9. Menjalani LDR Paling Rumit

2391 Kata
> Jakarta, 2013 Telinga gue pengang parah, kepala masih nggak berhenti berdenyut sisa mabuk semalam. Gue terpaksa datang ke pesta tahun barunya Karenina, anak perempuan tunggal pemilik Natanegara Group yang nggak pernah diketahui oleh publik dan media, daripada bengong malam tahun baru nggak ngapa-ngapain di apartemen. Masih mending kalau ada yang diapa-apain. Gue memang minum lepas kontrol seperti sedang menyalurkan amarah ke minuman yang tersaji di atas meja. Gue terbangun bukan di apartemen sendiri. Setelah menyesuaikan diri dengan keadaan sekitar, baru gue sadar kalau ini apartemen Dastan. Jam digital di pergelangan tangan gue sudah menunjukkan angka sebelas siang. Dengan langkah gontai, gue keluar dari kamar dan menemukan Alvin sedang duduk malas menonton televisi. "Dastan mana, Al?" tanya gue sambil melangkah mendekati Alvin. "Nginep di apartemennya Nina." "Bukannya mereka baru kenal semalam ya? Udah maen nginep aja." "Udah gue ajak pulang semalam, tapi gue nggak mungkin ngurus dua orang teler sekaligus. Jadi gue ninggalin Dastan di tempat Nina. Katanya dia sanggup ngurus Dastan." "Kok lo bawa gue ke sini?" "Cuma password apartemen ini yang gue tau. Password apartemen lo gonta-ganti, males gue mau ngapalin." Alvin menjawab dengan acuh. Gue melanjutkan langkah menuju dapur hendak membuat kopi. "s**t!" maki gue saat nggak menemukan kopi di mana-mana. "Kopinya abis, gue aja pesen. Lo mau di pesenin juga?" Alvin menawarkan kopi kepadaku. "Nggak usah," jawab gue kesal dan kembali ke kamar. Gue bergegas mandi dan kembali ke apartemen sendiri. Dari semalam, Janny nggak bisa dihubungi. Padahal kami sudah janji akan bertemu lagi di malam tahun baru. Gue sudah coba mendatangi kantor agency-nya siang ini, tapi tutup. Gue juga mendatangi rumahnya, tapi nggak ada orang. Padahal gue pengin menikmati malam pergantian tahun maupun tahun baru dengan Janny. Feeling gue sih, dia pasti menghindar dari gue. Dan gue nggak tahu mesti nyari dia ke mana lagi. Damn, gue jadi merasa kayak jadi orang g****k saat ini. Luntang-luntung nggak jelas dan berharap bisa ketemu Janny di suatu tempat. Seminggu berikutnya, masih nggak ada kabar juga dari Janny. Hal itu bikin gue mulai frustrasi menghadapi perempuan itu. Tiap kali gue mendatangi agency-nya, jawaban resepsionisnya selalu sama, Janny sedang cuti dan nggak bisa diganggu. Kan taik... Gue kadang suka mikir, ini yang lagi gue hadapi perempuan apa arca coba. Dia bisa menjadi terlihat begitu kuat dengan segala sifat angkuh dan keras yang selalu ditampilkan di muka umum, tapi dia juga bisa begitu terlihat lemah ketika bersama gue. Seharusnya Janny menerima tawaran untuk bermain film maupun sinetron. Permainan watak dan karakternya tuh jago banget. Semua orang akan mudah terkecoh dibikinnya. Gue juga yakin film yang diperankan sama dia akan laris di pasaran. Akhirnya gue sudah mulai malas mencari tahu keberadaan Janny. Biarkan sajalah, kalau dia memang mau sama gue ya pasti nongol. Kalau nggak, juga terserah. ♡♡♡ Nggak terasa sudah satu bulan nggak ketemu Janny setelah gue pamit ke Bandung waktu itu sebelum Natal. Malam ini akhirnya gue bisa melihat dia lagi untuk yang pertama kali setelah satu bulan. Janny sedang duduk di kursi bar dan mengobrol dengan bartender yang juga gue kenal. "Ngilang ke mana aja kamu satu bulan ini?" tanya gue dengan dingin. Janny hanya menoleh sekilas sebelum akhirnya menyesap minuman yang disajikan oleh bartender. Dia bisa bersikap dengan santainya saat ketemu gue setelah nggak ada kabarnya selama ini. Paling bisa memang Janny ini. "Gue cuti. Liburan sepuasnya," jawabnya dengan acuh. "Sebelum liburan seenggaknya bisa kan kasih kabar buat aku, lalu setelah itu kalau kamu memang nggak mau diganggu ya aku nggak akan ganggu." Janny bergeming. Entah dia mendengar ucapan gue atau nggak karena suara gue kayaknya kalah dengan suara dentuman musik bar ini. Gue meraih tangan Janny dan menariknya ke tempat yang lebih baik untuk berbicara empat mata. Dia nggak memberontak dan hanya meminta waktu untuk meneguk minumannya hingga habis, lalu menyerahkan tips kepada bartender. "Lo nggak minum, Fan?" Jovi, bartender tadi menawarkan gue minum, tapi gue tolak dengan halus. Saat ini kami berdua berada di dalam mobil gue. Janny nggak bertanya apa pun ke mana gue akan bawa dia pergi malam ini. Dia bahkan nggak bersuara sedikit pun sepanjang perjalanan. Ya Tuhan, Engkau menciptakan Zaneeta ini dari apa? Batu atau beton? Bisa keras banget gini wataknya. Sumpah, gue kalah kalau menghadapi kerasnya Janny. Gue sendiri juga bingung mau membawa Janny ke mana. Akhirnya gue putuskan untuk membawa dia ke apartemen saja. Sesampainya di apartemen, dia langsung menuju sofa depan televisi, duduk tanpa berniat untuk menghidupkan televisi di hadapannya. Gue menyusul lalu duduk di samping Janny. "Liburan ke mana kamu?" "Bukan urusan kamu." "Jawab aja kenapa? Nggak usah pakek bilang bukan urusan aku segala. Liburan sama cowok mana? Cakep? Kaya? Bisa bikin kamu o*****e berapa kali setiap bercinta?" Janny mendengkus kesal dan mulai senewen dengan sikap annoying gue. "Berhenti ngurusin hidup gue, Fan. Mulai sekarang urus saja urusan lo sendiri!" bentaknya kemudian. Janny menatap gue dengan nanar. Gue bingung. Terakhir kami ketemu baik-baik saja bahkan dalam kondisi paling baik selama mengenalnya. Lalu kenapa sikapnya jadi berubah 180 derajat begini. "Kamu kenapa, Jan? Ada yang salah dari aku?" "Gue cuma minta berhenti ganggu gue!" Janny berteriak tepat di depan wajah gue. Wajah putihnya memerah seolah sedang menahan emosi yang gue sama sekali nggak tahu apa penyebabnya. "Kasih aku alasannya kenapa harus jauhi kamu dan nggak boleh ganggu kamu?" Janny masih diam. "Jawab Jan! Kalau kamu diam mana aku tau. Batu juga diam, kamu bukan batu 'kan?!" Emosi gue juga ikut nggak terkontrol. Astaga... butuh perjuangan banget untuk bikin Janny mau bicara. Gue nggak tahu lagi bagaimana caranya membuat dia mau bicara. Gue selalu nggak sabaran menghadapi orang macam ini. Akhirnya kami diam hingga beberapa saat. "Gue capek, ngantuk," ujar Janny melemah. "Ayo tidur, aku juga udah ngantuk." Gue biarkan dia masuk ke kamar utama dan tidur terlebih dahulu. Setelah mematikan semua lampu di seluruh ruangan apartemen dan meninggalkan sebuah lampu kecil menyala, gue masuk ke dalam kamar utama lalu menyusul Janny bergelung dengan bedcover. Gue memeluk tubuh Janny dari belakang dan menciumi aroma rambutnya. Gue yakin Janny belum sepenuhnya hilang kesadaran, tapi dia membiarkan gue melakukan semuanya. "Aku kangen kamu, Janny. Sangat," bisik gue tepat di telinganya. Janny hanya menggerakkan kepalanya sekilas sebagai respons ucapan kangen yang gue lontarkan. Lalu kami kemudian tidur hampir dalam waktu bersamaan. Tidur dalam arti yang sebenarnya tidur. Keesokan paginya kondisi Janny sudah lebih baik dan bisa diajak mengobrol dengan tenang. Kami memulai obrolan dengan tenang. Pertama gue tanyakan adalah alasan dia menghilang di malam tahun baru yang lalu. Ternyata Janny memang sengaja lari dari gue setelah mendengar ungkapan isi hati gue malam itu. Dia begitu trauma dengan yang namanya komitmen. Janny trauma dan gue malah nggak pernah mau terlibat sama yang namanya komitmen. Janny juga takut menjalin suatu hubungan dengan seseorang beragama dan memiliki keyakinan yang berbeda dengannya. Janny sudah pernah gagal dua kali dengan hubungan yang salah seperti itu. Gue akui, jurang pemisah di antara kami berdua memang cukup curam. Janny menyadari itu dan nggak berani mengambil risiko ke depannya. "Aku pernah dua kali menjalin komitmen dengan laki-laki muslim. Dan masa indah itu selalu buyar di tengah jalan saat perbedaan itu memang nggak pernah bisa disatukan. Sejak itu aku punya prinsip, jangan berusaha memeluk sesuatu yang dari awal sudah diperkirakan tidak bisa aku peluk selamanya." "Iya benar, tapi tiap orang kan beda-beda dalam memperjuangkan orang yang dicintai. Jangan samakan aku dengan laki-laki pengecut kayak gitu lah, Jan." Janny menundukkan kepala dan menatap meja kopi di hadapannya. Gue meraih kepala Janny dan meletakkan telinganya tepat di d**a gue. "kamu bisa dengar detak jantungku?" Janny mengangguk lalu mengangkat kepalanya menatap manik mata gue. "Jantungku nggak pernah seberdebar ini menghadapi seorang wanita, Jan," lanjutku menatap ke dalam manik mata cokelat Janny. Masih berusaha menyelami hati Janny melalui tatapan matanya. Janny menyurukkan kepalanya di d**a gue. Sebisa mungkin gue memberikan kenyamanan kepada Janny. Membuka hati gue sepenuhnya untuk dia agar dia juga mau membuka hatinya untuk gue. "Fan, kalau kita memaksakan hubungan yang salah ini, akan ada cinta segitiga di antara aku, kamu dan Tuhan." Gue menarik napas dalam, berpikir keras bagaimana cara meyakinkan Janny. "Aku akan buktikan, kalau kita dua orang yang dipisahkan oleh Agama, tapi disatukan oleh Tuhan. Mintalah aku pada Tuhanmu, begitu pun aku akan memintamu pada Tuhanku. " Gila! Ini sungguh gila. Gue nggak bisa mengontrol rasa yang tumbuh dengan sendirinya ini. Nggak pernah terencana kalau cinta begitu saja tumbuh subur di dalam hati gue. Demi Tuhan, gue merasa begitu ingin memiliki Janny seutuhnya. Gue membuang jauh pikiran buruk soal ribetnya menjalin sebuah komitmen apalagi perbedaan rumah ibadah dan cara berdoa kami berdua. Gue hanya berpikir untuk saat ini, bagaimana caranya bisa menghabiskan setiap waktu dalam hidup gue cuma dengan Janny. Gue yakin meski cara berdoa gue dan Janny berbeda, akan bertemu pada Amin yang sama. Sekali lagi gue mencoba untuk meyakinkan Janny kalau ucapan gue di depan rumahnya malam itu serius. "Tolong tanyakan Tuhanmu, apakah aku yang bukan umat-Nya boleh mencintai hamba-Nya?" Kalimat itu yang meluncur sebagai permintaan hati gue setelah kami mengobrol panjang lebar soal perbedaan Agama kami berdua. "Kenapa kamu yakin dan getol banget sama aku, Fan? Yang seagama aja ribet loh, apalagi yang beda Agama?" tanya Janny putus asa seraya mengangkat kepala untuk menatap mata gue. "Karena ini," gue mengecup bibirnya yang lembut dan selalu bisa membuat gue menggila. Kecupan itu berubah menjadi ciuman menuntut. Janny balas melumat bibir gue. Setelah kami sama-sama terengah, gue menarik bibir dari bibir Janny. Dia tersenyum begitu manis dan menularkan senyum itu ke gue. "Because i love you. I love you so much," ucap gue yang dibalas dengan senyum lembut di wajah Janny dan mengalirnya cairan bening dari kelopak matanya. Sebuah anggukan Janny berikan,sebagai tanda kalau dia siap memperjuangkan cinta kami di hadapan Tuhan masing-masing. Sejak gue dan Janny menjalin komitmen untuk bersama, gue meminta dia agar lebih sering menginap di apartemen gue. Dia setuju. Senang banget lah gue. Tidur ada yang menemani. Pulang dari kantor ada yang menyambut kalau Janny sedang nggak sibuk. Dapur apartemen gue berfungsi dengan baik karena Janny sering memasak untuk gue, meski masakannya jauh dari kata enak banget. Biasa aja rasanya, kadang keasinan, kadang hambar, kadang terlalu pedas atau pun manis, herannya kalau makan masakan Janny bisa membuat gue seperti orang rakus. Inikah yang namanya cinta? Indahnya ciptaan-Mu, thanks God. Gue jadi bisa merasakan apa arti hidup yang sebenarnya bersama Janny. Gue nggak pernah bosan menghabiskan waktu dengan dia. Bersama Janny juga, gue merasakan hubungan yang sehat, nggak sekadar urusan ranjang dan memuaskan nafsu semata. Gue nggak lagi mau ONS karena gue sudah punya partner tetap. Kalau gue nekat ONS dan ketahuan, bisa habis junior gue ditebas oleh Janny. Meski sudah sering berhubungan dengan Janny, tiap kali making love gue selalu menggunakan pengaman. Janny terikat kontrak dengan beberapa perusahaan iklan. Dia takut kebobolan sebelum semua kontrak kerjanya selesai. Gue juga semakin dekat dengan Tuhan. Biasanya gue ikut ibadah Misa belum tentu sebulan sekali, tapi sekarang menjadi aktivitas rutin tiap minggu buat gue ke gereja. Yep, Janny yang selalu mendorong dan mengingatkan gue untuk lebih rajin ibadah. ♡♡♡ Hari ini Janny ada upacara perayaan di tempat ibadahnya, Pura besar di daerah Thamrin. Gue yang akan mengantar dia ke sana sekalian ke gereja. "Janny, buruan dong! Keburu macet, sayang." Ini peringatan gue untuk yang ketiga kalinya pagi ini. Gue sendiri sudah siap sejak sejam yang lalu dan Janny masih belum nongol juga dari kamar. "Iya, iya... ini udahan kok. Sabar dong, beib!" Janny menyahut dari dalam kamar. Jawaban yang sama sejak sejam yang lalu. Astaga, wanita oh wanita. Janny akhirnya keluar dari kamar sudah dengan pakaian sembahyangnya. Gue sampai pangling. Baru ini melihat Janny pakai kebaya. Rambutnya ditambah sebuah sanggul kecil dan bunga mawar merah yang di sematkan di pinggiran sanggul. Pantas saja lama banget dandannya. Kebaya yang dipilih warna putih bersih dengan bahan terawang dengan memperlihatkan belahan d**a yang sedikit mengganggu pandangan. Kain batik Bali warna kuning mas melilit sempurna hingga menutupi mata kakinya. Sayangnya kain batik itu ditutupi sebuah kain putih lain, tak ketinggalan selendang warna kuning melingkar di atas perutnya. "Kamu cantik banget, honey." Gue terkekeh karena Janny malah mencibir pujian dariku. Begitulah dia, di saat wanita tergila-gila akan yang namanya pujian dari kekasihnya, Janny justru sebaliknya. "Pakek bra warna apa?" Kepalaku menjulur untuk menengok ke arah belahan dadanya. Janny mendorong pipiku detik itu juga. "m***m!" jawabnya. "Biar m***m gini kamu doyan di bawahku," balas gue nggak mau kalah. Janny nggak membalas lagi. Tangannya terjulur menyerahkan kalung rosario milik gue. Janny kemudian mengalungkannya ke leher gue. "Makasi ya, sayang," ujar gue seraya mendekatkan wajah hendak mencium bibirnya. "Nggak pakek ya! Lipstik aku pasti kamu acak-acak." Janny mendorong kening gue dengan tega. Dia nggak mau gue merusak lipstik merahnya yang bikin gue geregetan itu. "Ada Upacara apa pagi ini, Jan?" tanya gue saat mobil sudah melaju di atas aspal dan berbaur dengan kendaraan lain ibu kota. "Upacara Purwa Daksina," jawabnya singkat diiringi senyum lembut yang selalu bisa bikin gue tenang. Sekarang Janny lebih sering tersenyum daripada dulu, saat baru pertama kali mengenal dia. Ya, meski nggak jarang juga wajah juteknya tetap dia perlihatkan sesekali. Sekitar satu jam kemudian, mobil gue berhenti di depan Pura Pemecutan di Jalan Thamrin. Janny keluar dari mobil setelah mengecup pipi gue. Kami akan bertemu lagi nanti di sini saat kami telah menyelesaikan ibadah masing-masing. Sebelum melajukan mobil kembali, gue sempat melihat bayangan pipi gue di spion. Nggak ada sedikit pun bekas lipstik menempel di pipi gue. Janny ngerjain gue berarti tadi waktu nggak mau dicium, dengan alasan lipstiknya nanti luntur. Lihat aja balasan dari gue. Alvin sering menasihati setelah gue cerita soal menjalin komitmen dengan Janny. "Hati-hati, Fan. LDR yang rumit itu bukan LDR beda kota atau Negara, tapi LDR yang beda rumah ibadah." Begitu kira-kira salah satu pesan sederhana yang pernah disampaikan oleh Alvin. Namun, hal itu nggak membuat gue mundur lalu pergi dari Janny begitu saja. Keberadaan Janny sudah menjadi kebutuhan pokok buat gue melebihi udara. Bahkan, sudah sampai taraf candu bagi alur kehidupan gue. Kadang gue sendiri nggak berani membayangkan bagaimana gue tanpa Janny. Di sini, di dalam gereja ini, gue membuat pengakuan dosa pada Jesus, karena harus menerobos aturan agama, menerjang jurang curam yang ada di hadapan gue. Gue memohon ampunan pada Bapa di surga, dan juga memohon petunjuk pada Bunda Maria. Semoga hubungan gue dan Janny menemukan jalan keluar yang terbaik nantinya. I love her so much, Bapa. Ucap gue lalu membentuk tanda salib di tubuh gue dan mengakhiri Misa Minggu. --- ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN