>
Jakarta, 2012
Suasana kantor Agency, tempatku bernaung selama beberapa tahun, begitu ramai hari ini karena memang ada audisi untuk pencarian pemeran protagonis dalam sebuah judul film yang akan rilis dalam waktu dekat. Seluruh artis terbaik yang dimiliki Agency dikerahkan agar bisa mendapatkan peran utama dalam film yang katanya diangkat dari sebuah judul n****+ yang laris di pasaran. Meskipun baru beberapa bulan yang lalu aku menjadi model video klip salah satu original soundtrack untuk film yang juga diangkat dari n****+ best seller, entah judulnya apa. Apa ini artinya produser film ataupun para sineas sudah mentok ide untuk menghasilkan sebuah karya film yang bukan adaptasi dari n****+? Memang, terkadang selalu ada perbedaan mencolok antara versi n****+ dengan versi film, tapi tetap saja judulnya adaptasi n****+ karangan si A, karangan si B. Hal seperti ini membuat sineas muda menjadi malas untuk menggali kreativitas mereka sendiri. It's just my opinion.
"Lo kok nggak ikutan casting sih cin?"
Yang bertanya itu namanya Paula, laki-laki bergaya sedikit melambai dan penggemar berat Chris Evans. Tangannya masih setia dengan kipas kayu cendana yang aku berikan sebagai buah tangan saat pemotretan di daerah Nusa Tenggara. Meskipun ruangan ini sudah dingin dengan adanya pendingin udara yang suhunya berada di suhu terendah, tapi tangan Paula masih setia menggerakkan kipas kayu itu di depan wajahnya.
Menyandar malas pada sandaran sofa single, aku menjawab pertanyaan Paula. "Males. Nggak bakat gue jadi peran perempuan baik-baik."
Sejujurnya bukan karena alasan itu aku sama sekali tidak mau terjun ke dunia seni peran. Seni peran khususnya teater tari atau drama tari sudah seperti detak jantung dan aliran darahku. Sejak masih duduk di bangku sekolah dasar, aku sudah khatam dengan panggung tari dan teater. Mommyku yang berkebangsaan Aussie mencintai tari dan teater seperti dia mencintai dirinya sendiri. Bahkan, sejak bayi aku sudah terbiasa dan tumbuh besar di balik panggung teater. Beranjak besar, Mommy mulai mengajarkanku berbagai jenis tari tradisional, khususnya tari Bali. Ketika remaja, Mommy mulai mengajakku berkecimpung dalam pentas drama tari. Berbagai karakter tokoh pernah aku perankan di atas panggung teater. Sampai puncaknya saat aku kelas dua SMA, ada pagelaran drama tari yang akan menampilkan kisah tentang Calon Arang yang terkenal mistis di Bali. Aku sudah didaulat untuk memerankan sang tokoh utama cerita itu, sebagai Calon Arang.
Pementasan drama tari Calon Arang yang sudah dilakukan selama puluhan tahun lamanya di Bali merupakan salah satu tari yang bersifat spiritual selain sebagai hiburan bertema horor. Pementasan drama tari Calon Arang selalu membuatku penasaran dan ingin menjadi salah satu penari dalam pementasan drama tari itu suatu hari nanti. Namun Mommy melarangku bahkan menyumpahku jika nekat ikut bermain di drama tari itu. Mommy tidak suka drama tari yang berkaitan dengan hal-hal berbau spiritual dan mistis, sedangkan semua hal yang berkaitan dengan seni budaya Bali tidak luput dari hal berbau spiritual dan mistis. Aku marah saat itu karena Mommy mengunciku di dalam kamar saat acara drama tari Calon Arang digelar di sebuah Pura Dalem yang merupakan tempat (stana) Dewa Siwa dan istrinya Dewi Durga. Sejak itu aku sudah tidak mau lagi bersinggungan dengan yang namanya seni tari maupun peran. Aku pun kabur ke Bandung sebagai bentuk pelampiasan kekecewaanku pada Mommy. Aku benar-benar marah dan kecewa saat itu pada Mommy.
"Sekali-kali cin. Duitnya banyak loh maen film tuh." Suara Paula menyadarkanku kalau saat ini aku sedang di Jakarta, bukan di Bali.
Aku balas tertawa pernyataan Paula. "Duit banyak tapi bikin capek. Apalagi suruh berperan jadi tokoh yang memeluk Agama lain. No way," ucapku menggebu. "Kapan gue mulai shooting iklan yang lo bilang kemaren? Pihak advertiser udah setuju kan sama nominal yang gue ajuin?" tanyaku selanjutnya menghentikan pembahasan soal dunia seni peran.
Membuka Ipad dengan gerakan kemayu dan luwes melebihi wanita tulen sepertiku, Paula menunjukkan layar gawainya yang berisi kontrak kerjaku. "Udah, tapi lo kudu totalitas," ucapnya dengan tatapan siap membunuh jika aku membuatnya marah.
Ingin sekali aku menyongkel mata beloknya itu kalau sudah menatapku seperti itu. "Ya iyalah pasti," ujarku sarkas.
Paula melangkah mendekatiku, menyentuh pundakku dengan kedua tangannya. "Nanti ada editan pas pemotretan untuk iklan yang di-post di majalah," bisiknya lirih.
"Di edit gimana?"
"Emmh... tato di tengkuk lo mau dihapus katanya, cin."
"Nggak ada. Mending batal!"
Paula tergagap mendengar bentakan dariku. Aku tidak peduli. Enak saja mau menghapus tato, meski hanya editan dan demi pangsa pasar semata. Bisa hancur reputasiku sebagai model yang menjunjung tinggi nilai keaslian sebuah foto. Aku melenggang pasti meninggalkan Paula yang masih sibuk membalas pesan-pesan di Line khusus penggemar dan mengatur jadwal untukku.
Paula berusaha menyamakan langkahnya dengan langkah panjangku. "Janny ... please!" rengeknya sambil berusaha memelankan langkahku.
"Apa lagi? Kalau lo mau negosiasi soal tato, gue mogok nih," ancamku kepada Paula yang hanya di jawab dalam sebuah gelengan.
"Bukan, Cin, tapi emmhh..., itu, di kotak make up, gue lihat ada kalung. Tapi gue yakin pasti bukan punya lo."
Aku menghentikan langkah. "Oh, itu punya gue," ucapku membuat kedua bola mata Paula seperti mau melompat dari kelopaknya.
Aku masuk kembali ke tempatku tadi duduk di ruang make up, di depan cermin besar tempat biasa para model dan artis di rias sebelum mereka melakukan aktivitas shooting dan pemotretan. Aku meraih kotak berukuran sedang warna coklat tua dengan motif tulisan LV di sekitar kotak. Ketika kotak tersebut dibuka akan menjadi tiga bagian yang isinya peralatan tempurku.
Aku meraih sebuah kalung putih dengan bandul seperti tanda plus yang aku yakini adalah tanda salib. Hatiku seperti dicubit setiap kali melihat kalung ini.
"Itu punya siapa, Jan?" tanya Paula ragu.
"Nggak tau, nemu di parkiran club, udah geletak aja deket mobil gue, seminggu yang lalu."
"Trus mau lo simpen?"
Aku hanya tersenyum masam mendengar pertanyaan bodoh dari Paula. Perempuan setengah jadi itu menyeringai kemudian.
Aku memang tidak tahu siapa pemilik kalung ini. Aku hanya ingat mobil yang terparkir persis di samping mobilku di Basement Night Club, tapi aku juga tidak yakin apa pemilik mobil itulah pemilik kalung ini. Mungkin aku bisa mencari tahu melalui rekaman CCTV Club. Aku bisa menyuruh Paula untuk mencari tahu soal ini.
Dari kantor Agency aku menuju hotel berbintang di bilangan Jakarta Utara untuk mengikuti meeting untuk membahas iklan sebuah perusahaan perhiasan ternama yang akan memakai jasaku sebagai bintang iklan sekaligus brand ambassador-nya. Seperti biasa, aku hanya didampingi oleh Paula, manajer sekaligus asisten pribadi yang telah menemaniku selama hampir dua tahun terakhir. Hanya dia yang mampu bertahan dengan sifat keras kepala dan segala keruwetanku.
"Inget ya Jan, sebelum presentasi selesai, lo nggak boleh protes!"
Paula mengingatkan soal kebiasaanku yang selalu saja membuat kesal pihak perusahaan iklan ketika mempresentasikan proposal iklan di hadapan para founder ataupun pemilik perusahaan yang akan memakai jasa iklan mereka, sedangkan aku hanya berusaha menyampaikan pendapatku saja, kalau memang tema iklannya bagus ya aku bilang bagus, kalau busuk ya aku bilang busuk. Bagaimanapun juga nantinya aku membawa nama baik perusahaan produk yang akan aku iklankan,dan juga menjaga nama baikku sendiri. Jadi aku tidak mau asal-asalan dalam bekerja.
Meeting berjalan mulus, tanpa hambatan. Aku memenuhi semua prosedur yang di tawarkan pihak perusahaan iklan dan founder perhiasan. Hanya satu yang aku tolak mentah-mentah. Aku tidak mau di potret mengenakan kalung dengan bandulan salib seperti yang saat ini tengah berada di dalam clutch-ku. Tadi saat di ruang meeting, Paula sempat mencubit dengan sadis pahaku. Aku rasa pasti meninggalkan bekas biru saat ini. Aku menolak dengan keras mengenakan salah satu produk di sesi pemotretan pertama. Paula mengomeliku sepanjang jalan pulang ke rumah. Bahkan, dia marah besar. Dengan teganya, dia menurunkanku begitu saja di depan gerbang perumahan tempat aku dan sahabatku tinggal. Selama jalan kaki menuju rumah yang untungnya tidak terlalu jauh jaraknya dengan gerbang kompleks, tidak hentinya aku menyumpah serapahi Paula. Sial!
Meski aku sanggup untuk menyewa bahkan membeli sebuah apartemen, tapi aku menuruti sahabatku untuk tinggal di kompleks perumahan. Alasannya simpel, kalau ada apa-apa sama kita yang mau menolong banyak. Kalau tinggal di apartemen rasanya juga mengerikan. Lagian kalau tinggal di perumahan itu seperti tinggal di kampung sendiri. Terlalu banyak peristiwa keji yang terjadi di sebuah apartemen. Begitu kata Meidina. Aku menurut saja, daripada harus tinggal sendirian dan tidak ada yang mengurus ketika sakit, juga tidak ada yang menghibur ketika sedih.
♡♡♡
Di dalam kamar, aku memandang kosong refleksi wajahku yang terpantul dari cermin di kamar. Usiaku masih 26 tahun, tapi semua orang menganggap sudah waktunya aku menikah dan berhenti bersenang-senang. Namun, tidak bagiku. Masih banyak yang belum aku raih dalam hidup ini. Hatiku juga masih terasa begitu kosong melompong. Pencarianku untuk mengisi kekosongan itu masih terasa panjang. Lagian bagaimana mungkin aku akan menikah jika aku sendiri saja tidak sanggup memahami makna dasar sebuah pernikahan. Tentu aku membutuhkan laki-laki yang tepat untuk membantuku memahami makna pernikahan, minimal laki-laki yang berkeyakinan sama denganku. Agar tidak berakhir mengenaskan seperti dengan mantan kekasihku saat kuliah yang memiliki agama dan keyakinan yang beda denganku.
Aktivitasku membersihkan wajah dengan tisu basah terpaksa berhenti, karena aku lebih tertarik melihat Meidina, sahabatku dari zaman kuliah, yang saat ini tengah antusias memamerkan sebuah cincin barunya. Tidak biasanya dia se-excited ini terhadap suatu barang. Biasanya kalau beli sesuatu yang baru langsung disimpan di lemari kamarnya. Aku tahunya kalau dia punya barang baru ya jika dia mengenakan barang tersebut.
"Toko rame nih kayaknya, bisa beli berlian. Lumayan tuh buat tabungan."
Meidina memicingkan kedua matanya. "Ish, enak aja tabungan. Aku nggak beli kok. Tapi dikasih." Jawabannya diiringi dengan senyum semringah yang sulit aku artikan.
"Dikasih? Baik banget tuh yang ngasih. Kenalin dong, mau juga kali dikasih berlian secara cuma-cuma gitu," jawabku disertai cengiran yang selalu bisa membuatnya kesal setengah mati.
"Janny, jangan bercanda deh. Ini tuh dikasih Aa Fero. Dia ngelamar aku, Jan," katanya sambil memeluk lenganku.
Kedua mataku terbelalak selebar-lebarnya mendengar penuturan sahabatku itu. Aku percaya dia tidak pernah bisa berbohong sedikit pun kepadaku. Namun, yang aku tidak percaya adalah dia nekat menerima lamaran dari kekasih yang sudah menjalin hubungan dengannya selama bertahun-tahun itu. Sebenarnya aku juga yang memperkenalkan dia kepada laki-laki itu. Namun, demi apa pun aku sama sekali tidak tahu saat itu kalau laki-laki yang sudah aku perkenalkan kepada sahabatku adalah seorang pengguna narkoba. Memang sih selama dua tahun ini, laki-laki itu bersedia di rawat di panti rehabilitasi khusus pecandu narkoba dan sekarang sudah dinyatakan bersih. Entah kenapa aku sendiri yakin suatu saat nanti laki-laki itu akan kembali menjadi 'pengguna' lagi.
"Lo yakin Fero udah sembuh? Kalau dia kumat lagi gimana?" tanyaku seraya membalikkan tubuhku sepenuhnya menghadap pada sahabatku ini.
Meidina mengangguk yakin. "Aku yakin Aa Fero sudah bersih. Aku dan dia serius sama hubungan ini."
"Gue tau lo selalu serius sama apa pun, tapi coba deh dengerin gue kali ini aja," pintaku dengan tulus, mengarah pada memohon.
"Aku yakin A Fero nggak main-main sama aku."
"Gimana bisa sih lo seyakin itu? Nggak ngerti gue?" Aku mulai kesal.
"Makanya, jangan main-main terus sama suatu hubungan. Supaya kamu tau maksud aku dan bisa membedakan mana yang bener tulus atau cuma main-main cinta sama kamu."
"Nggak nyambung lo!"
Teruskan saja lah aku sudah mengantuk jika membahas soal cinta. Makanan apa itu? Dimakan pun pasti tidak ada rasanya. Hambar.
"Jan, kok malah tidur sih? Aku belum cerita bagaimana Aa Fero ngelamar aku tadi."
"Bodo ah. Gue ngantuk, besok ada pemotretan pagi. Bangunin gue jam 6 ya, Mei!"
Gadis Minang itu mencebikkan bibir bawahnya, lalu meninggalkan kamarku. Aku hanya tersenyum menatap punggungnya yang menghilang di balik pintu kamar. Dia perempuan paling tegar dan tersabar yang pernah aku temui. Kalau aku harus dihadapkan dengan laki-laki macam Fero, sudah pasti aku tendang bokongnya hingga dia terpental ke Kutub Selatan. Apa yang bisa diharapkan dari seorang laki-laki mantan pecandu. Ah, cinta, membuat orang menjadi buta akan segala hal nyata di dunia ini. Cinta memang bisa membuat segala sesuatunya menjadi terasa indah pada awalnya. Namun, menjadi terasa memuakkan pada akhirnya. Aku tidak membenci cinta, hanya saja aku tidak begitu percaya cinta itu benar-benar ada dan berwujud. Malas membayangkan soal cinta, aku meraih ponsel yang berada di atas nakas untuk mengirim pesan singkat pada Paula.
Me:
Lo minta rekaman cctv semalam di immigrant. Blg aja Zaneeta yang minta.
Menik Paula:
Buar apa? Penting amar sih?
Me:
typo mulu lo.
Ngga usah bawel. Mintanya yg di basement aja. gue tunggu bsk.
Menik Paula:
Engge ndoro ayu.
Setelah menemukan solusi atas suatu hal sepele tapi memberatkanku itu, akhirnya aku bisa tidur nyenyak malam ini. Semoga besok Paula sudah bisa mendapatkan rekaman CCTV tersebut, jadi aku bisa segera mengembalikan kalung itu kepada pemiliknya. Walaupun sudah mengantuk, tapi entah kenapa aku sulit memejamkan. Pandanganku tak hentinya lepas dari kalung yang kini tergeletak di atas nakas, berdampingan dengan arca mini dewa Ganesha milikku.
Siapa pemilik kalung itu ya?
-----
^vee^