santainya. "Jadi menurut lo gue kurang greget gitu?" ucapku pura-pura cemberut. "Nggak gitu. Tapi lo beda dari semua perempuan yang pernah gue kenal." Fandi menanggapi serius kelakarku. "Gombal aja terus," ujarku masih terus bercanda. Tiba-tiba Fandi kembali menarikku ke dalam pelukannya seraya berbisik, "gue nggak pernah seserius ini ngadepin cewek." Detik berikutnya darah di sekujur tubuhku seolah membeku. Dapat kurasakan juga lututku mulai lemas. Sial. Namun, aku segera sadar saat ini sedang bersama siapa. Pelan-pelan kutarik wajahku dan menatap wajah Fandi. "Belajar lagi ya cara ngerayu cewek yang bener," ucapku dengan wajah kubuat setenang mungkin, padahal jelas-jelas saat ini seperti ada kupu-kupu beterbangan di dalam perutku. Mariah Carey mengakhiri lagunya tepat di saat aku mengatakan hal tadi, Fandi tidak menjawab apa-apa. Aku menjauh dari hadapan Fandi untuk pamit ke kamar mandi. Di depan kaca besar di dalam toilet khusus wanita aku berdiri sambil membenarkan riasanku. Samar-samar aku dengar suara bisik-bisik menyebutkan nama Fandi. Mengatakan kalau wanita yang dansa dengan Fandi tadi pasti akan berakhir di ranjang seperti yang lain dan wanita itu tidak akan bisa menolak rayuan maut dari Fandi. Apa mereka sedang membicarakanku? Ke neraka sajalah orang yang hobinya kasak-kusuk membicarakan orang lain di belakang kayak begini. Aku segera keluar dari toilet dan kembali ke table hop. Di sana sudah ada Alvin dan Dastan, teman kantor Fandi yang tadi sempat berkenalan denganku. Aku melewati Fandi tanpa kata pamit. Fandi berhasil meraih tanganku dan mengikuti langkahku. "Lo mau ke mana? Acaranya belum kelar," tanyanya. "Gue harus pulang, migrain gue kambuh," kilahku agar Fandi membiarkan aku pulang. Ternyata dia tidak tinggal diam begitu saja, masih terus mengikuti langkah cepatku. "Ini sudah hampir jam dua belas, Jan!" Fandi mencoba mengingatkanku pukul berapa sekarang. "Gue biasa pulang dari club jam 3 pagi, sendirian. So far aman-aman aja selama ini," jawabku dengan angkuh. "Biarin gue nganterin lo malam ini," ucapnya serius. "No, thanks a lot," jawabku seraya mencoba menghubungi Paula untuk segera menjemputku di hotel ini. Sial, nada sambung terputus saat aku mencoba menghubungi Paula. "Jangan keras kepala deh, lo tunggu sini, gue ambil mobil dulu," ucapnya tegas, lalu bergegas pergi tanpa menunggu jawaban dariku. Tak ada pilihan lain. Aku sudah putus asa menghubungi Paula. Akhirnya, aku mengikuti langkah Fandi menuju mobilnya yang sudah terparkir di drop zone. Aku tak banyak omong selama perjalanan. Begitu pula dengan Fandi. Suaranya hanya terdengar ketika dia menyuruhku untuk rebahan dan istirahat. Dia akan membangunkan jika sudah sampai. Entah ini hari sialku atau apa. Puluhan kali aku menghubungi Meidina, tapi dia sama sekali tidak menjawab satu pun panggilan telepon dariku. Bodohnya lagi, aku lupa membawa kunci duplikat rumah ini. Lupa, atau kunci itu sudah hilang entah sejak kapan. Arr... so stupid. Aku selalu benci terhadap sikap teledorku yang tak bisa diampuni ini. "Gimana? Temen lo ada di rumah?" tanya Fandi. Kami masih berada di dalam mobil saat ini. Aku hanya bisa menggeleng pasrah. "Tidur di apartemen gue aja ya malam ini, gimana?" Aku membelalakkan kedua bola mataku kepada Fandi. Seketika tamengku terangkat untuk melindungi diri. Aku berusaha mengingatkan diriku bahwa Fandi adalah orang baru. Tidak menutup kemungkinan dia akan berbuat kriminal kepadaku. Tiba-tiba pikiran bawah sadarku mengingat kembali kasak-kusuk tentang Fandi di toilet tadi. "Itu juga kalau lo nggak keberatan. Gue nggak ada niatan jahat sama sekali kok," ucap Fandi seolah bisa membaca pikiranku saat ini. Dia menatapku begitu dalam. Membuat jantungku berhenti berdetak beberapa saat. "Gimana? Biar nggak kemaleman sampai apartemen gue. Lo udah kecapekan banget," tanya Fandi mengingatkanku. "I... iya. Ayo, biar nggak kemaleman, gue butuh istirahat," jawabku dengan awkward. Dalam hati aku mengutuk dengan kesal kegugupanku ini. Fandi tersenyum lalu melajukan mobil kembali menuju apartemennya. Fandi mengatakan bahwa dia tinggal sendirian di suatu apartemen sederhana di daerah Casablanca. Apartemen itu pemberian dari Papa-nya. Fandi tidak bisa menolak permintaan Papa-nya itu, daripada dia dipaksa harus tinggal di Bandung. Jadi, Fandi lebih memilih menerima pemberian Papa-nya dan tinggal terpisah. Namun, sesekali Fandi selalu menyempatkan diri untuk pulang ke Bandung. Papanya tinggal seorang diri sejak ditinggal Mamanya puluhan tahun silam. Aneh menurutku ada orang baru bisa langsung mengatakan soal kehidupan pribadinya seperti ini. Biasanya jika sedang berkencan untuk pertama kali, laki-laki itu akan mengatakan hal-hal terbaik yang ia miliki dalam hidupnya untuk menarik perhatian teman kencan, tapi Fandi berbeda. Aku tersenyum menanggapi setiap cerita Fandi, seolah begitu menikmati setiap topik yang ia bicarakan. Dia tidak terlalu buruk untuk kesan pertama, selanjutnya aku tidak tahu. "Well, welcome to my home," ucap Fandi ceria saat ia membuka pintu dan mempersilakanku untuk masuk terlebih dahulu. "Lo pakai kamar mandi yang di kamar utama aja, Jan. Kamar mandi luar jarang gue pakek, jadi peralatan mandinya kurang komplit." Aku hanya membuka kedua bibirku melihat apartemen dengan desain serba maskulin. Jauh sekali dengan ekspektasiku saat Fandi mengatakan kalau dia tinggal di apartemen sederhana. Segalanya terlihat serba mewah dengan warna yang didominasi oleh hitam, putih dan abu-abu gelap, menunjukkan bahwa pemilik apartemen ini adalah laki-laki. Mulai dari perabotan, sofa dari kulit berwarna hitam, entertainment center dengan teknologi canggih berwarna krom dan hitam, dapur yang juga serba krom dan lantainya yang terbuat dari keramik warna putih s**u. Semua perabotan dan furnitur yang berada di sini terlihat rapi, teratur dan terurus dengan sangat baik. Aku mengikuti arah suara Fandi dan mendapati diriku berada di sebuah kamar tidur dengan satu kesan yang langsung tebersit di benakku yaitu hot and sexy. Ini pasti kamar tidur utama yang dimaksudnya tadi. Kamar Fandi juga pasti. Sebelah dinding di kamar ini adalah kaca yang menghadap ke skyline Jakarta. Karena apartemen ini juga berada di lantai 20, pemandangannya jadi tidak terbatas dan sangat awesome. Ketika masuk kamar, perhatianku terpaku ke arah ranjang King size menempel pada kaca jendela super besar, yangditutupi seprei dan bedcover warna dark grey serta beberapa bantal abu-abu muda. Saat Fandi membuka salah satu pintu lemari pakaian, aku dapat mencium aroma cemara dari sana. Kulihat segalanya tersimpan dengan rapi dan teratur di dalam lemari tersebut. "Nice apartement," ucapku akhirnya setelah terdiam beberapa saat sejak masuk apartemen ini. "Thanks," ucapnya sambil mengeluarkan sebuah kaus longgar warna putih bertuliskan i love NY. "Lo pasti nggak bawa baju tidur. Ini pakai aja kaus sama celana pendek gue. Tapi sorry, gue nggak punya underwear buat elo, kecuali kalau lo mau pakai boxer CK gue," ucap Fandi sambil menyeringai iseng. Aku hanya memutar bola mata menanggapi ucapannya. Fandi meletakkan pakaian itu di atas tempat tidur kemudian berlalu dari hadapanku. "Gue di kamar sebelah, kalau ada perlu apa-apa ketok aja pintunya. Gue gampang dibangunin kok, nggak ngebo-ngebo banget kalau tidur." Fandi menunggu jawaban dariku. Dia masih bertahan di ambang pintu sampai akhirnya bertanya, "Jan, is everything alright?" Aku mengangguk kuat, Fandi akhirnya benar-benar keluar setelah menutup pintu kamar. Ya Tuhan, apa yang sedang aku lakukan di sini? Tidak seharusnya aku tidur di tempat orang yang baru aku kenal beberapa jam yang lalu. Pikiranku semakin kacau. Setelah mengunci pintu kamar, aku bergegas masuk kamar mandi untuk membasuh tubuhku dengan air dingin dan membuang jauh-jauh pikiran burukku tentang Fandi agar aku bisa tidur nyenyak malam ini. Namun, apa bisa aku tidur nyenyak di ranjang laki-laki yang notabene bukan teman dekat apalagi kekasihku. Saat hendak masuk kamar mandi, terdengar pintu kamar diketuk pelan. Jantungku berdetak cepat saat ini. "Jan, gue lupa. Handuk ada di bawah sink di kamar mandi. Sikat gigi baru ada di laci, terus kalau lo perlu peralatan mandi bisa pakai yang baru, ada di medicine cabinet," ujar Fandi yang aku jawab hanya dengan ucapan 'okay'. Aku kembali menahan napas, saat mencari sikat gigi di dalam laci yang dimaksud oleh Fandi tadi. Dugaanku benar bahwa Fandi sudah terbiasa menghadapi perempuan. Aku tebak dia juga pasti sexually active saat menemukan kotak yang berisi beberapa bungkus foil kondom. Jelas aku tahu ini adalah kondom, karena aku familiar dengan merek yang tertera di kotak tersebut sebagai kondom terbaik, impor dari Jepang yang pernah digunakan oleh kekasihku terdahulu. Mantan kekasih lebih tepatnya. Coba kalau Meidina yang melihatnya, dia pasti akan bertanya kotak apa ini dengan lugunya. Aku menjadi penasaran, sudah berapa banyak perempuan yang dia bawa ke apartemen ini dan juga tidur dengannya di atas ranjang seksi tadi. Bagaimana rasanya 'tidur' dengan seorang yang ahli di ranjang seperti Fandi? Astaga, apa yang sedang aku pikirkan ini. Aku menyegerakan acara mandiku dan membuang jauh-jauh pikiran kotorku tadi. Pikiran kotor yang membuat pusat tubuhku berkedut ketika membayangkan hal kotor tadi. Silly Rasanya baru saja terlelap, aku harus terbangun oleh bunyi ponselku. Buru-buru aku terima panggilan telepon yang ternyata dari Meidina. Semalam ia ketiduran dan ponselnya tidak sengaja ketinggalan di depan ruang televisi. Karena kelelahan, dia sama sekali tidak mendengar panggilan telepon dariku dan gedoran di pagar rumah. Meidina begitu khawatir dan berkali-kali meminta maaf atas kelalaiannya. Setelah meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja dan akan pulang sebentar lagi, barulah Meidina lega dan menutup panggilan telepon. Saat mencoba untuk merebahkan kepalaku kembali di atas bantal, jam digital dekat nightstand sudah menunjukkan pukul setengah enam pagi. Aku segera bangun dan buru-buru mencuci muka, mengganti baju dan merapikan tempat tidur Fandi. Aku memutuskan untuk mengenakan kembali gaun malamku dan punggung terbuka ini kututup dengan kaus yang kugunakan tidur semalam. Aku akan mengembalikan kaus ini nanti. Aku membuka pintu kamar perlahan dan mendapati ruangan dalam keadaan masih gelap karena matahari tidak bisa menembus tirai tebal yang menutup jendela. Hanya ada lampu di sudut ruangan yang dibiarkan menyala sebagai penerang saat malam. Saat melintas kamar di samping kamar utama, kulihat pintunya terbuka sedikit. Fandi masih terlelap dengan punggung membelakangi pintu. Aku tidak enak untuk membangunkannya. Dia pasti kelelahan dilihat dari tidurnya yang begitu tenang. Aku hanya meninggalkan pesan pada selembar kertas dan meninggalkannya di atas coffee table di ruang tamu. -----
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN