>
Jakarta, 2013
Beberapa bulan setelah pesta ulang tahun Martin Natanegara dan Janny menginap di apartemen gue malam itu, hubungan gue dan Janny makin akrab. Dia perempuan yang spontan, cuek dan masa bodo dengan urusan orang lain. Dan satu lagi, sampai di titik ini gue sama sekali nggak berani menyentuh Janny. Gue menjaga jarak sebisa gue dan nggak berani asal melakukan skinsip dengan Janny yang juteknya minta ampun itu. Salah ngomong dikit aja, matanya udah mendelik seperti jelmaan leak. Kadang gue ke kantor agency tempat Janny kerja, menjemput dia hanya untuk sekadar makan siang. Nggak jarang juga, Janny ikut nimbrung dan minum bareng gue dan sahabat-sahabat gue di club. Janny paham betul dengan merk dan jenis minuman beralkohol yang ada di club tempat kami nongkrong. Gimana nggak paham, dalam sepekan dia bisa menghabiskan tiga sampai empat kali untuk sekadar minum di club itu.
Gue merasa ada rasa nyaman yang muncul ke permukaan saat bersama Janny. Gue selalu merasa pengin berada di dekatnya setiap saat. Menyadari rasa lain yang timbul dari hubungan pertemanan yang gue jalin dengan Janny, gue segera mengambil kesempatan untuk bisa melakukan pendekatan dengan dia. Namun, gue sadar kalau tembok yang ada di sekitar kami begitu tinggi dan kokoh untuk ditembus. Tembok kokoh itu bernama perbedaan Agama. Yep, gue penganut Katolik dan Janny penganut Hindu. Gue tahu dan sadar betul adalah hal nekat kalau harus memaksa menerobos tembok tinggi dan kokoh itu. Namun, gue nggak terlalu ambil pusing. Selama Janny masih tetap terlihat nyaman ketika bersama gue, ya ikuti saja alurnya dan lakukan yang terbaik. Perbedaan itu kalau terbiasa dilalui bersama rasanya akan jadi persamaan, karena memang terbiasa adalah cara paling mudah memanipulasi perasaan.
Malam ini Janny meminta dijemput di bandara. Dia dari Jepang. Katanya ada acara pemotretan untuk sebuah brand perhiasan mewah yang menggunakan dia sebagai model iklan komersialnya. Meski lelah setelah seharian ini sibuk banget di kantor, nggak mengurangi semangat gue untuk menjemput Janny. Gue kangen sama dia setelah hampir tiga minggu dia di Jepang. Kangen celetukan pedasnya, tatapan membunuhnya, gestur tubuhnya ketika bercerita, bibir mungilnya yang mengerucut lucu saat cemberut. Arrgghh.... gue kangen semua yang ada pada diri Janny. Gue melihat dia berjalan menuju pintu kedatangan dengan langkah lesu menarik koper pinknya. Janny hanya sendirian, nggak bersama asisten setianya, Paula.
"Hai, capek banget kayaknya?" tanya gue mengambil alih koper milik Janny.
"Nggak capek tapi sebel," gerutunya seraya mengerucutkan bibir mungilnya. Ya Lord...gue cuma bisa menelan ludah dan mengumpat dalam hati. Lemah gue, lemah.
Kami berjalan beriringan menuju area parkir tempat mobil gue berada. "Paula mana? Kok lo sendirian?" tanya gue saat memasukkan koper Janny ke dalam bagasi mobil.
"Lo kangen gue apa Paula sih!" Janny berujar dengan ketus. Gue nggak menjawab lagi, sepertinya mood-nya sedang dalam mode 'kalau sayang nyawa, jangan mencari masalah dengan Janny'. Kelihatan banget wajahnya butek kayak air kobokan dan gue nggak mau cari mati.
"Mau dianter ke rumah atau nginep di apartemen gue?" gue menawarkan saat mobil sudah melaju meninggalkan bandara.
"Lo nawarin gue tidur di apartemen lo atau lagi nyari partner untuk bantu ngabisin stok kondom lo yang sisa setengah kotak itu?" tanya Janny sarkas. Gue masih coba sabar menghadapi perempuan ini. Kalau cewek lain, udah gue tendang keluar dari mobil detik ini juga.
"Kalau partner have s*x gue itu elo, gue belain deh beli kondom baru dan buka segel kotaknya di depan lo," jawab gue dengan cuek. Janny nggak menjawab lagi. Dia merebahkan kepalanya ke sandaran jok mobil.
Gue yakin pasti ada yang nggak beres selama proses pemotretan hingga membuat mood-nya kacau balau begini. Janny memang orang yang payah dalam membuka masalahnya kepada orang lain, meski teman dekatnya sekalipun. Sebelas dua belas dengan sahabat gue, Alvin. Prinsip gue menghadapi Janny memang hampir sama dengan prinsip yang gue pakai jika menghadapi Alvin ketika bad mood begini, ya apalagi kalau bukan silent is gold.
"Gue nginep apartemen lo aja. Gue di rumah sendirian. Sahabat gue masih di kampungnya," ucap Janny dengan mata masih terpejam.
Gue hanya menjawab dalam gumaman. Oya, satu lagi, sampai detik ini, gue nggak pernah tahu nama apalagi bentukan sahabat yang sering dibicarakan oleh Janny selama ini. Dia pernah marah besar saat Alvin nggak sengaja mengambil ponselnya yang dikira Alvin ponsel gue. Janny menjawab dengan ketus saat Alvin menanyakan siapa perempuan yang foto bersama dia di salah satu nama kontak BBM yang kebetulan terbuka. Mungkin Janny lupa menutup ruang obrolan BBM nya saat itu.
Janny sepertinya sudah terlelap, karena nggak lagi ada jawaban saat gue menanyakan apa dia menginginkan sesuatu sebelum sampai di apartemen. Napasnya juga sudah terdengar teratur, dadanya terlihat naik turun. Dapat gue lihat dari posisi ini, Janny mengenakan bra warna merah menyala yang kontras dengan kulitnya yang seputih porselen. Bukan salah gue kalau bisa melihat dengan baik. Salahkan Janny yang nggak memasang kancing kemejanya dengan benar.
Sampai di basement, Janny masih belum juga bangun padahal mesin mobil sudah mati. Beberapa kali gue menepuk pipinya, tapi Janny nggak bergerak sama sekali. Akhirnya gue meminta bantuan salah satu security apartemen untuk membawakan koper Janny. Sedangkan Janny gue gendong sampai unit apartemen. Janny masih terlelap meski kini posisi tidurnya sudah berpindah ke tempat tidur di kamar gue. Tidurnya terlihat damai. Perlahan gue mengusap rambut bagian atasnya. Membuat Janny bergerak, tapi bukan tanda-tanda akan bangun. Dia malah memperbaiki posisi tidur ke posisi nyaman menurutnya. Setelah menyisakan lampu di atas nakas, gue keluar dari kamar utama, membiarkan Janny tidur dengan tenang.
Malam ini gue nggak bisa tidur entah memikirkan apa. Mungkin terlalu lelah karena seharian ini harus merevisi beberapa laporan yang salah. Gue hanya berbaring sambil menonton televisi yang sedang memutarkan sebuah film box office ber-genre action. Jarum jam dinding sudah menunjukkan pukul tiga dini hari, tapi nggak ada tanda-tanda gue mengantuk apalagi rasa pengin tidur. Pintu kamar terbuka perlahan, Janny muncul di ambang pintu.
"Laper?" tanya gue ketika Janny sudah duduk di samping gue dengan mata sayu khas orang yang masih berada di bawah rasa kantuk.
"Nggak. Kepala gue sakit. Jetlag kayaknya."
Tanpa menunggu perintah, gue meletakkan tangan di atas kepala Janny lalu memberikan pijatan ringan di sana. "Better?" tanya gue dan Janny hanya menjawab dalam bentuk gumaman nggak jelas.
Janny merebahkan kepalanya di atas paha gue. Damn, cobaan apa lagi ini Tuhan? Rutuk gue dalam hati. Menutupi kecanggungan, gue memilih membelai rambut Janny dengan lembut. Dia membiarkan gue melakukan ini. Heran... tumben dia jadi jinak begini.
"Lo lagi ada masalah?" tanya gue masih tetap memainkan rambut Janny.
"Founder perhiasan maksa gue makek kalung salib dalam satu sesi foto."
Gue berhenti mengusap rambut Janny setelah mendengar penuturannya. Bingung mesti merespons apa keluhan Janny kali ini, karena nada bicaranya terdengar serius banget. Biasanya gue selalu menanggapi tiap ucapannya dalam bentuk candaan belaka.
"Trus lo mau?" tanya gue akhirnya setelah keheningan berada di tengah ruangan ini beberapa saat.
"Nggak lah. Mending gue foto telanjang," jawab Janny acuh.
"Nggak ada ya foto telanjang. Awas aja kalau berani!" tiba-tiba gue mengancam Janny dengan serius kali ini. Gue tahu betul Janny ini perempuan nekat. Dan gue nggak bakal rela tubuhnya dilihat rame-rame meski hanya sekadar foto.
"Emang kenapa kalau gue foto telanjang? Lo mau ngapain emangnya?" Janny beranjak dari paha gue lalu duduk bersila menghadap gue.
"Gue mau ngacak-ngacak agency lo, trus gue kawinin lo abis itu!"
Janny bersungut mendengar candaan gue. "Emangnya gue kambing dikawinin." Janny membuang muka lalu mengempaskan punggungnya ke sandaran sofa.
"Kenapa jadi masalah banget kayaknya buat lo kalau difoto pakek kalung salib? Toh hanya foto ini 'kan? Bukan berarti lo meyakini makna salib itu, Jan!"
"Iya tapi prinsip gue kayak gitu. Gue juga nggak pernah mau memperagakan pakaian muslimah meski dibayar mahal sekalipun. Menurut gue itu sama aja kayak mencela agama gue, juga agama yang simbolnya gue pakai."
Gue semakin syok mendengar jawaban kayak gitu dari Janny. Tiba-tiba dia sudah sesenggukan menahan tangisnya.
"Loh, malah nangis?" Gue menggeser posisi duduk lebih mendekat. Mencoba menenangkan dan meredakan tangisnya.
"Gue sadar kalau hidup gue penuh dosa, jadi gue nggak mau menambah dosa lagi dengan perbuatan di luar prinsip keyakinan gue, Fan!" Janny berhasil meloloskan ucapan itu di tengah tangisnya yang makin jadi.
"Tapi semua orang menganggap gue munafik, sok alim. Padahal gue melakukan itu semata cuma demi menjaga kesucian keyakinan gue." Janny terus mencurahkan isi hatinya.
Gue meraih tubuh Janny yang bergetar ke pelukan gue. Sesekali gue mengusap punggungnya yang masih terus bergerak naik turun karena menahan tangis. Nggak lama kemudian tangisnya mulai reda.
"Sorry Fan, gue nggak bermaksud mencela agama lo dengan nggak mau pakai kalung salib, gue cuma-"
"Sshh ... udah ya. Lo nggak mencela agama siapa pun kok. Kalau lo buang Alkitab atau nginjak kalung rosario gue dengan sengaja baru gue marah dan bilang kalau elo udah mencela Agama gue."
Janny mengangguk di akhir ucapan gue. Dia menarik napas demi menghentikan tangisnya. Kedua tangannya lalu terulur memeluk gue dan gue pun membalasnya. Harum yang menguar dari tubuh Janny terasa memabukkan. Di luar kesadaran, gue mencium lekukan lehernya yang terbuka.
Janny membeku, ia melepas pelukannya dan menatap gue. Bukan tatapan sinis seperti biasanya jika gue melakukan kesalahan atau membuatnya sebal. Manik mata cokelatnya menatap gue dengan sendu dan murni dipenuhi gairah. Gue membelai pipi Janny, lalu menunduk. Bibir kami bersentuhan tanpa tekanan. Namun sengatan yang dihasilkan dari sentuhan itu jelas membakar gairah yang gue pendam selama beberapa bulan ini. Demi Tuhan, selama gue dekat dengan Janny beberapa bulan ini, selama itu pula gue nggak pernah nyentuh perempuan mana pun, apalagi sampai terlibat hubungan di atas ranjang.
Gue menangkup bibir bawah Janny yang terasa lembut dan manis, lalu melumatnya dengan perlahan. Gue berhenti sejenak menunggu respons dari Janny. Ternyata dia nggak menolak dan justru semakin memperdalam ciumannya disertai dengan desahan ringan. Janny malah membiarkan gue mengambil alih. Ya Tuhan, demi apa pun bibir Janny amat memabukkan. Gue nggak akan terima jika ada laki-laki selain gue yang menikmati bibir ini. Setiap kecupan semakin membawa tubuh kami agar lebih dekat dan memagut penuh hasrat. Jemari lentik Janny menyusuri helai demi helai rambut gue. Kali ini gue yang meloloskan sebuah desahan, merasakan Janny memainkan beberapa helai rambut gue dan menariknya pelan. Membuat gue semakin menggila dan nggak akan bisa berhenti. Gue melepas bibir Janny sesaat lalu berpindah pada lehernya yang beraroma bunga-bungaan. Menghirup aromanya dalam-dalam seraya membelai punggungnya yang masih tertutup kemeja motif floral. Tanpa diminta, Janny sudah berpindah naik ke pangkuan gue. Tangan gue menyentuh pahanya pelan, lalu mengubah posisi kami agar lebih dekat, meski tidak terlalu menempel.
"Kayaknya sofa ini terlalu kecil untuk menampung kita berdua," bisik Janny semakin membuka lehernya, memberi gue akses yang lebih baik mencecap setiap inci lekuk lehernya.
"Punya ide lebih menarik pengganti sofa ini?" balas gue nggak mau kalah.
Jemari Janny menarik rambut gue perlahan saat bibir gue menghisap kulitnya, lalu ia menjawab dengan suara serak yang seksi, "apa aja, yang penting lebih lebar."
Gue tertawa pelan seraya melepas satu kancing kemejanya. Bibir gue tetap nggak beranjak dari leher Janny. Seolah menyentuh Janny adalah kebutuhan melebihi makan dan minum.
"Sofa ini udah cukup kok," gue mengakhiri perdebatan ini. Janny hendak protes tapi kata-katanya tertelan karena tangan gue menemukan dadanya setelah berhasil meloloskan kemeja sialan itu dengan sekali hentakan hingga kancingnya bertebaran di atas karpet. Gue memang bukan tipe yang sabaran. Tangan kanan gue meremas dengan hati-hati, lalu tangan kiri gue terulur ke punggung Janny melepas pengait bra merah yang bikin gue panas dingin sewaktu di mobil tadi. Aktivitas gue menciumi leher Janny berhenti begitu melihat keindahan dadanya. Puncaknya sudah menegak di hadapan wajah gue. Tanpa membuang waktu bibir gue menangkup puncak itu. Setelah menjilatnya dengan satu kibasan kilat, gue memutarinya dengan perlahan. Janny kembali mendesah, kali ini lebih lantang. Sepertinya gue sudah melakukan hal yang benar.
"Haffandi," desah Janny. Gue menjawab dengan menggumam, masih tetap melumat d**a indahnya tanpa ampun. Gue melepas puncak dadanya dengan bunyi yang nyaring, lalu beralih pada d**a yang lain. Janny kini tak kuasa lagi menahan desahannya. Desahan lembut tadi berubah menjadi erangan. Bahkan Janny menjerit kecil ketika gue menggigit puncak payudaranya. Dadanya semakin membusung seolah ingin menyerahkan semuanya sama gue.
Tidak ingin mengulur waktu, gue meminta Janny membuka celana pendeknya dan dia pun menurut. Kini tubuh indahnya hanya dibalut sebuah celana dalam berwarna senada dengan bra tadi. Setelah Janny kembali duduk di pangkuan gue seperti semula, gue melarikan ibu jari gue menuju pusat kewanitaan Janny. Dia kembali mengerang, sementara tangannya mencengkeram bahu gue kuat- kuat hingga gue bahkan nggak merasa kesakitan saat kuku panjangnya menembus kaus gue dan menancap di kulit gue. Ibu jari gue semakin membelai kewanitaannya melalui celana dalamnya, membuat Janny semakin menggelinjang nikmat.
Janny melumat bibir gue dengan penuh gairah. Sementara tangan gue yang berada di antara kakinya menemukan celah menuju benda kecil yang tersembunyi di sela kewanitaannya. Dengan tekanan ringan, gue kembali membuat Janny mengerang. Jemari gue yang lain menjelajahi pintu masuk itu dengan lembut. Sebelum akhirnya dengan perlahan bahkan amat pelan, gue menyelipkan satu jari untuk masuk ke dalam celah tersembunyi miliknya. Terasa amat basah dan hangat. Janny sudah benar-benar turn on. Gue sendiri mulai nggak bisa menahan gairah, lalu menambahkan satu jari lainnya untuk menyelinap masuk dan mendapat penghargaan berupa erangan penuh kenikmatan dari Janny.
"Fan! Astaga. HAFFANDI...." erang Janny menyebut nama lengkap gue sekali lagi.
"Kenapa Zaneeta?" tanya gue seraya menjilat daun telinga Janny. Dia hanya menggeleng menahan gairah.
Gue menusuk celah manis itu beberapa kali, lalu menarik dua jari gue hingga nyaris keluar. Janny protes dan mengikuti jari gue dengan menurunkan tubuhnya. Detik berikutnya Janny menaik-turunkan tubuhnya dengan jemari gue berada di dalamnya. Gerakan Janny jelas membuat milik gue di bawah sana semakin menegang, tapi sebisa mungkin gue menahan hasrat gue. Janny terus bergerak di atas jemari gue diiringi dengan jeritannya yang terdengar begitu seksi di telinga gue. Nggak butuh waktu lama hingga akhirnya Janny mencapai klimaksnya. Setelah tubuhnya berhenti bergetar, Janny menyandar sepenuhnya di atas d**a gue. Napasnya masih berkejaran. Janny mendesah kecil saat gue menarik keluar jemari gue. Gue menggendong Janny masuk kamar, kemudian ikut berbaring sambil memeluk Janny dari belakang, setelah memakaikan Janny dengan kaus longgar milik gue dan menutup tubuh kami dengan bedcover. Seiring belaian jemari gue di rambutnya, Janny terbuai pada tidur lelapnya lagi.
---
^vee^