3. First Impression

1905 Kata
> Jakarta, 2012 Gue paling gedeg memang kalau ada inspeksi dadakan begini, sedangkan gue cuma staf biasa di perusahaan ini, punya atasan juga di divisi pemasaran ini tapi kenapa harus gue melulu yang kena semprot Bos paling sempurna yang pernah gue temui. "Manajer lo ke mana?" tegur Alvin yang juga bekerja di perusahaan kayu lapis nomor satu se-Indonesia ini, saat melihat gue kembali ke lantai 24, lantai tempat para jongos kalau kata Dastan, dengan wajah kusut macam cucian kotor. "Ada, tapi gue yang diumpanin. Gue tendang juga abis ini dari kursi manajer, liat aja!" Alvin menepuk pundak gue dengan bijak. Lalu mengajak ke kafetaria kantor yang letaknya dalam satu gedung bertingkat 26 milik Natanegara Group. Tempat gue bekerja adalah salah satu anak perusahaan eN Group. PT. Natanegara Plywood merupakan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang produksi dan ekspor kayu lapis kualitas terbaik. Bokap gue mempunyai saham di eN Plywood. Bokap juga sudah menawarkan posisi sebagai Direktur untuk divisi pemasaran sama gue, tapi gue tolak mentah-mentah. Karena gue nggak pernah suka sama yang namanya nepotisme. Ya, meski sebenarnya di bulan-bulan pertama gue kerja rasanya sudah pengin resign. Gaji tidak seberapa, tapi loyalitas tanpa batas, bung. Gila! Namun, demi menunjukkan kalau gue bisa survive tanpa campur tangan Papa, gue betah-betahin kerja di perusahaan kayu lapis yang sedang berada di puncaknya beberapa tahun ini. Seminggu ini gue merasa nggak habis-habisnya ditimpa kesialan. Ada saja yang bikin gue apes. Ban mobil bocor lah, nomor ponsel kena blokir, dompet hilang sampai bikin gue harus mondar-mandir ke kantor polisi, Bank, Samsat untuk mengurus segala hal yang ada di dalam dompet itu yang raib, kalung pemberian opa hilang entah ke mana. Dastan juga nggak menegur gue seminggu ini gara-gara videonya gue sebar, meskipun niat gue cuma bercanda. Dastan meminta gue untuk mengklarifikasi kalau apa yang dia ucapkan waktu mabuk itu semuanya nggak benar. Meski sudah minta maaf dan melakukan apa yang dia suruh gue, tetap saja gue dikacangin. Dan puncak kesialan gue ya hari ini. Gue dan Alvin memasuki kafetaria dan langsung menuju ruangan khusus merokok. Dastan nggak ikut bergabung. Biasanya kalau dia menghilang di jam makan siang begini nggak jauh-jauh dari urusan pekerjaan. Di antara kami bertiga, memang Dastan yang paling workaholic alias gila kerja. Kami bahkan memberinya sebutan tuan 25 jam. Nggak heran kalau 2,5 tahun bergabung dengan eN Plywood dia sudah mampu mencicil sebuah apartemen mewah dan mobil sekelas Audi. Gaji dan bonus tahunannya mengalir seperti air kran. "Gue rasa dia punya masalah pribadi sama elo, Fan. Seharusnya itu kan tugas manajer lo, kenapa dibebanin ke elo coba?" ucap Alvin mencoba mencari tahu permasalahan sebenarnya Arif bisa segitu bencinya sama gue. "Gue juga ngerasanya gitu." "Pasti gara-gara bininya Arif kan? Elu sih. Peak. Udah tau itu bini bos, lo goda juga." "Ya mana gue tau. Ada cewek cantik kan sayang banget dianggurin," jawab gue lalu tertawa kencang. Asumsi yang dikatakan oleh Alvin memang benar. Gue sempat mencoba menggoda istrinya Arif, GM yang terhormat itu, saat gue harus ikut ke Surabaya menggantikan manajer pemasaran yang berhalangan hadir karena ada urusan keluarga. Taik, gue tahu banget manajer sialan itu aslinya takut ketahuan gobloknya kalau harus face to face dengan orang se-perfectionist Arif Sakanada. Manajer nggak layak kayak itu takut ketahuan kalau selama ini bukan dia yang menyelesaikan semua permasalahan di divisi pemasaran, tapi gue. Jadi ceritanya, gue nggak tahu kalau perempuan dengan wajah perpaduan Jawa Arab yang sedang duduk di lobi kantor cabang Surabaya waktu itu adalah istrinya Arif. Terang aja gue nggak kepikiran sampai kesana. Holy Mother of Jesus!!! Kayak langit dan bumi perbedaannya antara perempuan itu dengan Arif. Naluri laki-laki gue muncul begitu saja. Setelah kenalan dan basa-basi sebentar, gue tukeran nomor telepon. Orangnya seru diajak mengobrol, kelihatan banget kalau terpelajar. Akhirnya, setelah beberapa hari di Surabaya, gue tahu kalau dia mantan sekretaris GM cabang Surabaya dan juga istri kedua Arif. Langsung saja gue mundur seribu langkah. Malas jika harus mencari masalah dengan bos sendiri, apalagi cuma masalah perempuan. Perempuan nggak cuma dia doang. "Ini gara-gara Ronald berengsek. Liat aja nanti, bakal gue tendang dia dari Rooftop eN tower." Sekali lagi gue mengumpati dengan sepenuh hati manajer gue itu. Alvin cuma menggeleng melihat kobaran api amarah gue siang ini. Tak lama, Cindy, teman kantor gue yang lain menghampiri ruangan ini. Perempuan berwajah oriental itu memiliki tubuh yang paling bisa bikin panas dingin kaum Adam, salah satunya gue. "Muka apa kertas bekas tuh, lecek amat?" Cindy mendaratkan b****g montoknya di kursi samping gue. Ketika dia mengibaskan rambutnya, aroma citrus menguar mengganggu indera penciuman gue. s**t. "f**k! Wangi banget lo? Mau ke mana?" tanya gue iseng seraya mengendus hampir ke dekat leher jenjangnya. Cindy mendorong kepala gue dengan jemari lentiknya, lalu berkata dengan nada bicara centil yang bikin gue eneg aslinya. "Diajak pak Arif meeting sama klien dari Jepang," katanya dengan mengibaskan rambut bergelombangnya sekali lagi. Mulut Alvin ternyata gatal ingin ikut menimpali pembicaraan gue dan Cindy. "Alesan lo ketemu klien. Biasa juga kalau pergi sama kita-kita nggak wangi gini. Ya nggak, Fan?" Gue mengacung ibu jari gue, setuju dengan ucapan Alvin. "Apaan sih lo pada? Sirik tanda tak mampu, tak mampu jadinya sirik!" Cindy kembali mengibaskan rambut bergelombangnya yang kali ini berwarna cokelat tembaga. Lemah gue sama leher mulusnya. Bibir gue pengin banget piknik di leher itu. s**t. "Lo nggak kangen gue, Ce?" tanya gue meraih ujung rambut Cindy lalu menghirup aroma citrus dari ujung rambut itu. Cindy membiarkan apa yang gue lakukan pada rambutnya. "Nggak! Lo kasar sih. Sukanya maen jambak, maen robek, ish..." kilah Cindy seraya mencoba meraih botol air mineral milik Alvin, tapi Alvin berhasil mengamankan botol air mineralnya. "Tapi lo doyan kan? Lagian juga gue selalu ganti apa yang udah gue rusak." Gue menaik turunkan kedua alis dan hanya mendapat timpukan dari map file yang sedang dipegang oleh Cindy. "f**k ... Gue cipok juga lo di sini!" Cindy angkat b****g dari kursinya, kemudian berlalu meninggalkan ruangan merokok. Ketika dia mulai melenggang, gue iseng melempar bokongnya yang sedang bergoyang ke kanan ke kiri itu ketika tungkai kakinya bergerak dengan bungkus rokok yang telah kosong. Alhasil gue mendapat sebuah acungan jari tengah dari Cindy. Gue cuma bisa tergelak menatap kepergian partner seks gue itu. Yep, gue dan Cindy sama-sama menganut paham kebebasan seks tanpa ikatan apa pun. Seks bagi kami adalah salah satu cara menjernihkan pikiran yang sedang suntuk karena berbagai persoalan hidup. Gue nggak memiliki ikatan komitmen berbentuk apa pun dengan Cindy. Gue juga nggak pernah melarang dia berhubungan seks dengan laki-laki selain gue, asal jangan dengan salah satu teman gue, entah itu Alvin ataupun Dastan. Setelah menandaskan makan siang masing-masing, gue dan Alvin balik ke lantai 24 tempat ruangan staf biasa berada. Belum juga duduk, getaran ponsel di saku celana membuat gue kembali berdiri dan merogoh kantong celana. Sebuah panggilan telepon dari nomor baru. Tanpa pikir panjang, gue menerima panggilan tersebut. "Hallo?" "Mas Fandi ya? Saya Tito mas, manajer Immigrant." "Oh iya, ada apa?" "Gini mas, tempo hari ada cewek minta rekaman CCTV. Katanya dia nemuin kalung gitu deket mobilnya di basement. Pas liat rekaman bareng-bareng, gue yakin aja kalau itu punya elo. Tapi cewek itu nggak mau ngasih kalungnya ke gue. Katanya dia mau ngasih langsung ke yang punya." "Oya, trus gimana caranya gue nemuin cewek itu, To?" "Dia member kita juga mas. Coba mas ke Club hari Rabu, biasanya dia clubbing pas hari itu." "Anjrit, yakali gue mau gabung woman party bareng tante-tante girang, To. Hari lain napa?" "Gue nggak paham juga kapan dia biasa ke club. Member club kan banyak mas." Akhirnya gue memutuskan untuk ke club malam ini demi kalung berharga. Gara-gara kalung itu, gue nggak punya nyali pulang ke Bandung. Bukannya apa, malas saja jika aku harus ribut dengan Papa. Kalau sampai dia tahu kalung hadiah dari Opa waktu gue di baptis hilang, yakin hebohnya mengalahkan kehilangan salah satu mobil mewahnya. Berhubung malam ini baik Alvin maupun Dastan nggak ada yang bisa menemani gue, ya gue pergi sendiri saja ke club. Hampir satu jam gue duduk di meja bar ditemani sebotol martini, perempuan yang dimaksud Tito nggak juga nongol. Buang-buang waktu banget ini namanya. Pundak gue ditepuk pelan, seorang perempuan asing berdiri dekat kursi kosong di samping gue. Gue akui, dia memiliki wajah yang cantiknya di atas rata-rata. Kontur wajahnya tegas, dagu runcing, hidung mancung, serta memiliki bentuk bibir yang mungil dan seksi. Sorot matanya yang tidak terlalu belok itu menatap gue tajam dari ujung kaki hingga kepala, seperti sinar laser yang mampu mengoyak pakaian yang gue kenakan. "Ini punya lo?" katanya to the point, tanpa say hay, kenalan dulu lah gitu. Perempuan itu menggantungkan tangannya yang menggenggam rantai kalung di udara, bandul kalung itu dibiarkan menggantung di bawahnya. "Puji Tuhan. Akhirnya ketemu juga," ucap gue seraya menjulurkan tangan untuk meraih kalung tersebut. Yang ada, perempuan itu bukannya memberikan kalung itu ke gue malah menarik kembali tangannya sambil tersenyum mengejek. s**t. "Lo pikir gue bakal langsung percaya kalau ini barang lo?" Nada bicaranya kedengaran jutek 'abis'. Ini perempuan punya masalah apa coba sama gue? Pikir gue dalam hati. Gue menatapnya lekat-lekat. "Lo butuh bukti apa?" tanya gue seraya mencondongkan badan kepadanya. Perempuan itu mendaratkan bokongnya di kursi bar dengan luwes, lalu bertanya, "bagaimana ciri-ciri kalung lo yang hilang?" Gue tertawa hambar mendapat pertanyaan seperti itu. Perempuan satu ini kayaknya punya nyali cukup gede untuk main-main dengan gue. "Kalau gue bisa sebutin ciri-ciri kalung itu, gue dapet apa selain kalung itu balik ke tangan gue lagi?" tanya gue sambil tersenyum devil. Ini namanya sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui, bung. Damn! Dia malah tertawa. Wajahnya semakin menarik saat dia tertawa seperti ini membuat gue terhipnotis detik itu juga. Wajah juteknya berubah drastis menjadi menyenangkan ketika dia tertawa, kemudian tersenyum tipis. Sepertinya dia mengerti maksud gue tadi. "Sebutin aja dulu, perkara reward diatur nanti," ujarnya angkuh. "Oke, bandulan kalung itu berbentuk salib, simbol agama dan keyakinan yang gue anut. Di salib itu ada batu permata. Jumlahnya sembilan yang tersusun secara vertikal, dan dua belas yang tersusun secara horizontal. Sesuai dengan tanggal dan bulan kelahiran gue, tanggal sembilan bulan dua belas." Kedua matanya terbelalak nggak percaya, shock. Serta merta perempuan yang kini sudah duduk di kursi tinggi samping gue meneliti bandulan kalung di tangannya, kemudian mulai menghitung sesuai dengan angka yang gue sebutkan baru saja. Gue cuma bisa tersenyum melihat ekspresinya yang kini tengah serius menghitung jumlah batu permata yang menempel di bandulan kalung. "Oke, ini punya lo." Dia menyodorkan kalung itu di atas meja bar, tepat di hadapan gue. Setelah meraih dan mengenakan kalung tersebut ke leher, gue menandai tubuh gue dengan tanda salib. Mengarahkan tiga jari gue dari dahi, d**a, bahu kiri lalu bahu kanan, dan berakhir dengan mengucap amin dan mencium bandulan kalung peninggalan mendiang Opa. Gue menyodorkan tangan kanan dengan sopan. "Gue Fandi, lo?" Tersenyum tipis, perempuan itu menerima tangan gue. "Janny." "Gue traktir malam ini. Lo mau minum apa?" Janny kemudian menyebutkan pesanannya kepada bartender. Sepertinya bartender sudah mengingat di luar kepala apa yang biasa dipesan Janny. Gue merasa ada sesuatu dalam diri Janny yang menarik buat gue telusuri selain wajah cantiknya. Ada pesona lain yang membuat naluri liar gue sebagai laki-laki seketika muncul ke permukaan. Setelah mengobrol sebentar dan bertukar nomor kontak ponsel, Janny pamit karena mendapat panggilan telepon entah dari siapa. Dia berlalu begitu saja, tanpa meninggalkan kesan ingin bertemu dengan gue lagi suatu hari nanti. Nggak seperti perempuan-perempuan yang biasa gue dapat di club malam, yang selalu berusaha tebar pesona saat berhadapan dengan gue. Jesus! Bolehkan kalau gue semakin penasaran dengan sosok Janny ini? --- ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN