“Reese.” Panggil sang ibu pada Reese yang duduk di depan perapian sambil membelai bulu lembut anjing kesayangannya. Tidar.
“Ya, bu.” Sahut Reese yang hanya menyahut tanpa berbalik untuk menatap wajah sang ibu.
“Apa kau bertemu dengan Dalton hari ini?” tanyanya lagi.
Mendengar nama sahabatnya disebut, Reese memilih untuk mulai memperhatikan sang ibu yang masih berdiri di ambang pintu antara dapur juga ruang tengah rumah mereka. Mengelap tangannya yang kotor karena adonan tepung gandum, kemudian berjalan mendekat ke arah Reese yang masih nyaman duduk di depan perapian.
“Tidak. Aku tidak pergi ke mana pun seharian ini. Memang ada apa dengan Dalton, bu?” tanya gadis itu penasaran. Karena, tidak biasanya sang ibu bertanya mengenai Dalton kepadanya.
Tidar yang sejak tadi anteng di pangkuan Reese sambil terus dielus oleh gadis berambut pendek itu, sekarang menengadah, menatap sang ibu yang terlihat seperti sedikit khawatir ketika dirinya mulai bertanya mengenai Dalton Caldwell, teman sejak kecil Reese. Tidar seolah mengerti mengenai apa yang dirasakan oleh ibu majikannya tersebut dan berusaha untuk mendengarkan sedikit lebih baik untuk percakapan yang akan mereka bangun di depan perapian tersebut.
"Ada apa, bu?" tanya Reese lagi, yang tentu saja membuat Reese penasaran mengenai apa yang sedang terjadi dengan sang ibu.
"Apa kalian punya teman baru akhir-akhir ini?" tanya sang ibu penasaran dengan suara yang sedikit dia pelankan, seolah pertanyaannya tidak ingin di dengar oleh siapa pun kecuali Reese sendiri.
"Kenapa memangnya, bu?" tanya Reese penasaran yang semakin penasaran.
"Aku tadi melihatnya berjalan bersama seorang perempuan yang mungkin seusia kalian jadi, aku bertanya, apakah kalian memang mempunyai teman baru di sekitar sini?" tanya sang ibu, membuat Reese sedikit terdiam dan mencoba berpikir mengenai seseorang yang bisa saja dimaksudkan oleh sang ibu dan dirinya kenal.
Sambil mengelus bulu-bulu tebal Tidar, Reese mencoba terus berpikir mengenai apa yang mungkin saja dikatakan oleh ibunya adalah sesuatu yang benar, bahwa di sekitar sana memang ada seseorang seumuran mereka yang tinggal. Hanya saja, semakin diingat, semakin keheranan Reese dengan apa yang dikatakan oleh sang ibu. Gadis ini meliri ke arah sang ibu, menatap wajahnya beberapa saat sebelum akhirnya dia menggeleng.
"Bukankah semua orang seumuran denganku sedang pergi ke kota untuk bekerja? Apa aku salah?" gantian gadis itu balik bertanya pada sang ibu mengenai teman-temannya yang lain, yang dulu sering bermain bersama dengan dirinya juga Dalton, sekarang sudah pergi ke kota satu persatu dan tidak berada lagi di desa dan jika pun mereka berada di desa, artinya Reese bisa bertemu dan bermain lagi dengan teman-temannya itu. Namun, kenyataannya tidak demikian. Tidak ada yang bisa Reese ihat sejak mereka beranjak dewasa dan teman-temannya lebih memilih untuk sibuk bekerja dibandingkan menghabiskan waktu untuk berada di desa seperti yang dirinya juga Dalton lakukan sekarang.
"Aku tidak tahu kalau ada orang yang seumuran denganku. Siapa dia? Mungkin ibu pernah melihatnya sebelum ini?” Reese masih mencoba bertanya, mengenai siapa orang itu kepada ibunya. Hanya saja, sang ibu sama sekali tidak mengenal siapa yang Dalton ajak bicara dan ajak pergi berjalan-jalan hari itu.
“Tapi aku melihatnya dengan jelas. Aku yakin dia seumuran dengan kalian.” Sang ibu masih terlihat bersikeras dengan apa yang dirinya lihat dan coba katakan pada Reese.
Tidar yang sejak tadi bersama dengan Reese terliat gelisah dan seolah berusaha bersembunyi di dalam pelukan Reese. Reese yang sadar bahwa perubahan sikap Tidar sedikit drastis dari yang tadinya terlihat tenang, sekarang malah seperti sangat khawatir dan panik, membuat gadis ini mau tidak mau memeluk anjing peliharaannya tersebut dan terus mengelus tubuhnya dengan sangat lembut.
“Tidak apa-apa … tidak apa-apa ….” Gumam Reese sambil terus memeluk dan mengelus bulu-bulu lembut dari anjing peliharaannya itu.
“Orangnya seperti apa, bu?” lanjut gadis itu, berharap ibunya bisa mengatakan mengenai ciri-ciri yang ada pada sosok yang ibunya lihat bersama dengan Dalton.
“Dia seorang wanita tinggi, mungkin tingginya sedikit lebih tinggi daripadamu. Dia memiliki rambut merah bergelombang yang indah, wajahnya cantik dan perangainya benar-benar lemah gemulai. Seperti wanita-wanita bangsawan. Seharusnya aku tidak akan pernah bisa lupa pada seseorang seperti itu, apalagi jumlah anak remaja di sini tidak sebanyak yang ada di kota. Jadi, mungkin kita semua bisa menghitung satu, dua atau berapa pun anak-anak yang lahir di tahun yang berdekatan denganmu.” Jelas sang ibu kepada Reese.
Reese pun mengangguk mendengar penjelasan ibunya mengenai semua hal yang bersangkutan dengan wanita yang dimaksud. Lagi pula, jika pun Dalton memiliki teman wanita selain dirinya, mungkin Dalton sudah bercerita atau mungkin, Dalton sengaja menyembunyikan wanita itu darinya karena tidak ingin dirinya tahu bahwa ada seseorang seperti itu yang Dalton ajak bersama.
“Apa mungkin mereka berkencan?” tanya sang ibu lagi, kali ini benar-benar mengagetkan Reese.
“Bagaimana ibu bisa menyimpulkan hal semacam itu?” tanya Reese penasaran.
“Karena aku lihat kalau Dalton selalu tersenyum ketika berjalan bersamanya dan lagi pula, wanita itu juga terlihat sangat cantik untu—“
“Bu. Bukannya kau sedang membuat makan malam, sana pergilah dan jangan kembali sebelum makan malam siap. Aku sangat lapar jadi cepatlah.” Keluh Reese sambil mendorong tubuh sang ibu untuk kembali ke dapur.
“Tapi aku belum selesai bicara.”
“Kalau kau terus menerus bicara, aku akan semakin kelaparan dan tidak akan bisa tidur kalau kau terus bicara dan tidak memasak.” Keluh Reese lagi.
Mengebaikan sang ibu yang terus menerus memekik dan mengeluh ingin terus bicara tapi ditahan dan dihentikan kembali oleh anak gadisnya, akhirnya sang ibu pun tidak memiliki pilihan lain kecuali untuk kembali ke dalam dapur, memasak makan malam yang masih dirinya siapkan. Sementara Reese kembali mengelus-elus Tidar dengan penuh kasih sayang hingga tiba-tiba, anjing itu menggerang sangat kuat ke arah jendela, menggonggong sangat nyaring dan menggonggong berkali-kali, membuat Reese sedikit panik dan memiih untuk mengambil sebuah tongkat pemukul yang berada di belakang pintu, sambil berharap bahwa apa yang berada di balik jendela rumahnya bukanlah apa-apa.
“Kau melihat apa, kawan?” tanya Reese penasaran sambil mencoba melihat ke arah kaca jendela, melihat ke arah luar yang sangat gelap tanpa penerangan apa pun, sementara Tidar terus menggonggong tanpa henti bahkan, Tidar pun terlihat melompat dan terus memasang posisi menyerang, seakan ada musuh yang berada tepat di depan matanya dan siap untuk dia terkam.
“Hei, kawan … tenang, tenang, tidak ada apa pun di luar sana ….” Desis Reese sambil mencoba menenangkan Tidar.
Mendengar suara Tidar yang berisik, ibu reese yang tadi baru saja masuk ke dalam dapur, tiba-tiba langsung kembali ke ruang tengah untuk melihat apa yang terjadi pada anjing mereka.
“Ada apa dengannya?” tanya sang ibu kembali dibuat keheranan dengan tingkah Tidar yang terus menerus meyalak sambil memasang posisi waspada ke arah kaca jendela dan tidak bergerak ke arah mana pun lagi.
Karena penasaran dengan arah gonggongan Tidar, si ibu mencoba melongok ke arah kaca jendela, melihat ke arah luar untuk melihat ada apa di luar kaca jendela rumah mereka yang sebenarnya mengarah langsung pada ladang jagung mereka yang sebentar lagi kering dan siap panen. Awalnya, tidak ada apa pun yang dilihat si ibu dari balik kegelapan ladang miliknya hingga ketika dirinya memicingkan mata dan mencoba menajamkan pandangan, betapa terkejutnya dirinya saat dia melihat ada seseorang dengan bayangan tubuh hitam dengan rambut panjang yang sedikit berantakan tengah berdiri di tengah pohon-pohon jagung tinggi yang siap panen miliknya, menatap tajam ke arah rumah, termasuk dirinya yang seketika membuat si ibu mundur dua langkah ke belakang karena takut.
“Aku tidak tahu. Dia terus menggonggong ke arah luar, mungkin ada sesuatu di luar saja, kurasa aku ak—“
“Tidak. Biarkan saja.” Potong si ibu dengan suara yang sedikit gemetar. “Jauhkan saja Tidar dari jendela, beri dia makan atau peluk dia dan jangan pernah pergi ke luar.” Ujar si ibu sambil menutup kaca jendela itu menggunakan kain selimut yang biasa dirinya gunakan ketika duduk. Menutupi kaca jendela itu dan membuatnya tidak bisa lagi melihat ke arah luar.
“Bu, kenapa?” tanya Reese penasaran, dengan suara Tidar yang masih belum juga berhenti menggogngong.
“Jauhkan Tidar dari jendela. Jadi, jangan buat dirinya keluar atau pun kau keluar dari dalam rumah. Tetap di dalam rumah dan tunggu sampai ayahmu pulang.” Ujar si ibu yang masih terlihat ketakutan setelah melihat ke arah luar sana.
Reese yang tidak paham dengan apa yang menjadi ketakutan sang ibu hanya bisa menggeleng. Memikirkan sesuatu yang bisa saja itu adalah binatang buas yangakan mengacaukan panen mereka nanti dan mengacak-acak lumbung padi mereka di luar sana. Bahkan, dengan Tidar yang masih terlihat sangat marah bercampur takut, terus menggonggong walau beberapa menit kemudian, suara gonggongan itu berhenti dengan tubuh anjing besar itu berubah menjadi menggiggil ketakutan.
“Hei, hei, kawan … tidak apa-apa, tidak apa-apa, tidak ada siapa pun di luar sana, kau tidak perlu takut ….” Reeseberusaha untuk menenangkan anjing kesayangannya tersebut.
Meski sebenarnya dirinya ingin sekali pergi ke luar untuk melihat siapa dan makhluk apa yang bisa menakuti anjing kesayangannya ini, tapi Reese mencoba untuk bersikap tenang dan tidak melakukan apa pun. Terutama dengan ibunya yang terus memperhatikan dirinya seoah berharap agar Reese tidak gegabah dan pergi ke luar padahal dirinya sudah melarang gadis muda itu.
Jadi, dengan ibunya yang masih berada di sana, Reese memilih untuk mencoba menenangkan Tidar yang masih gemetar ketakutan engan suara ringkikan yang terdengar sangat membuatnya khawatir, hingga setelah sekitar dua puluh menit berlalu, akhirnya sang ayah yang entah habis dari mana itu pun kembali dan langsung mengunci pintu, menutup sisa jendela yang masih terbuka begitu juga dengan pintu dapur dan menyalakan perapian dengan menambahkan lebih banyak kayu kering ke dalamnya.
“Kalian tidak apa-apa?” tanya sang ayah yang kali ini terlihat sangat khawatir, sebuah kekhawatiran yang sama persis seperti yang dirasakan oleh sang istri tapi tidak dengan Reese.
“Ada apa sebenarnya?” tanya Reese penasaran.
“Tetap di sini dan jangan pergi ke mana pun.” jelas si ayah yang tentu saja diiyakan oleh si ibu tapi tidak dengan Reese. Meskipun gadis muda itu terlihat sama khawatirnya dengan apa yang dirasakan oleh kedua orang tuanya tapi karena tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, Reese mencoba bertanya kepada sang ayah yang baru saja masuk dan tentu saja melihat ada apa di luar sana hingga ketika masuk, ayahnya terlihat sangat ketakutan.
“Ada apa di luar sana, ayah?” tanya Reese yang masih memeluk Tidar dan mencoba tetap menenangkan anjing kesayangannya tersebut.
“Akan kuberitahu nanti, sekarang tenanglah. Jangan berisk dan tetap di tempatmu apa pun yang terjadi.” Ujar sang ayah, membuat sang ibu langsung mendekat ke arah anak gadis semata wayangnya kemudian memeluk Reese yang masih memeluk Tidar.
“Bu?”
“Tenanglah ….” Bisik sang ibu.
Reese bisa mendengar dengan jelas suara ibunya bergetar. Dirinya merasa bahwa apa yang ibunya katakan saat ini seperti sebuah ketakutan yang teramat sangat akan tetapi, entah ketakutan macam apa itu, Reese tidak tahu.
Awalnya, semuanya tenang, meski kedua orang tuanya terlihat sangat waspada dengan raut wajah ketakutan dan pucat pasi. Awalnya, hingga beberapa menit kemudian terdengar suara benda jatuh yang benar-benar membuat mereka terkejut. Suara itu terdengar sangat gaduh, persis seperti suara benda dilemparkan diikuti oleh suara cakaran yang menggores kaca, membuat suara melengking yang memekakan telinga.
"Ayah, apa itu?!" tanya Reese sambil menutup telinganya begitu juga dengan Tidar yang semakin ketakutan dan menyembunyikan wajahnya menggunakan kedua tangan.
"Abaikan itu dan jangan begerak."
"Tapi apa itu?!"
"Reese, tenanglah. Ini tidak akan berlangsung lama jadi jangan bergerak dan tetaplah tenang." kali ini giliran sang ibu yang berbisik tepat di telinga Reese sambil memeluk erat tubuh putri semata wayangnya tersebut.
Suara-suara gaduh itu terus terdengar dengan sangat keras, membuat keluarga ini terus berada dalam ketakutan hingga di puncak, api dari perapian terlihat menggebu, nyaris meledak dan apinya mengenai mereka. Sebelum akhirnya suara-suara itu menghilang begitu saja tanpa sisa.
"Apa semuanya sudah berakhir?" gumam Reese tapi, sang ibu masih tetap memeluk sang anak dalam ketakutan yang dirinya rasakan.
"Apa makhluk itu sudah pergi?" Tanya sang ibu yang semakin membuat penasaran Reese menjadi-jadi. Namun, berapa kali pun dirinya mencoba bertanya, tetap saja ibunya tidak bisa memberitahunya mengenai apa yang sedang terjadi.
Melihat anaknya begitu penasaran dalam ketakutan, pasangan orang tua ini merasa bahwa memang tidak ada hal yang harus mereka sembuyikan dari Reese dan karena suasana sudah sedikit lebih aman dengan perapian yang sudah tidak meledak seperti tadi, membuat sang ayah merasa bahwa apa yang harus dirinya katakan memang adalah apa yang harus diketahui oleh anak gadisnya sebelum semua keadaan menjadi sangat buruk.
"Aku akan menjelaskannya padamu tapi, berjanjilah padaku untuk mendengarkanku dan tidak melakukan hal gegabah setelah kau mendengar hal ini." ucap sang ayah, membuat Reese merasa bahwa apa yang coba dikatakan oleh ayahnya adalah sesuatu yang benar-benar menjadi sesuatu yang sangat penting dan harus dirinya dengarkan dengan seksama.