Happy reading
***
Fatin melangkah menuju lobby, ia memandang Jimmy yang berdiri tidak jauh darinya. Jimmy lalu menyadari kehadiran Fatin. Menatap Fatin dengan balutan dress berwarna putih, penampilan tidak biasa itu menjadi pusat perhatian banyak orang.
“OMG, ini lo Fat !”
“Iya lah, emang lo pikir gue siapa?”
“Cantik uuulala, mau kemane lo !”
“Mau ke atas, ngambil tas gue. Sini ikut gue, gue mau cerita” ucap Fatin ia melangkah menuju elevator, Fatin menarik lengan Jimmy, Jimmy harus tau apa yang telah terjadi.
Pintu Elevator tertutup, kini mereka berudua di dalam lift, “Lo tau nggak?” ucap Fatin.
“Apa?”
“Pak Evan ngajak gue brunch”
“Serius lo?”
“Serius lah”
“Parah, ini nggak salah lagi, pak Evan fixs suka sama lo” ucap Jimmy.
Sedetik kemudian pintu lift terbuka, “Nggak lah, nggak mungkin. Palingan cuma basa-basi doang, karena gue kece kayak gini” Fatin melangkah menuju ruangannya. Ia melihat beberapa karyawan menatapnya dengan tatapan tak biasa. Fatin hanya memberikan senyuman kepada mereka.
“Terus sekarang lo mau kemana?”
Fatin membuka pintu ruangan, ia melihat Jimmy berada di belakang masih mengekorinya. Fatin mengambil tas di meja. Fatin tersenyum dan lalu tertawa bahagia,
“Mau ke Puncak” ucap Fatin.
“Oh May God, serius !”
“Iya serius”
“Lo sama pak Evan ngapain ke Puncak?”
Fatin mengedikkan bahu, ia lalu melangkah keluar dari ruangan, “Nggak tau, katanya cari angin”
“Cari angin pala lo Fat, gile lo ye. DiPuncak nggak ngapa-ngapain mustahil Fat. Jaman Sekarang mana ada yang kayak gitu. Lo tau kan Puncak kayak gimana !”
“Gue tau”
“Jangan lupa bilang sama pak Evan pakek kondom”
Fatin lalu teratawa, ia melirik Jimmy, “Sok tau lo, emang Pak Evan demen sama gue yang kayak gini, gue nggak nginep Jim, Cuma cari angina doang”
“Kalau penampilan lo kayak gini, semua cowok demen Fat, sumpah. Jangan kan pak Evan, anak presiden juga Demen kalau modelan kayak lo gini” Jimmy memencet tombol basement.
“Bagus dong, enggak salah emang Anya nyaranin gue beli baju gini. Namanya juga selebgram ye, nggak bakalan salah pilih baju”
“Owh jadi ini saran Anya”
Fatin mengangguk, “Iye”
“Dasar lo, belanja nggak ngajak-ngajak gue” ucap Jimmy menatap sahabatnya.
“Gue kemaren buru-buru balik ngantor, langsung ke Pasific Place, kebetulan Anya nginep di hotel Ritz Carlton. Entar deh kalau gajian, kita shopping lagi”
“Belum gajian kenape lo udah bise belanje neng?”
Fatin tersenyum, melirik Jimmy, ia mendekatkan wajahnya ke telinga Jimmy, “Dikasih pak Evan, katanya dia bosen liat gue pakek baju-baju itu mulu”
“OMG, serius? Gila lo parah Fat, lo pakek susuk apa, pak Evan jadi kayak gitu?”
“Susuk emas, permata dan berlian lah, macam lo enggak tau gue aja”
“Ih serius Fat, gue masih shock denger cerita lo, sumpah !”
“Jangankan lo, gue aja shock, nggak percaya !”
Fatin melangkah cepat, karena pak Evan sedang menunggunya di basement, “Jim, gue pergi dulu ya, gue janji bakalan cerita sama lo, kalau gue sampe kostan, sekalian sama Anya. Lo tau lah Anya lagi galau, rengek-rengek mulu. Mending lo temenin dia”
“Iye lo tenang aja”
“Lo hati-hati ya Fat, salam buat pak Evan, main jangan kasar”
“Pastinya, gue gitu loh” Fatin lalu tertawa. Fatin lalu bergegas menuju basement, ia takut pak Evan terlalu lama menunggu.
***
Di basement terasa sepi dan lembab hanya engenering dan anak house keeping saja yang lewat. Fatin mendengar suara klakson, ia lalu menoleh menatap pak Evan yang duduk dikemudi setir. Lampu headlamp pada mobil Suv menyala, Fatin lalu melangkah menuju mobil itu. Ia yakin pak Evan menunggunya dari tadi. Fatin mendekat dan lalu membuka hendel pintu,
“Maaf ya pak lama” ucap Fatin lalu memasang sabuk pengaman.
“Iya tidak apa-apa”
Evan menjalankan mobil dan meninggalkan tower gedung kantor. Mereka membelah jalan menuju tol Jagorawi. Evan membawa mobil dengan kecepatan tinggi, Fatin mencengkram erat sabuk pengaman. Mobil Evan menyelip mobil-mobil yang berada di depan, bahkan mobil-mobil tronton terselipkan. Mobil masih melesat dengann mulus, melewati mobil lainnya.
“Pak” Fatin melirik Evan yang terlihat fokus dengan setirnya.
“Hemm”
“pelan-pelan pak”
“Jangan ajak saya ngobrol, saya fokus nyetir” Evan masih fokus menatap depan.
“Iya pak, tapi please hati-hati pak. Saya masih mau hidup”
Evan tersenyum culas mendengar ucapan Fatin, “Tenang saja, saya save driver”
Evan lalu menambah kecepatan mobil dan tidak peduli Fatin mengatakan hati-hati. Jujur jalur tol yang paling ia sukai. Karena ia bisa membawa mobil dengan kecepatan tinggi yang dan memacu adrenalin. Evan memang salah satu penggemar otomotif dan semua mobilnya menggunakan tranmisi manual. Menyetir adalah kendali dalam genggamannya. Ia dapat berpindah tempat menuju jalur ke jalur lainnya. Mempertahankan gigi lalu berpindah dan mendengar suara mesin lalu beralih kepedal, mengganti gigi.
Evan menginjak pedal kopling, memindahkan tuas gigi, dan menekan pedal gas lagi menyatu dengan angin, membelah jalan. Sepanjang perjalanan Fatin hanya diam, adrenalinnya di uji oleh Evan. Jujur ia baru kali ini, ada mobil membawanya dengan kecepatan seperti angin. Ia tidak habis pikir pak Evan yang sedang patah hati, memilih dirinya untuk mati bersama. Ia tidak ingin setelah ini ia mendengar bahwa ada berita seketaris dan boss mengalami kecelakaan maut di tol Jagorawi. Ah, ia tidak bisa membayangkan jika itu benar-benar terjadi kepadanya.
Satu jam berlalu, Fatin merasa lega bahwa ia sudah berada di daerah puncak. Fatin melirik Evan masih fokus dengan kemudi setir. Evan menatap Fatin ia menyungging senyum karena Fatin tidak terlihat tegang lagi.
“Kamu pernah ke Puncak sebelumnya?” tanya Evan.
“Pernah pak”
“Sama siapa?”
“Sama teman-teman saya, kita staycation di hotel”
“Terus”
“Ya becanda-becanda aja pak, capek ya kita langsung tidur”
“Mau staycation?”
Fatin lalu menoleh menatap Evan, “Hah !” apa ia tidak salah dengar pak Evan ingin ia staycation dengannya. Staycation adalah kegiatan rekreasi dalam perjalanan sehari tidak memerlukan akomodasi semalam yang berfokus untuk sendiri dan me time. Sekarang sedang tren dikehidupan masyarakat dan bahkan hotel-hotel banyak yang menawarkan paket staycation.
Evan menepikan mobilnya di pinggir jalan. Ia merogoh ponsel dan membuka aplikasi layanan traveler. Evan mencari hotel menarik. Jujur sebenarnya ia jarang ke Puncak karena kesibukannya bekerja. Ia dulu pernah ke sini dengan mantan kekasihnya yang berprofesi sebagai artis itu. Mereka nginap di salah satu hotel berbintang di Puncak tanpa sepengetahuan orang. Dan sekarang ia mengajak Fatin, seketarisnya, entahlah apa yang ia pikirkan sehingga mengajak wanita itu. Ia merubah pikiran, seperti nya ia akan mengiinap di sini.
“Kita staycation di Le Eminence”
Alis Fatin terangkat, tidak percaya apa yang dilakukan oleh Evan. Katanya hanya cari angin dan hanya sebentar. Ada rasa keraguan mempercayai ucapan itu, ia melihat secara jelas wajah Evan, bahwa pria itu sepertinya akan bermalam di sini beberapa hari.
Evan juga tidak memberi konfirmasi kepadanya, ia setuju apa tidak staycation di Le Eminence, pria itu menjalankan mobil menuju hotel yang terletak di Cipanas. Hotel mewah berbintang lima yang ia ketahui bahwa hotel itu menawarkan panorama yang bagus dan hotel yang megah.
“Pak kita nggak nginap kan?” ucap Fatin. Jujur ada perasaan cemas menyelimuti hatinya.
“Nggak tau, kenapa?”
“Katanya tadi cuma cari angin dan nggak nginep. Saya pikir kita Cuma makan jagung bakar dan makan mie instan di warung tepi jalan itu, sambil lihat kebun teh. Tapi bapak bilang staycation di Le Eminence”
“Biasa weekend gini macet. Saya malas pulang, kamu lihatkan diperjalanan tadi, plat mobil Jakarta berbondong-bondong menuju Puncak”
“Tapi pak”
“Ya tapi …”
“Tapi pa?”
“Kamar yang bapak boking dua kan?”
“Satu lah, ngapain dua?. Kalau sendiri-sendiri di kamar hotel ngapain? Nggak asyik malah tambah bete”
“Bukannya kamu yang bilang kepada saya, saya perlu refresh otak dan liburan”
“Ya tapikkan, liburannya nggak sama saya pak. Sama siapa kek gitu. Gitu maksud saya” Fatin menjelaskaan agar tidak salah paham.
Evan melirik Fatin sambil menikmati exspresi wajah panik di depannya. Ada dua kemungkinan dia berada di sini, ia bisa khilaf atau berani berbuat. Ia laki-laki normal dan waras, melakukan itu merupakan hal yang sering dilakukan boss terhadap seketarisnya. Jika teman-temannya sering melakukan itu terhadap seketarisnya, kenapa ia tidak. Fatin sudah bekerja dengannya sudah dua tahun lamanya, dan baru kali ini mereka brunch dan staycation bersama.
Seharusnya sejak lama ia memaanfaatkan moment ini bersama seketarisnya, karena Fatin orang terdekat dan selalu bersamanya. Dirinya memiliki kekuasaan dan sangat wajar jika memiliki sisi liar terhadap seketarisnya. Lagi pula ia bukan pria tempe, tantangan apapun akan ia layani. Apalagi Fatin sudah mengetahui bahwa dirinya sedang patah hati, perlu refresh otak dan sedikit hiburan.
“Bapak nggak macem-macem kan”
“Nggak macem-macem kok, kamu tenang aja” ucap Evan santai, ia masih membelah jalan.
“Enggak mungkin, biasa cowok suka manfaatin kesempatan”
Evan tersenyum culas, melirik Fatin, “Masa sih, mungkin kamu belum kenal saya?”
“Bohong banget kalau ada cowok yang kayak gitu. Cowok itu sama aja, insting saya kuat pak” Fatin semakin panik, karena jarak hotel semakin dekat dan gedung hotel terlihat jelas di depannya.
“Oke lah, kalau itu yang kamu maksud …” Evan menggantungkan kalimatnya, melihat tatapan Fatin yang tidak fokus.
“Masud bapak apa?” Fatin gelagapan. Ia lalu mengingat, underware warna apa yang ia kenakan hari ini. Oke, jujur ia bukan gadis suci. Dulu ia pernah melakukan hal itu bersama mantannya itupun dulu sudah lama. Sejak ia bekerja sebegai seketaris tidak pernah melakukan lagi dan bahkan lupa bagaimana rasanya.
Evan menghentikan mobil di lobby, karena mereka sudah tiba. Evan membuka sabuk pengaman, ia menatap Fatin, Fatin juga memandangnya.
“Ingat, memanfaatkan kesempatan adalah insting setiap laki-laki. Saya tidak bisa mengubah hukum alam dan kita memang seperti itu” Mata Evan beralih pada pakaian yang dikenakan Fatin, belahan d**a itu terlihat jelas dan ia menyukainya.
“Oh God” Fatin semakin panik.
Evan memandang security membuka pintu mobil, “Keluarlah, kita butuh istirahat, saya lelah sekali”
Fatin menelan ludah, ia melepas sabuk pengaman dan lalu mengikuti langkah Evan menuju meja counter receptionis. Fatin merogoh ponsel. Apa ia perlu menelfon Jimmiy agar menjemputnya di Puncak? Ia hanya takut jika pak Evan bermain kasar dan memperlakukannya tidak baik.
Fatin melirik receptionis mengetik pesanan pak Evan.
“Untuk breakfast mau diantar ke kamar atau buffet bersama tamu lainnya pak?” tanya receptionis itu kepada Evan.
“Diantar ke kamar saja”
“Baik pak, ini kunci aksesnya, lantai 7, nomor 710 Royal Suite, breakfast akan kita antar jam 8 pagi”
“Terima kasih”
“Sama-sama bapak dan ibu, selamat istirahat” ucapnya ramah.
Sungguh hotel ini memiliki pelayanan yang sangat ramah, Fatin mengikuti langkah Evan ia berkali-kali menarik nafas menghilangkan rasa paniknya. Di dalam lift hanya dirinya dan Evan. Fatin mencengkram erat tas karena tegang tercipta..
Beberapa detik kemudian pintu lift terbuka, Evan meneruskan langkahnya. Ia memastikan bahwa Fatin bersamanya. Evan melihat nomor-nomor kamar di setiap pintu. Evan menghentikan langkahnya karena nomor kamar yang mereka tuju sudah di depan mata. Evan menempelkan kartu akses itu di hendel pintu. Pintu terbuka dan Evan meletakan kunci akses di samping pintu. Otomatis lampu menyala, ketika ia membuka pintu ia berhadapan dengan kamar mandi sebelah kiri, lemari dan deposit box di sebelah kanan.
Evan memperhatikan ruangan kamar seperti kamar hotel pada umumnya. Kamar mandi ini memiliki kaca yang tembus pandang. Sangat pas untuk pengantin baru. Jika malu ada tirai jendela kamar mandi dan bisa ditutup. Fasilitas Tv flat yang besar, sofa di dekat jendela. Evan membuka horden ia memandang panorama gunung dan view kolam renang. Terlihat sangat segar, karena ada hamparan sawah terbentang hijau. Kebetulan kamar yang ia tempati terletak disudut dan sangat privasi.
Fatin berdiri memandang view di dekat sofa, inginnya ia selojoran di sofa, karena menggunakan high heels membuat tumitnya kebas.
“What do you think about this room?” tanya Evan.
“I love the mountain and pool view, it's perfect.” ucap Fatin memberi penilaian, ia membuka sepatunya. Fatin duduk di sofa, dan menepikan sepatunya di sudut dinding.
Evan membuka kancing kemeja yang ia kenakan lalu menggantung kemeja di lemari. Jujur baru kali ini ia melihat Evan bertelanjang d**a. Tubuh pria itu sempurna, bulu-buluh halus ada dadanya. Fatin menelan ludah, ia yakin betapa nyamannya memeluk tubuh bidang itu dan mendengar detak jantung yang menenangkan. Ia berharap bahwa Evan jangan Bugil saja dihadapannya.
Evan melirik Fatin yang memperhatikannya, “What do you think about me?” tanya Evan lalu merebahkan tubuhnya di tempat tiidur. Ia mengambil remote Tv dan menghidupkan tombol power. Otomatis TV menyala, Evan mencari siaran yang menurutnya bagus.
“I don't think about you” ucap Fatin diplomatis.
“Really?” Evan merasa tidak yakin dengan jawaban Fatin, ia lalu tertawa.
“Kamu tidak lelah?”
“Sedikit”
Evan menepuk bantal disebelahnya, “Sini, istirahat di samping saya””
Namun Fatin masih enggan, lalu menggelengkan kepala. Fatin bersandar di sofa,
“Apa saya menakutkan?” tanya Evan.
“Sedikit” Fatin menjentikan jarinya.
Evan lalu tertawa, “Apa yang kamu takutkan? Come on saya tidak apa-apain kamu, kecuali kita sama-sama khilaf”
“Saya tidak akan melakukan itu jika kamu tidak menginginkannya juga”
“I know. Okay we won't do anything. Don't touch or do anything else” ucap Fatin lalu berdiri, ia melangkah mendekati Evan. Fatin duduk di sisi tempat tidur, memandang wajah tampan Evaan.
Evan menarik nafas, “Yes of crouse, Saya hanya butuh teman bicara, kamu sudah tahu apa yang saya alami. Ini masa-masa terberat saya” Evan menatap langit-langit kamar.
“Semoga kamu bisa melewati dengan cepat, saya tahu bagaimana rasanya patah hati. Saya berharap kamu menjadi lebih baik”
“Thank you, kamu selalu mengerti keadaan saya”
Fatin melihat Evan, ia pandangi iris mata tajam itu. Evan kembali menepuk bantal. Fatin menghembuskan nafas, ia lalu membaringkan tubuh di bantal. Berharap ia akan tahan godaan Evan, yang telah memporak porandakan hatinya.
Evan merubah posisi tidur, ia memperhatikan struktur wajah Fatin. Hidungnya mancung, iris bening dan bibir tipis.Betapa cantiknya Fatin jarak dekat seperti ini.
“Are you ok?” tanya Fatin.
“I'm not okay” ucap Evan, “Tidak ada pria yang patah hati akan baik-baik saja”
“I know”
“Oiya, apa uang yang saya berikan cukup untuk membeli baju kerja kamu?” tanya Evan merubah jalur pertanyaan, karena ia tidak ingin memikirkan patah hatinya terlalu dalam.
“Kemarin saya menambah dua juta”
Evan mengerutkan dahi, “Kamu membeli berapa dress?”
“Saya membeli sembilan dress di Zara, salah satunya yang saya kenakan ini”
Evan mengangguk paham, “Apa menurut kamu, dress-dress itu kurang untuk outfit ke office?”
Fatin merubah posisi tidurnya, menatap Evan, “If you want a secretary look beautiful, transfer money, for makeup, skincare, body care, and buying dresses”
“Of course, I like my secretary to be beautiful. How much money do you want? I will give that every month, for the treatment of your body?”
“Really?”
“Saya juga akan memberikan kamu fasilitas mobil, agar kamu bisa berpergian tanpa kendaraan umum dan apartemen Branz di samping office”
Jantung Fatin seketika berhenti berdekat mendengar ucapan Evan. Pembicaraan Evan sudah masuk ke ruang pribadinya. Percakapannya tadi seperti ia melakukan transaksi menjadi wanita simpanan. Memberikan fasilitas mobil, apartemen Branz dan uang untuk seluruh treatment tubuhnya setiap bulan. Ia tahu bahwa fasilitas yang diberikan oleh Evan bukanlah hal yang cuma-cuma. Pasti akan ada timbal balik di dalamnya. Fatin teringat pembicaraan ia dan Jimmy beberapa hari yang lalu. Bahwa impiannya adalah menjadi simpanan Evan, memiliki mobil, apartemen mewah dan uang mengalir deras di atm nya.
“What do you want from me?” tanya Fatin serius.
“Mine” gumam Evan.
Entahlah ia harus sedih atau bahagia mendengar itu dari ucapan Evan. Mine yang dimaksud Evan adalah menjadi miliknya. Menjadi miliknya ia harus menyerahkan apa yang ia punya kepada pria itu dengan timbal balik ia dapat hidup enak dan fasilitas mewah untuk dirinya. Yang tidak akan ia dapat bertahun-tahun kerja di Jakarta. Dua tahun ia kerja di Jakarta hanya mencukupi ia makan sehari-hari, bayar kost, memberi orang tuanya dan hang out bersama Jimmy dan Anya.
Fatin menelan ludah, lama terdiam menatap Evan. Ia merasakan tangan Evan menyentuh kulitnya. Jantungnya seketika berdegup kencang, bahkan ia sulit bernafas.
“I am waiting for your answer? Do you want?” ucap Evan, ia hanya menunggu Fatin melontarkan sumpah serapah dan tamparan kepadanya. Namun tamparan itu tak kunjung datang.
Entah dorongan apa, Fatin lalu mengangguk begitu saja. Ini adalah hal tergila yang ia lakukan selama hidupnya.
Evan lalu tersenyum lega, ia tidak menyangka bahwa Fatin menerimanya. Evan mendekatakan wajahnya dan mengelus tengkuk Fatin dengan lembut.
“Trust me, you will get better. We're gonna have fun all day. Thank you very much, dear”
***