>
Jakarta, 2013
Aku memasuki kantor Star Agency dengan langkah angkuh, dagu terangkat, serta hentakan stiletto ini sengaja aku tambah tekanannya agar menimbulkan bunyi nyaring ketika ujung sepatu menyentuh lantai keramik. Di Lobby aku berpapasan dengan sekretaris songong pemilik Agency ini. Namanya Sandra. Dia begitu tergila-gila dengan Farhat, pemilik Star Agency, dan begitu membenciku karena Farhat selalu membelaku.
"Bos Farhat lagi ada tamunya. Temui beliau satu jam lagi!" ucap Sandra dengan formal dan tegas. Dia pikir aku akan menurut begitu saja. Anak kemarin sore saja mau belagu.
Aku tidak peduli akan peringatan darinya. Langkah pastiku semakin dekat dengan pintu ruangan direktur. Sandra merentangkan tangannya tepat di depan pintu kaca dengan vertical blind posisi tertutup. Sial, pasti Farhat sedang bersama kekasihnya. Tapi bukan Zaneeta jika aku peduli dengan siapa bosku itu melakukan pertemuan penting di dalam sana.
"Minggir atau gue buat lo terjengkang kayak waktu itu!"
Aku memperingatkan Sandra dengan membuatnya teringat kembali akan kejadian tidak menyenangkan beberapa hari yang lalu, saat dia mencoba menjadi pahlawan kesiangan bagi artis pendatang baru yang memiliki attitude di bawah standar. Sandra akhirnya mundur dengan kepala tertunduk. "Lo harus bela kalau bos Farhat mau mecat gue." Pintanya dengan suara gemetar.
"Tenang aja, asal lo nggak macem-macem. Mending balik ke meja lo deh! Satu lagi, berhenti ngerusuhin gue, key!"
Sandra tidak menjawab, hanya menuruti titahku lalu memutar tubuhnya ke arah berlawanan. Saat kulihat dari ekor mata dia sudah duduk manis di depan layar komputernya, barulah aku menekan handle pintu dan mendorong pintu ke arah dalam. Benar dugaanku, Farhat sedang bermesraan dengan kekasihnya yang beberapa tahun terakhir berdomisili di Las vegas. Farhat menciumi kekasihnya itu dengan penuh nafsu. Jas hitam yang biasa dikenakan Farhat sudah tergeletak mengenaskan di bawah kakinya.
"Pantes agency akhir-akhir ini sepi job. Bosnya berbuat maksiat melulu sih!"
Aku menutup pintu kaca dengan menambah sedikit kekuatan dari tenaga normal yang digunakan ketika menutup pintu. Farhat tentu terkejut bukan kepalang dan menatapku dengan nyalang mendengar dentuman pintu yang cukup keras.
"Damn!" umpatnya seraya beranjak dari sofa dan membenahi kemeja serta dasinya.
Farhat mendengkus sambil berkata, "bisa nggak sih lo menjadi Zaneeta yang sopan dan manis, sekali aja?"
Aku tersenyum licik mendengar umpatan penuh emosi Farhat. "Nggak bisa kalau ngadepin buaya darat kayak elo."
Jeremy tertawa cekikikan melihat tingkah kekasihnya yang terganggu acara senang-senangnya. Dia membenahi bantalan sofa yang berantakan lalu menepuk sofa di sisi kirinya dan mempersilakanku duduk.
"Hai, Jer ... Kapan balik dari Vegas?"
"Semalam Janny." Bibir tipis Jeremy tersenyum manis. Sebelah pipinya membentuk cekungan kecil yang orang sebut lesung pipit. Kulit laki-laki ini putih dan kemerahan. Perempuan mana pun akan langsung mau saja ditiduri olehnya jika dia memang mau. Sayangnya dia begitu mencintai bosku, Farhat Sebastian. Laki-laki dengan kulit cokelat eksotis dan memiliki wajah perpaduan antara Adam Levine dan Zayn Malik. Tampan dan sangat menggairahkan.
Sayangnya dua orang tampan yang mendapatkan kesempurnaan fisik dari Tuhan ini memiliki penyimpangan orientasi seksual. Mereka tidak gemulai seperti Paula, asistenku. Mereka berdua berpenampilan layaknya laki-laki sejati dari ujung rambut hingga ujung kaki. Semua tidak akan percaya bila mereka menyukai sesama jenis. Hanya aku yang mengetahui penyimpangan seksual bosku ini. Dia menutupi perbedaannya itu dengan kerap membawa perempuan berbeda ke ruangannya dan menutup vertical blind hingga beberapa jam. Membuat orang berpikir keduanya sedang bersenang-senang ala orang dewasa di dalam sana. Padahal kenyataannya, bosku itu sibuk dengan pekerjaan sedangkan perempuan yang ia bawa tidak melakukan kegiatan apa pun. Perempuan itu pergi begitu saja setelah mendapatkan sejumlah uang dari Farhat. Trik jitu sampai detik ini tidak ada satu pun yang menaruh curiga akan penyimpangan seksual seorang Farhat.
"Mau apa lo?" tanya Farhat dengan sinis. Masih marah rupanya dia.
"Gue mau cuti satu bulan," jawabku ketus seraya duduk menyilangkan kaki dengan elegan, mengambil sebuah majalah yang terpampang wajahku sebagai gambar cover-nya.
"Nyepi kan masih jauh. Nggak ada cuti-cuti. Lo yang akan handle agency selama gue ngurus acara pernikahan gue!"
Aku melotot. Apa katanya tadi? Pernikahan gue? "Sinting. Gue butuh liburan!" ucapku berkobar penuh emosi.
"Lo mau liburan ke mana? Gue penuhi tapi setelah pernikahan gue selesai."
"Nooo," rengekku dan Farhat seolah tidak peduli sama sekali.
"End of discussion!" Farhat menyilangkan kedua tangannya di depan d**a.
Aku beranjak dari dudukku lalu melangkah cepat meninggalkan ruangan ini. Farhat sudah menahan lenganku terlebih dahulu.
"Please Zaneeta, sekali ini aja. Lo mau liburan ke mana? Bukannya kita harus mempersiapkan pemotretan iklan perhiasan di Jepang, kita juga diundang ke acara ulang tahun Martin Natanegara. Lo nggak ngelupain dua acara penting itu 'kan?"
Farhat menatapku dengan tatapan memohonnya. Aku menoleh pada Jeremy, dia juga menangkupkan kedua tangannya dengan menampilkan puppy eyes untuk melemahkan keputusanku. Sial.
Kutepis tangan Farhat dengan kesal lalu melanjutkan langkah menuju pintu. "Pokoknya gue mau cuti abis pemotretan di Jepang, sahabat gue mau married. Gue tetep nggak mau kalau disuruh datang ke acaranya Martin siapalah itu."
Farhat terkekeh. "Why not? Lo bisa sekalian cuci mata! Mitra bisnis kita banyak juga loh yang bakal hadir," ujar Farhat menggebu-gebu. Dehaman Jeremi membuatnya berhenti promosi.
Aku berdecak sebal. "Nggak, sekali lagi nggak!"
"Acaranya bertepatan dengan hari sakral kami, Zaneeta." Kali ini Jeremy ikut menyuarakan isi kepalanya. "Please! Kamu sahabat terbaik kami. Cuma kamu yang selalu mendukung hubungan kami selama ini." Jeremy meraih tangan kananku lalu membawa ke depan dadanya. Hatiku tersentuh dengan setiap kata yang diucapkan oleh Jeremy yang penuh kelembutan. Bagai langit dan bumi dengan Farhat yang arogan dan menyebalkan.
"Gue bawain apa aja deh nanti sepulang dari Amrik. Lo mau apa? Victoria's Secret atau Agent Provocateur? Tapi, meski gue beliin lima model juga lo mau pakek di hadapan siapa ya?" Farhat terbahak karena sukses meledekku.
Bangsat memang Farhat ini. Aku tak peduli lagi dengan suara tawanya yang menggelegar. Dia tahu betul kalau aku sedang tidak menjalin hubungan spesial dengan laki-laki mana pun paska putus dari kekasihku beberapa waktu lampau. Setelah melepas tanganku dari Jeremy, aku melangkah cepat menuju pintu.
"Kadek! Deal ya!" Teriak Farhat menyebut nama panggilan rumahanku. Sekuat tenaga aku membanting pintu dan bergegas menuju pintu keluar kantor ini.
Kantor dengan pendingin udara di setiap sudut ruangan tetap bisa membuat otakku terasa panas. Paula mengikuti langkahku hingga hampir terjatuh. Teriakan darinya bahkan tidak lagi aku pedulikan. Aku terus saja mengumpati Farhat sialan. Aku berdoa semoga dia mengalami ejakulasi dini saat bercinta nanti.
"Cin... kenapose jalannya terburu-buru. Akika hampir jatuh barusan," ucap Paula dengan suara yang dibuat semanja mungkin.
Aku menoleh siap menerkamnya. "Bodo... Gue benci Farhat sampai kapan pun! Gue benci sama bos nggak berperasaan kayak dia!"
Aku berteriak sekencangnya ketika sudah berada di dalam mobil. Tak ketinggalan aku memukul dashboard di hadapanku hingga tanganku memerah.
"Kenapa lagi bos tamvan?"
"Cuti gue nggak di acc. Dia malah nyuruh gue datang ke acara ultahnya Martin Natanegara. Gagal deh acara ke Maldives gue," ujarku lalu berteriak histeris.
Paula tidak berani berbicara sepatah kata pun, dia tahu betul kalau saat ini aku sedang berada dalam mode 'kalau sayang nyawa, jangan mencari masalah dengan Janny'. Paula segera melajukan mobil setelah mendapat titah dariku.
Malam ini aku benar-benar butuh hiburan. Aku mengunjungi elite club ini di luar jadwalku, sayangnya sendirian saja karena Paula sedang ada kencan entah dengan siapa. Mengenaskan sekali bukan nasibku, bos ditinggal oleh asistennya untuk kencan. Aku hanya bisa tertawa dalam hati. Setelah membuka table, aku memesan minuman rendah alkohol seperti Corona. Aku tidak ingin pulang dalam keadaan mabuk karena saat ini aku sedang sendiri di kelab malam ini.
Seorang laki-laki bertubuh tinggi dengan badan tegap menghampiri mejaku. Senyum tipisnya begitu menarik. Apalagi rahang kokoh yang ditumbuhi jambang tipis itu menambah keseksiannya dan mampu membuatku belingsatan saat ini. Sial, ini pasti gara-gara kurang belaian laki-laki selama beberapa tahun ini.
"Sendirian aja?" tanyanya sopan.
Aku mengangkat gelas sloki di atas mejaku. Menunjukkan hanya ada satu gelas di sana yang artinya aku sedang sendirian saat ini. Laki-laki tadi duduk di sampingku. Tatapan matanya begitu tajam tapi wajahnya datar.
"Mau ditemenin?" tanyanya lagi.
Aku bisa menebak ke mana arah pembicaraannya. Basa basi ini pasti berakhir di berhubungan satu malam alias one night stand. Meski aku sudah tidak perawan entah sejak kapan, tapi aku bukan penganut paham ONS. Aku berhubungan badan hanya dengan orang yang benar-benar aku suka, aku kenal dan minimal telah menjalin komitmen denganku selama tiga bulan lebih. But why not? Tidak ada salahnya aku mencoba ONS. Laki-laki ini tidak tampak seperti pengguna narkoba dan dari penampilannya dia terlihat 'bersih'. Mungkin dengan seks aku menemukan pelampiasan kekesalan terhadap perlakuan Farhat siang tadi.
"Boleh," jawabku disertai senyum kecil.
Kami mengobrol sebentar sebelum akhirnya dia mengajakku pergi dari club ini. Jujur baru kali ini aku mencoba ONS, dan anehnya laki-laki ini tidak menanyakan siapa namaku dan menyebutkan namanya. Kami mengobrol seputar apa pun yang tidak ada kaitannya dengan aku maupun dia. Aneh, apa begini rules nya ONS. Aku juga tidak begitu paham, jadi aku mengikuti saja alurnya.
"Aku pamit temen dulu ya."
Dia menggenggam tanganku lalu menarik pelan menuju table lain. Telapak tangannya begitu hangat, entah karena hawa panas kelab atau memang bawaan tubuhnya.
"Tan, gue cabut dulu ya!" ujar laki-laki di sampingku ini kepada laki-laki lain berwajah oriental yang sedang duduk di sofa, mungkin temannya, pikirku. Laki-laki yang dipanggil 'Tan' itu hanya mengangguk lalu mengangkat sebelah tangannya.
Aku mengikuti langkah laki-laki yang tetap menggandeng tanganku ini, berusaha keluar dari kerumunan pengunjung club yang semakin malam semakin padat. Langkahku terhenti karena laki-laki itu tiba-tiba berhenti. Sampai-sampai keningku menubruk punggung bidangnya.
"Gue duluan ya."
"Oke, nih kunci mobil lo, Al."
"Bawa lo aja, gue naek taksi."
"Oke lah ... Eh, loh Janny ya?"
Tunggu dulu, ada yang menyebutkan namaku. Tapi siapa?
"Lo Janny 'kan?"
Sejak tadi aku sibuk menunduk dan mengusap dahiku, jadi aku tidak melihat siapa laki-laki yang terlibat perbincangan dengan laki-laki yang menggenggam tanganku ini. Ternyata yang menyebut namaku adalah laki-laki yang pernah kubantu menemukan kalungnya. Siapa ya namanya?
"Gue Fandi, masih ingat 'kan?"
Aku hanya mengangguk beberapa kali sebagai tanda aku masih mengingat dia. Ya, namanya Fandi. Laki-laki pemilik kalung salib itu.
"Lo kenal, Fan?"
Fandi mengangguk pasti. Detik itu juga laki-laki yang sejak tadi menggenggam tanganku serta merta melepas genggaman tangannya, lalu mengangkat tangan seperti pelaku kejahatan yang tertangkap basah oleh polisi. Maksudnya apaaa??
"Sorry, gue nggak tau." Laki-laki yang dipanggil Al itu pergi meninggalkan aku dan Fandi di lorong club. Sialan!
Menahan malu dan wajah yang memerah seperti kepiting rebus aku keluar begitu saja dan melewati Fandi menuju basement. Buyar sudah angan-anganku untuk start making out with some random guy. Lebih parahnya lagi, aku ditinggal begitu saja oleh calon teman kencanku. Kampreeettt!!! Lebih baik aku pulang dan tidur sampai besok siang. Melupakan kejadian memalukan sepanjang hidupku. Ya Tuhan, baru pertama kali ini aku ditolak oleh laki-laki. Kalau Farhat sampai tahu, dia pasti akan tertawa hingga guling-guling di lantai. Selama jalan menuju mobil aku terus memaki kesialanku sepanjang hari ini yang seolah puas banget mempermainkan hidupku. Aku terkejut bukan main saat hendak menarik pintu mobil, pundakku ditepuk pelan dari belakang. Apa lagi ini?
Fandi tersenyum lebar. "Lo pulang sendiri?" tanyanya.
"Menurut lo?" jawabku senewen. Aku sedang malas berbasa-basi saat ini.
"Sorry, gue nggak bermaksud mengacaukan kencan lo. Alvin memang gitu, dia nggak bisa nge-date sama kenalan sahabatnya sendiri. Gue traktir minum ya untuk nebus kekesalan lo malam ini."
Arr... Memalukan. Sekali lagi memalukan. Aku tidak menjawab apa pun. Setelah masuk mobil, aku melajukan mobil begitu saja. Berharap tidak akan bertemu lagi dengan Fandi, apalagi laki-laki bernama Alvin itu. Rasanya ingin kuratakan wajahku dengan tanah saat ini juga. Aku malu banget.
Rumah dalam keadaan masih terang saat aku pulang. Meidina menyambutku dengan wajah bingung. "Tumben nggak sampe pagi clubbing-nya?" tanyanya dengan nada bicara menyindir.
"Sakit perut," jawabku asal.
Meidina terlihat berusaha menahan tawanya. Dia pasti mengerti aku sedang kesal dan dia tidak akan berani mencoba menginterogasiku.
"Mau dibikinin teh anget?"
"Iya boleh. Tapi campur sianida ya tehnya," jawabku asal lalu masuk kamar.
Kudengar Meidina tertawa lirih di luar kamar. Aku malah ikut tersenyum mendengar tawa renyahnya. Kalau aku cerita soal kejadian tadi, bisa-bisa dia menceramahiku sampai pagi dan memintaku untuk berhenti clubbing mulai malam ini.
---
^vee^