>
Jakarta, 2012
Aku terbangun di atas ranjang yang sama seperti biasa kalau aku menginap di apartemen Fandi. Tubuhku terasa lebih segar pagi ini. Tidak seperti pagi-pagi sebelumnya. Namun, ada yang janggal. Pakaian yang kukenakan saat ini sudah berganti dari semalam dan braku menghilang entah ke mana, Arrr... Aku tersenyum kecil mengingat kejadian semalam. Apa aku masih punya muka untuk berhadapan dengan laki-laki yang memberiku o*****e hebat hanya dengan dua jarinya. Ya Tuhan! Mengingat hal itu saja membuat darahku berdesir cepat.
Aroma kopi menyeruak masuk ke sela hidungku. Fandi kah yang sedang menyeduh kopi? Tentu saja! Tidak ada orang lain yang tinggal di apartemen ini selain Fandi dan aku yang menumpang di sini. Setelah mengenakan celana pendek dan bra, aku melangkah keluar kamar menuju aroma kopi yang selalu bisa memberi nyawa tersendiri ketika menyambut pagi hari. Kulihat Fandi berada di dapur, sedang berdiri membelakangiku saat ini. Aku melangkah mendekat ke arahnya. Fandi sudah rapi pagi ini, padahal jarum jam di dinding masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Mau ke mana dia Minggu pagi begini. Setahuku dia libur bekerja di hari Minggu.
"Good morning ..." sapaku seraya mendaratkan b****g di kursi bar. Fandi menoleh dan tersenyum hangat kepadaku.
"Morning ... gimana, nyenyak tidurnya?" tanyanya iseng.
Aku terkekeh pelan. "Nyenyak pakek banget. Mungkin akan menjadi tidur paling nyenyak sepanjang tahun ini."
Fandi hanya tertawa mendengar ucapanku. Dia melangkah santai menuju tempatku duduk sambil membawa dua mug putih berisi kopi. "Hebat banget ya yang bisa bikin lo bisa tidur senyenyak itu," kelakar Fandi lalu mengedipkan sebelah matanya dengan genit. Aku balas kerlingannya itu dengan mencibir.
"Mau ke mana lo pagi gini udah rapi banget? Ada kencan kah?" Kutatap penampilannya pagi ini. Kemeja slim lengan panjang motif liris dengan warna dasar hitam dan celana bahan warna abu-abu tua yang melekat pas di tubuhnya.
"Mau ke Gereja. Nggak apa-apa ya gue tinggal bentar. Siang udah balik kok," jelas Fandi kemudian menyesap kopi hangatnya perlahan. Aku mengangguk. Kami menikmati kopi pagi ini dalam diam. Setelah kopi di mugnya tinggal separuh, Fandi beranjak dari kursi bar menuju kamar utama. Kemudian dia keluar dengan membawa sebuah buku tebal warna hitam, ralat mungkin kitab suci Agamanya.
Aku memang sudah mengenal Fandi beberapa bulan ini. Jadi, aku juga sudah tahu apa Agama dan keyakinan yang dianutnya. Haffandi seorang Kristen Katolik. Fandi juga tahu Agama dan keyakinanku serta nama panjangku yang kental menunjukkan daerah asalku. So far, kami tidak terlalu mempermasalahkan soal ini dalam hubungan pertemanan kami. Aku bisa menjaga hubungan persahabatan dengan Meidina meski ada perbedaan di antara kami. Pun begitu dengan Fandi yang sudah menjalin persahabatan bertahun lamanya dengan Alvin dan Dastan yang mempunyai perbedaan keyakinan dengannya. Kami sangat menjunjung tinggi yang namanya toleransi umat beragama.
Ketika berjalan menuju kembali ke tempatku, Fandi terlihat mengalungkan sebuah kalung dengan bulatan-bulatan kecil di sekeliling kalung ke lehernya. Bentuknya berbeda dari kalung yang pernah aku temukan dulu, yang kini dia pakai lebih panjang dan berwarna kecokelatan dengan bandulan salip warna cokelat kayu. Tepat saat dia berada di hadapanku, dia memasukkan seluruh kalung ke dalam kemejanya. Mungkin itu yang semalam dia sebut kalung rosario.
"Jadi anak baik selama gue pergi ya. Kalau mau sarapan, ada roti, selai, oat dan sereal di atas meja makan," jelas Fandi. Dia tahu aku tidak bisa sarapan nasi.
Fandi menyesap kopi dari mugnya, kemudian menundukkan kepalanya untuk mencium bibirku. Tanpa komando siapa pun aku mengalungkan kedua tangan di leher Fandi dan membalas ciuman yang membuatku ketagihan mulai detik ini. Sebelum sama-sama tidak bisa mengontrol, Fandi menarik bibirnya perlahan lalu mengusap bibir bawahnya dengan lidah sendiri.
"Minum kopi langsung dari bibir lo kayaknya lebih nikmat deh, Jan," ucap Fandi sambil menyeringai usil. Demi apa wajahku menghangat saat ini menahan malu.
Aku beranjak dari kursi bar lalu memutar tubuh Fandi dan mendorongnya ke arah pintu. Fandi tertawa mendapati perlakuanku. "Udah sana berangkat, nanti telat!"
Sesampainya di pintu, Fandi memutar tubuhnya lalu mengamit pinggang dan tubuhku menempel sempurna di tubuhnya. Fandi kembali mencium bibirku, tapi tidak terlalu lama, hanya sebuah kecupan singkat. Kemudian dia membuka pintu dan menutupnya kembali setelah mengerling nakal kepadaku. Aku hanya bisa menggeleng melihat kelakuan genitnya ini. Apa aku akan benar-benar jatuh ke dalam pelukan laki-laki m***m macam Fandi. Kalau sudah begini membuatku tergelitik ingin tahu love life-nya seorang Haffandi.
Karena sudah tidak bisa tidur lagi, aku memutuskan untuk mandi dan membersihkan tubuhku dari sisa sentuhan Fandi semalam. Wajahku kembali menghangat mengingat kejadian semalam. Aku harus segera buang jauh-jauh pikiran kotor itu. Aku sedang malas pulang ke rumah. Meidina masih belum kembali dari Padang pasca Fero meninggal beberapa bulan silam. Dia benar-benar terpukul karena suaminya meninggal tepat setelah mereka berdua baru diresmikan menjadi suami istri. Malang memang nasib sahabatku itu. Namun, begitu Takdir, tidak pernah pandang bulu untuk menentukan jalannya. Mungkin aku akan bertahan di apartemen ini hingga mendapatkan kenyamanan untuk kembali ke rumah. Fandi pasti tidak keberatan.
Bel apartemen berbunyi sekali. Tidak mungkin Fandi, karena dia bisa membuka pintu sendiri dengan menggunakan password-nya. Aku melangkah malas menuju pintu. Dengan penuh keraguan aku mengintip melalui peep-hole yang berada di tengah pintu. Sepertinya Alvin yang sedang berdiri di luar. Tangannya terulur untuk menekan bel sekali lagi, tapi niat itu diurungkan karena pintu sudah terbuka.
"Fandi lagi nggak ada," ucapku ragu. Alvin menatapku dari ujung rambut hingga kaki dengan ekspresinya yang tak terbaca. Membuat aku ikut menatap penampilanku sendiri yang hanya mengenakan kemeja gombrong dan hotpants. Sudah pendek menurutku celana ini, tapi Alvin terlihat sama sekali tidak tertarik ataupun terganggu.
"Iya gue tau. Dia ada Misa pagi ini. Gue ke sini cuma mau ngambil laptop gue." Alvin nyelonong masuk dengan cueknya.
Aku mengembuskan napas agak keras karena sikap dingin laki-laki ini. Sepertinya dia masih marah karena pernah aku omeli saat melihat foto Meidina di ponselku. Aku tahu dia tidak sengaja. Namun, cara dia bertanya itu yang aku kurang suka. Jadi merasa tidak terima saja saat itu, karena Alvin bertanya dengan mimik wajah mencibir dan seolah menyamakan sahabatku itu dengan partner ONS nya yang lain. Fandi juga sudah menjelaskan saat itu kalau Alvin ya memang begitu sikapnya sama perempuan. Aneh, aku juga sengaja tidak pernah memperkenalkan Meidina pada Fandi apalagi sahabat-sahabatnya itu. Bagiku, Meidina itu terlalu bersih untuk berbaur dengan lingkunganku yang sudah terlanjur kotor. Lagian, bagaimana mau diajak nongkrong bareng Fandi dan kawan-kawan. Mereka bertiga saja nongkrongnya selalu di club, dan aku masih sangat waras untuk mengajak Meidina masuk club.
Kulihat Alvin melangkah dari dapur dengan sekaleng bir di tangannya, menuju ruang tengah dan duduk dengan santainya di sofa. Aku bergabung dengan Alvin lalu menonton televisi tanpa memedulikan dia sedang melakukan apa dengan laptop yang berada di pangkuannya.
"Lo dari semalam di sini?" tanya Alvin basa-basi, tapi pandangannya tidak beralih dari layar laptop.
"Iya," jawabku singkat tanpa memindai pandanganku dari arah televisi. Tak ada sahutan lagi dari Alvin. Sepertinya dia sudah larut dalam dunianya sendiri. Setelah menghabiskan minumannya, Alvin pamit pulang. Sepeninggal Alvin aku kembali sendiri di apartemen mewah ini. Sorenya aku pamit pulang kepada Fandi karena Meidina mengabarkan kalau sudah terbang menuju Jakarta. Aku masih belum tahu dia akan survive di Jakarta atau akan kembali ke Padang untuk selamanya. Fandi mengantarku pulang sampai rumah.
"Lo nggak marah 'kan sama gue karena kejadian semalam?" tanya Fandi ragu saat kami masih terdiam, meski mobil telah berhenti tepat di depan pagar rumahku.
"Gue nggak marah, cuma malu aja sama lo," jawabku tanpa berani menatap mata Fandi. Ke mana sifat angkuh dan aroganku yang pantang menundukkan dagu. Silly...
"Ngapain mesti malu? Gue seneng kalau lo mau terbuka sama gue. Apalagi membuka hati lo buat gue."
Akhirnya aku mendapat kekuatan untuk mengangkat kepala dan mempunyai nyali menatap mata Fandi.
"Aku suka sama kamu," katanya lalu tersenyum lembut. "Aku bahkan sudah jatuh hati sama kamu, Zaneeta. Aku pengin jagain kamu dan selalu ada di samping kamu dalam keadaan apa pun," lanjutnya tanpa memberi kesempatan padaku untuk mencerna makna dari setiap kata yang ia ucapkan.
Kedua bola mata Fandi menatapku dengan sorot mata sungguh-sungguh. Wajah usil dan genitnya sama sekali tidak tampak saat ini. Napasku tercekat di tenggorokan. Seolah kehabisan stok oksigen dalam mobil ini. Fandi meraih kedua tanganku dan menggenggamnya dengan erat. Membuat perasaanku menjadi nyaman dan napasku kembali berembus normal.
"Tanggal 24 aku pulang ke Bandung. Aku ngerayain Natal di sana. Mungkin baru kembali ke Jakarta waktu malam tahun baru. Selama kita nggak ketemu, coba pikirkan sekali lagi ucapan dan permintaanku." Fandi mengecup keningku lalu memintaku untuk masuk rumah. Aku hanya menurut tanpa sanggup mengatakan apa pun. Bahkan hingga mobilnya lenyap dari hadapanku aku masih kehilangan suara.
Aku mencoba memikirkan kembali setiap kalimat yang diucapkan oleh Fandi. Ada satu sisi dalam diriku yang terus memberontak dan mengatakan bahwa semua ini sudah salah arah. Aku akan memilih berbalik arah, karena tahu di depan sana tidak ada jalan untuk aku dan Fandi bisa bersama. Lamunanku terhenti saat mendengar salam yang diucapkan oleh Meidina.
Berusaha mengontrol perasaanku yang sedang risau, aku menghambur memeluk Meidina. "Maafin gue ya, Mei. Nggak bisa ada di samping lo waktu lo down."
Aku merangkul erat tubuh Meidina yang terasa semakin mengecil dari sebelum dia kembali ke Padang waktu itu untuk menikah.
Meidina mengurai pelukanku, tersedu dia berkata, "seharusnya aku dengerin kamu waktu itu, Jan."
Aku kembali meraih tubuh ringkihnya ke dalam pelukanku. Tubuhnya semakin bergetar saat tangisnya mulai pecah.
"Jangan ungkit soal itu lagi. Lo sekarang kudu kuat ya. Gue yakin lo pasti bisa ngelewatin hari tanpa dia. Gue yakin suatu hari nanti jodoh yang tepat akan datang untuk menjemput dan menuntun langkah lo menuju kebahagiaan. Percaya deh sama gue."
Meidina hanya mengangguk lemah di sela tangisnya. "Iya, kali ini aku akan percaya sama ucapan kamu," ucapnya kemudian.
Dia tersenyum lembut kepadaku dan berusaha menunjukkan bahwa dia baik-baik saja. Namun, aku tahu sebenarnya dia hancur sehancurnya saat ini. Bagaimana tidak hancur, dia ditinggal untuk selamanya oleh laki-laki yang baru beberapa jam menyandang status sebagai suaminya. Meidina memutuskan untuk menetap lagi di Jakarta daripada harus tinggal di kampung. Dia tak tahan dengan gunjingan orang-orang usil di kampungnya soal status baru yang disandangnya saat ini, janda.
"Makanya itu Mei. Gue tuh alergi banget sama orang-orang yang pura-pura baik sama gue," ujarku saat mendengar curahan hati Meidina soal orang-orang yang awalnya begitu baik pada dia dan keluarganya, malah merendahkan status dia sebagai seorang janda. Bahkan keluarganya pun juga ikut membicarakan hal buruk tentangnya dari belakang.
"Coba gue yang digitukan udah gue garuk atu-atu itu muka orang yang ngomongin gue di belakang."
Meidina akhirnya tertawa mendengar kelakarku. "Iya bagus itu... Pasti langsung ikut dengan kulitnya tuh, orang yang dicakar sama kuku tajammu, Jan."
Kami berdua tertawa bersama mencoba melupakan rasa resah dan gelisah yang mengganggu hati kami masing-masing. Sejenak aku melupakan dan menahan diri untuk tidak bercerita apa pun soal Fandi pada Meidina agar tidak menambah beban pikiran sahabatku ini.
---
^vee^